Eight

860 139 14
                                    

Pak Ji Min mendorong pintu kaca ruang khusus SMA Pledis dan tersenyum ketika pandangannya bertemu dengan mata sipit Kwon Hoshi yang langsung mengangguk sopan meski tanpa senyum, seperti biasa. Meletakkan ransel merah terang yang dibawanya dengan hati-hati ke atas meja kaca bundar yang memisahkan dirinya dengan sang ketua kelas. Berdehem sebentar untuk mencairkan suasana, juga memanggil kembali perhatian Kwon Hoshi yang sepertinya sudah terlempar jauh keluar jendela kaca padahal baru saja beberapa detik lalu mereka bersitatap, kemudian tersenyum lagi.

"Kwon Hoshi-ssi, Bapak tidak akan bertanya ke mana saja kamu tiga hari ini dan dari mana datangnya luka di keningmu itu. Tidak, sama sekali tidak. Ara?" Kwon Hoshi mengangguk takzim. Pak Ji Min ikut mengangguk karena lega anak walinya ini telah kembali fokusnya. "Bapak hanya ingin meminta tolong padamu," imbuhnya, kontan sebelah alis orang di depannya terangkat. Bingung.

"Minta tolong apa, Saem?" tanya pemuda itu. Dia benar-benar tak bisa menebak.

Pak Ji Min menepuk pelan ransel merah terang di atas meja. Terdengar suara sesuatu seperti butiran kecil yang banyak di dalam botol plastik. "Kembalikan ransel ini pada pemiliknya. Sudah tiga hari juga dia tidak masuk. Ralat, empat hari karena seharian ini dia belum juga kelihatan." Dia menghela napas kemudian beralih ke ponselnya yang sedang melakukan panggilan namun beberapa saat kemudian terputus karena tidak dijawab. "Dia bahkan tidak menjawab teleponku. Seperti seseorang."

Kwon Hoshi mengalihkan manik matanya karena merasa dirinyalah yang dimaksud Pak Ji Min. Tiga hari kemarin memang dia tak menggubris ratusan panggilan dan puluhan pesan pendek wali kelasnya itu. Ponselnya bahkan sengaja diberi mode getar saja demi mengurangi kebisingan. Dalam hati pemuda itu merapal maaf. Sama sekali tidak menyangka wali kelasnya bakal kebakaran jenggot karena dia membolos kemarin. Hari ini pun dia akhirnya masuk kembali karena merasa tidak enak pada wali kelasnya itu.

"Itu ransel siapa, Saem?" Kedua alis Kwon Hoshi terangkat tinggi hingga membuat keningnya yang tertutup anak-anak rambut berkerut-kerut. Rasa-rasanya Kwon Hoshi pernah melihat ransel tersebut. Tapi entah kapan dan di mana. Dia terlalu malas untuk berpikir keras saat ini.

"Siswa baru yang sudah berani bolos di hari keduanya." Napas Pak Ji Min berembus kasar. Sepertinya dia kesal.

Kwon Hoshi ber-eh pendek. Sesuatu dalam kepalanya seperti baru saja menyentil kembali beberapa kenangannya ketika diingatkan perihal siswa baru itu. Tentang daerah asal, nama lengkap, kontur wajah, kebiasaan, garis bibir, bahkan detak jantung yang sama tiap kali manik mata mereka bersitatap. Ingatan-ingatan masa lalu bermain-main dalam kepalanya. Silih berganti dengan kejadian di toilet beberapa waktu lalu, di mana siswa baru itu terlihat menatap penuh benci di balik kacamatanya ketika, entah sengaja atau bagaimana, Kwon Hoshi dan Ming Hao berdua di sana. Semua terasa menyebalkan bagi Kwon Hoshi. Waktu seolah-olah sedang mempermainkan dirinya dengan memberikan sepotog demi sepotong puzzle ingatan.

"Ini ransel Lee Woozi. Kalian dulu satu sekolah di Busan, kan? Sekelas juga kalau tidak salah. Bapak sudah melihat berkas lama kalian. Dia juga sudah menjelang duapuluh tahun sepertimu. Dua tahun lalu dia mengalami kecelakaan dan koma, itulah mengapa dia terlambat menyelesaikan pendidikannya." Jeda sejenak. Pak Ji Min menarik napas, "Jadi Bapak minta tolong kembalikan ransel ini padanya karena kalian kan teman lama lagipula di dalam ransel ini ada pil-pil yang mungkin dibutuhkannya."

Kwon Hoshi ber-eh lagi. Sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Dia benar-benar gagal mencerna informasi dari wali kelasnya yang sudah susah payah menjelaskan karena terhanyut dalam pikirannya sendiri yang berusaha menebak akhir dari puzzle waktu yang sedang disusun, membuatnya tidak begitu fokus mendengarkan.

"Mwo?" Spontan saja ketua kelas itu bertanya. Ingin memastikan dia tidak salah dengar.

Pak Ji Min mendengus. Membatin dalam hati, diulang lagi?!

Long Trip to Love You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang