3a

337 22 4
                                    

Mengingat alur yang terjadi sekarang, aku jadi teringat akan suatu kejadian yang menyebalkan. Seusai menarik nafas dalam-dalam, aku berupaya untul menarik perhatian semuanya.

"Aku pikir Mia bisa jadi pelakunya. Dia dulu pernah memfitnah aku ngehilangin sapu kelas. Eh, rupanya dia yang naruh itu di gudang. Jadi bisa aja kan korbannya kali ini tuh Elena."

Mia tampak terkejut. "Hah!? Kok aku!? Lagian dulu itu aku beneran kelupaan kok! Kamu ini ya!"

"Kelupaan, ya. Ahahahaha ...."

Yang tertawa mengejek itu adalah Luna. Secara otomatis dia mendapatkan tatapan murka dari Mia.

Aku tau kalau beberapa murid di sini telah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan dengan Mia. Maka dari itu, bisikan-bisikan yang menyinggung masalah itu pun mulai keluar.

Sembari menatap ke sekililing, aku berbicara dengan nada yang mencoba meyakinkan. "Gak cuma itu doang sih. Mia udah banyak banget nyalahin kita buat sesuatu yang gak kita lakuin."

"I-iya, bener. Dulu aku yang paling banyak kerjain tugas kelompok, eh dia malah bilang ke yang lain kalau aku kerjanya yang paling nggak becus."

"Kalau itu emang kamunya nggak becus kok! Ngaco ih!"

Mia mencoba membantah pernyataan Layla. Tapi sepertinya hal itu tidak membendung persepsi negatif dari murid-murid yang lain.

"Hmm, kayakya bisa aja deh Mia yang ngelakuin. Tadi pas pemeriksaan, Elena gak keliatan gugup."

"Iya, dia kayak gak tau gitu kalau ada kalung di tasnya."

Suara-suara itu berubah dari yang berupa bisikan menjadi semakin jelas. Mia terlihat menahan emosinya yang telah membendung. Matanya melotot. Giginya terus menerus menggertak.

"Itu kan masa lalu! Yang ini aku beneran jadi korban! Buat apa aku ngefitnah kayak gitu, gak ada kerjaan! Ini kan udah jelas Elena pelakunya! Kalian ini buta atau goblok sih!?"

"Iya tuh, bener. Mia gak mungkin ngelakuin itu kok!"

Tak ada pertanda dari Mia untuk menyerah. Dia terus berteriak membela diri, dibantu oleh beberapa anggota kubunya. Inilah yang dinamakan solidaritas. Tetapi agak konyol sih, soalnya menurutku orang seperti Mia tidak pantas untuk dibela.

"Udahlah! Udah cukup! Mending kita udahin aja deh! Lagian kalungnya kan udah ketemu!"

Teriakan Gio itu berhasil menengahi suasana yang makin memanas. Namun kemarahan Mia terlihat masih belum bisa terbendung.

"Tapi kan, ini udah jelas-jelas si Elena--"

"Daripada debat-debat kayak gini, mending kita udahin aja. Intinya kan kalungmu udah balik. Siapapun pelakunya, udah lah, dimaafin aja."

"Gak bisa gitu dong! Elena kan-"

"Udahlah, Mia. Udah. Please."

Kata-kata Mia berhasil ditahan oleh Gio. Dia mendecih, kemudian bersuara setelah sempat menghela nafas dengan begitu beratnya.

"Ah, udah lah! Bodo! Udah sana, bubar! Bubar!"

Sesuai dengan perintahnya, para murid yang tadinya bergerombol pun mulai membubarkan diri. Mia menatap tajam Elena. Perasaan bencinya bisa dirasakan dengan mudahnya. Sialnya, dia juga menatap diriku dengan tatapan yang serupa.

__________
. Baca bagian 4c

Butterfly Effect: StealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang