Eleven

710 112 12
                                    

Langkah Vernon berhenti di depan gerbang sebuah gedung serbaputih berlantai lima. Ekor matanya melirik sekitar, memastikan dirinya benar-benar sendiri kali ini dan tidak sedang diikuti siapa pun juga. Termasuk dua pengikut setianya di sekolah, Kim Min Gyu dan Lee Dino.
.
.
.
Aman.
.
.
.
Kini pemuda blasteran New York-Korea Selatan itu kembali melangkah mantap memasuki gebang utama setelah melaporkan diri ke petugas yang berada di pos jaga tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Melewati halaman berumput hijau seluas lapangan basket. Memasuki gedung, Vernon kembali bertemu dengan petugas untuk melaporkan diri. Kali ini seorang wanita sekitar empatpuluh lima tahun. Di bagian dada kirinya tersemat tanda pengenal. Yoon Yoona. Begitu nama yang tertera di sana. Tapi Vernon biasa memanggilnya Suster Yoon.
.
.
.
"Annyeong, Vernon-ssi. Hari ini segar seperti biasa, ya!" sapa Suster Yoon seraya tersenyum. Segar? Babak belur begini? Vernon membatin. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul. Mengangguk sopan. "Semoga harimu menyenangkan!" Suster Yoon menepuk pelan pucuk kepala Vernon. Menyodorkan sebuah tanda pengenal untuk dipakai Vernon selama berkunjung.
.
.
.
Segera saja Vernon beranjak memasuki bagian utama gedung tersebut setelah melaporkan diri dan mendapatkan tanda pengenal tadi. Tanda pengenal sebagai pembesuk.
.
.
.
Ekor mata Vernon memandang miris sekaligus kasihan pada orang-orang yang ditemuinya sepanjang koridor lantai dua. Ada yang tertawa-tawa sambil menunjuk entah, ada yang menangis dengan boneka dalam pelukannya bahkan ada yang berteriak histeris hingga beberapa orang perawat berpakaian serbaputih harus berlarian dan memeganginya untuk bisa tenang. Dan jantung Vernon nyaris melompat dari tempatnya ketika seorang lelaki tua berseru "Cilukba!" tepat di depan wajahnya. Vernon jatuh terduduk, sedangkan lelaki tadi justru terpingkal-pingkal. Vernon berdecak sebal.
.
.
.
"Dasar gila!" seru Vernon pada lelaki itu.
.
.
.
"Kamu yang gila. Eh, aku yang gila? Ah, tidak. Kamu yang gila! Aah, bagaimana kalau kita sama-sama gila? Hahaha, kita gila. Yeee, kita gilaaa!" Laki-laki itu bertepuk tangan sambil berjoget. Tampak gembira. Namun, tak lama kemudian, dia berbalik menangis tersedu-sedu. Tubuhnya jatuh terduduk di pinggir koridor. Masih dengan tangisnya laki-laki itu berseru, "Tapi aku tidak gila. Kamu yang gila! KAMU YANG GILAAA!"
.
.
.
Vernon bergidik. Segera saja dia bangkit dan setengah berlari meninggalkan laki-laki yang histeris tadi. Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar yang berada di ujung koridor lantai tiga. Terdiam sebentar. Memperbaiki pakaian yang sempat berantakan. Atur napas yang tersengal karena berlari-lari kecil saat menaiki anak tangga. Mengusap wajah dan langsung meringis saat tak sengaja mengusap luka di ujung bibir. Luka yang dicarinya sendiri. Kemudian memasang senyum termanis ketika tangannya bergerak memutar knop pintu.
.
.
.
Seorang gadis kecil yang tengah duduk di tempat tidurnya memandang keluar jendela menoleh hanya untuk berseru riang melihat siapa yang membuka pintu tadi.
.
.
.
"Oppaaa!!!" Gadis itu berlari kecil menghampiri Vernon. Memeluk erat seraya membisikkan kerinduan. Kemudian mencuri ciuman di pipi Vernon.
.
.
.
"Aigooo, seseorang mencuri kesempatan dalam kesempitan! Awas, ya!" seru Vernon. Pura-pura memasang wajah marah. Mengejar gadis itu setelah sebelumnya meletakkan sekeranjang buah-buahan segar di nakas dekat tempat tidur. Gadis berdaster putih lengan panjang yang rambutnya terurai sepinggang itu tertawa-tawa riang saat jemari Vernon menggelitik pinggangnya. Dia bahkan memohon ampun karena Vernon tak juga melepaskannya bahkan hingga gadis itu sudah meronta-ronta. Tawa keduanya menggema riang di kamar tersebut.
.
.
.
Lima menit kemudian, mereka sudah terduduk berdua di sebuah kursi yang menghadap ke jendela kaca besar, pemandangan alam khas pegunungan tersaji di hadapan mereka. Gadis itu berdendang kecil di pangkuan Vernon. Kakinya yang menggantung di atas lantai berayun-ayun pelan. Sedangkan Vernon sudah memeluk erat pinggang gadis kecil di depannya. Mereka berdua terdiam sejenak. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
.
.
.
"Oppa, kenapa Sophia ada di sini?" Pertanyaan itu memecah keheningan yang memenuhi langit-langit kamar. Serta-merta menyesakkan dada Vernon. Pertanyaan yang sama. Vernon bahkan sudah lupa keberapa kalinya pertanyaan itu ditanyakan olehnya.
.
.
.
Choi Sophia, gadis berusia sepuluh tahun itu adalah adik kandung Choi Vernon. Gadis malang tersebut sudah berada di kamar ini sejak usia delapan tahun. Tekanan dan tuntutan sang ibu membuatnya mendekam di tempat ini. Itulah mengapa Vernon membenci ibunya yang kini entah berada di mana. Sejak Sophia dikirim ke sini, wanita itu tak lagi berkabar.
.
.
.
Vernon menarik napas yang terasa sesak di dada. "Sophia memang tidak sakit. Ini bukan rumah untuk orang sakit. Ini adalah rumah para peri." Susah payah Vernon menyelesaikan kalimatnya. Demi senyum di wajah Sophia, dia rela melakukan apa pun. Termasuk berdusta.
.
.
.
"Rumah para peri? Berarti Sophia juga peri? Jjinjja, Oppa?" Sepasang manik kecoklatan Sophia mengerjap lucu. Kini dia sudah berdiri di depan Vernon. Kedua tangannya direntangkan. Gadis itu berputar-putar. Membuat dress putih selutut yang dipakainya menggembung di bagian bawah. "Sophia adalah peri. Peri cantik. Peri pintar. Ah, tapi Sophia belum mengerjakan tugas Miss Daisy. Belum menghapal rumus baru dari Pak Byun juga. Oppa, etteokhae?" Mendadak Sophia bethenti berputar. Kini dia bermonolog merapalkan rumus-rumus dari Pak Byun, guru privat matematikanya dulu. Selang beberapa menit kemudian, bibir mungil gadis itu bercuap-cuap menggunakan bahasa Inggris sambil sesekali menyebut nama Miss Daisy, guru privat bahasa Inggris, menanyakan pendapat guru tersebut pada kemampuan speaking Sophia.
.
.
.
Kedua mata Vernon semakin berembun saja melihat pemandangan di depannya. Sophia, gadis sepuluh tahun itu, adalah korban ambisi dan obsesi ibunya yang menginginkan putrinya itu menyandang gelar Platinum Lady. Demi gelar itu pula Sophia kecil dijejali begitu banyak pelajaran privat untuk mengasah kemampuan. Mulai dari kemampuan menari, berbahasa hingga ilmu pasti. Waktu bermainnya dihapuskan. Sehari-hari hanya bertemu buku dan guru. Jika nilai Sophia kurang satu angka saja, maka ibunya akan murka. Mengurung Sophia kecil dalam lemari gelap berjam-jam. Tekanan-tekanan itu membuat Sophia kecil depresi dan hilang akal. Hingga terpaksa harus diungsikan di kamar ini, bersama pasien lainnya.
.
.
.
Vernon merengkuh tubuh Sophia ke dalam pelukan. Tangisnya luruh seketika. Sophia yang tidak paham kenapa kakaknya menangis hanya menatap heran. Jari-jari kecil Sophia menyeka air mata di wajah Vernon yang justru makin menjadi.
.
.
.
"Wa-eee, Op-pa? Ul-ji-ma! Je-bal, huhuhu...." Tangis Sophia ikut pecah. Gadis kecil itu memeluk erat tubuh kakaknya, seolah tak ingin melepaskannya. "So--sophia jan-ji tidak nakal. Oppa ja-jangan nangis, ya!" Susah payah gadis itu berusaha menyelesaikan kalimatnya yang dihalang-halangi isakan. Ingusnya sudah ke mana-mana. Vernon mengangguk takzim. Berusaha menyusut tangisnya.
.
.
.
Dari luar seorang perawat mengetuk pelan pintu kamar. Vernon menoleh dan melihat perawat itu menunjuk jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Waktu membesuk sudah habis.
.
.
.
"Oppa tidak nangis lagi. Sophia janji jadi anak baik, ya. Oppa harus pergi sekarang," ujar Vernon setelah tangisnya benar-benar berhenti.
.
.
.
"Pergi? Ke mana? Sophia ikut, Oppa!" Seperti biasa. Ketika Vernon berpamitan, Sophia selalu merengek ingin ikut. Lagipula, siapa juga yang mau berada di tempat ini lama-lama?
.
.
.
Vernon yang baru selesai memakai tas selempangnya menggeleng pelan. Mengucap janji akan datang lagi secepanya. Membujuk Sophia agar mau ditinggal. Meski dengan tangis dipendam, akhirnya, Sophia mengijinkan Vernon pergi. Gadis itu kembali menari sambil sesekali merapal rumus-rumus Matematika dan bercuap-cuap dalam bahasa Inggris ketika Vernon menutup pintu kamar. Pemuda blasteran itu terpaku, tangannya masih memegang knop pintu, belum mau beranjak. Di sebelahnya ada perawat yang juga sedang memperhatikan Sophia.
.
.
.
"Sophia sudah jarang mengamuk. Hanya sering menangis saja. Dia juga sering memanggil namamu...." Suster Kim, perawat yang bertanggung jawab atas pasien di lantai tiga, berujar prihatin. Wanita itu menghela napas pelan. "Dia adalah pasien termuda di sini. Kasihan sekali dia," imbuhnya tanpa memalingkan wajah. Masih menatap Sophia di dalam sana.
.
.
.
Namun Vernon tidak menggubris suster itu. Dia langsung mengangguk sopan sebelum meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Choi Sophia, adiknya, dirawat karena depresi berat.

Long Trip to Love You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang