Rabu, 18 Oktober 2017
Duduk dibangku taman sehabis gerimis merupakan tempat yang tepat dan juga suasana yang tepat bagiku. Aku heran dengan orang yang tidak menyukai suasana seperti ini? Mereka malah mengupat jika hujan turun.
Aku mengeluarkan sebungkus roti rasa keju untuk menghilangkan rasa laparku. Aku lapar, bukannya tidak ingin kekantin, namun aku tidak suka keramaian, apalagi disana sedang ada antrian panjang, itu membuatku sesak.
"Ngomong-ngomong Damai kemana, ya? Katanya tadi dia mau membeli air mineral, tapi sekarang belum juga datang" gumamku pelan.
"Gue disini, Ra. Lo nggak bisa gue tinggal lama-lama, ya?" tanyanya yang tiba-tiba saja berada dibelakangku, tak lupa dengan senyum jahilnya.
"Bisa kok, buktinya tadi bisa"
Tidak bisa bisa Damai, kamu tau? satu detik saja kamu tidak ada disisiku, aku akan selalu memikirkanmu, satu menit tidak ada kamu disisiku, aku akan merasa kesepian, dan satu jam saja tidak ada kamu disisiku, aku akan merasa kehilanganmu, Damai. Bagaimana kalau aku akan pindah keluar negeri besok? Jika masih seperti ini caraku memikirkanmu?
"Gue nggak bisa, Ra. Jadi gimana dong?" ia duduk disampingku dengan wajah memelasnya.
"Lo lagi serius atau malah bercanda?" tanyaku memastikan perkataannya yang sepertinya hanya bercanda.
Hening...
"Udah, nggak usah dipikirin"
Aku diam menatapnya, masih mencoba mencerna maksud dari perkataannya barusan.
"Eh?, kok pelanginya nggak muncul?!" ucapnya histeris sambil menatap langit kecewa.
Aku sedikit terkejut karenanya,
"Ya... mungkin karena cuma gerimis sebentar" jawabku seadanya.
"Padahal gue mau liat pelangi sama Hara..."
Aku tersenyum kecil menatapnya yang sedang memperhatikan langit yang sedikit mendung disana.
Aku juga Damai...
"Kita bisa liat pelangi lain kali, Dam"
"Gue takut gue nggak bisa, Ra" ucapnya dengan suara yang pelan, namun masih dapat kudengarkan, matanya masih menatap langit dengan sendu.
Dahiku mengernyit, bingung dengan perkataannya.
"Maksud lo apa, Dam?" tanyaku memastikan maksud dari perkataannya.
Ia menatapku, bibirnya tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Nggak ada. Wueekk!!" ia menjulurkan lidahnya, meletakkan kedua ibu jarinya ditelinga dan keempat jari lainnya digerak-gerakkan, mengejekku.
"Damai!" pekikku geram, namun ia malah berlari.
Ia berlari dengan riangnya, seperti anak kecil. Tertawa, melompat, entah apa yang ia lakukan, namun hal yang ia lakukan itu, membuatku senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Setelah Hujan
Short Story#12 in short story [23-07-2018] #7 in short story [05-08-2018] Hal yang paling menyenangkan dalam hidupku adalah ketika mengenalmu, dan hal yang paling menyakitkan dalam hidupku adalah ketika mengenalmu juga. Tidak ada alasanku menangis kecuali kare...