Twenty Three

629 92 10
                                    

Lari.

Itu yang ada di dalam kepala dan memang sedang dilakukan Woozi saat ini.

Pemuda mungil itu terus berlari. Menerabas apa dan siapa saja yang ditemuinya di jalan. Tak peduli pada teriakan orang yang ditabrak atau pekikan klakson yang hampir merenggut nyawanya.

Dia terus saja berlari. Berlari dan berlari. Dengan membawa luka di dalam hati dan dua aliran sungai di wajahnya yang pias.

[*]

Woozi terjaga.

Sepasang mata semi sipitnya membuka seketika. Mimpi tentang pengakuan dan pernyataan Lee Woori masih menjadi mimpi buruk baginya. Dia akan segera terjaga jika mimpi itu datang lagi.

Terlalu sakit untuk mengingatnya kembali.

Pemuda mungil itu menggeliat pelan dan spontan terbangun ketika menyadari di mana dirinya berada kini; rumah Hoshi, sahabat yang kini beralih status menjadi kekasih.

Terbaring di sebuah sofa dengan sebuah jaket menutupi bagian atas tubuhnya. Dari aroma yang menguar dan menyapa ruang hirupnya, ini adalah jaket milik Hoshi.

Samar-samar terdengar suara orang bicara dan pintu yang berdebam perlahan. Penasaran, Woozi melangkah patah-patah menuju asal suara, masih dalam balutan jaket yang menghangatkannya sejak semalam.

"Ah, maaf. Apakah aku membangunkanmu?" tanya Hoshi ketika melihat Woozi di belakangnya. Masih dengan wajah khas bangun tidur.

Pemuda mungil itu menggeleng sambil mengucek matanya. "Siapa?" Woozi melemparkan pertanyaan baru. Mengekor Hoshi yang menuntunnya menuju dapur. Menyiapkan sepiring roti bakar dan segelas susu.

"Eomma-ku." Hoshi menjawab singkat. Sesingkat waktunya menenggak segelas susu dalam sekali teguk. "Dia mengajakku tinggal di rumahnya. Bersama keluarga baru-nya," imbuh Hoshi. Meletakkan setangkup roti yang telah diolesi selai rasa strawberry di piring Woozi.

Woozi mengunyah roti tersebut. Sambil mengingat-ingat tentang eomma Hoshi yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Karena sejak pertama kali menginjakkan kaki ke rumah ini, Woozi hanya melihat Hoshi dan almarhum appa-nya saja. Selama ini Woozi hanya tahu kalau orangtua Hoshi telah lama berpisah dan wanita yang telah melahirkan kekasihnya itu sudah menikah lagi dengan seorang duda tak lama setelahnya. "Lalu? Kamu mau?"

Alat pembakar roti listrik berdenting. Setangkup roti menyembul dari lubangnya. Hoshi menghampiri pemanggang tersebut, memindahkan roti yang ada di sana ke piring besar di tengah meja. Mencabut colokan kemudian kembali duduk berseberangan Woozi.

Pemuda bermata sipit itu menggeleng lemah. "Aku tidak mau," katanya dengan mulut penuh roti. Woozi menyeka remahan roti di ujung bibir Hoshi. "Eomma pergi meninggalkan aku dan appa berdua di rumah ini. Setelah kepergian appa, akulah yang akan menjaga rumah ini."

Hening sebentar. Hanya suara denting gelas tak sengaja bertemu piring yang terdengar. Ditingkahi suara decap kunyahan dan gelegak.

Woozi terdiam. Menyimak kekasihnya dengan seksama. Menelisik tiap inci gurat wajahnya dan tidak menemukan kesedihan ataupun ketakutan pada kesendirian.

Meski satu-satunya keluarga yang mau merawat dan menghidupinya, telah pergi setelah gagal melawan kanker pankreas yang menggerogoti daya hidupnya, Hoshi tampak biasa saja.

Kesedihan sudah pasti dirasakannya. Hoshi terus saja menangis sejak di rumah sakit hingga di pemakaman. Namun, tak lama kemudian, wajahnya kembali menampakkan ketegaran. Seolah benar-benar sudah terbiasa dengan kesendirian.

Berbeda jauh dengannya.

Woozi memang tidak pernah bergantung pada siapa pun. Hanya saja dia belum pernah mengalami kisah hidup setragis kekasihnya.

Long Trip to Love You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang