"Ruby...."
Mendengar seseorang menyerukan namaku, aku langsung berbalik, berharap yang memanggilku itu adalah Rie.
Semenjak tadi pagi dia sudah menghilang dari sampingku, ketika aku bangun tidur aku sudah tidak mendapatinya lagi setelah 'permainan' kami tadi malam.
Ah ... jika mengingat apa yang kami lakukan tadi malam selalu membuat pipiku merona kembali. Dia benar-benar gila.
"Hei! Kamu mendengar aku tidak?!!" ucap Isac salah satu dari kaum strata 3 yang selalu menemaniku seharian ini.
"Sebenarnya apa sih yang kau pikirkan? Dari tadi tidak mendengar perkataanku," omelnya seperti ibu-ibu cerewet yang memarahi anaknya.
"Aku selalu mendengarkan kamu, Isac. Betapa jengkelnya kamu saat Rie dengan seenaknya meninggalkan tugasnya," kataku yang berharap dapat menghentikan omelannya.
Isac memandangku dengan penuh curiga, seolah-olah aku telah mencuri barang kesayangannya.
"Kamu...."
"Ada apa?"
"Tidak, tidak. Lebih baik aku pulang sekarang," ucapnya beranjak dari depanku.
Sebenarnya inilah yang sedari tadi aku inginkan, agar Isac pulang dengan secepatnya dan aku bisa istirahat.
Rie benar-benar seseorang yang sangat gila. Bagaimana mungkin dia bisa memintaku untuk melakukan hal senikmat itu tadi malam.
Mengingatnya saja selalu mampu untuk membuat kedua pipiku merona merah.
Flashback
"Ini...," tanyaku setengah tidak percaya dengan apa yang sedang aku lihat.
"Kita akan bermain dengan alat-alat ini, Sayang," ucapnya berbisik di telingaku, seketika membuat tubuhku kembali meremang memikirkan kejadian selanjutnya.
Di hadapanku terdapat banyak alat-alat yang selama ini sering ku temui di ruangan pamanku, dulu.
"A-apa ... aku akan memakai semua ini?"
Jujur, aku sangat ketakutan ketika kembali melihat alat-alat yang pernah membuatku menderita, dulu.
"Apa maksudmu, Sayang?? Tentu saja alat-alat ini bukan untukmu," jawab Rie melihatku dengan pandangan berkabut.
Diam-diam aku menghembuskan napas, sungguh aku sangat lega dengan pengakuan Rie jika tidak akan menggunakan alat itu untuk menyiksaku.
"Terus untuk apa ... alat-alat ini?" tunjukku ke sekeliling kamar.
Rie memegang pundakku,menghadapkan diriku ke cermian yang ada di samping pintu. "Itu untuk aku. Aku ingin kamu menggunakan alat-alat itu untuk membuatku merasakan kenikmatan surga, Ruby."
"Apa kamu—"
"Enghh...."
Sial. Aku bahkan belum selesai bicara, dia sudah seenaknya menghisap leherku dan membuat tanda di sekujur bahuku.
"Rie...."
"Diamlah, Ruby. Aku hanya ingin menikmati ini," ucapnya menjalankan tangannya keseluruh tubuhku.
Sial. Ini terasa nikmat.
Rie terus saja menggerakkan kedua tangannya, meremas dan menangkup kedua payudaraku yang sangat pas di genggamannya.
Mulutnya tidak berhenti memberikan ciuman-ciuman nakal di sekujur leherku, memberikan tanda yang mungkin akan hilang beberapa hari kemudian.
"Ruby, puaskan aku," ucapnya membalik tubuhku, kini aku bisa melihat dengan leluasa wajah tampannya dan tatapannya yang kini semakin berkabut.
Sial!! Tatapannya sangat menggoda, ingin kuterkam saja dia, ucap hatiku yang sangat-sangat jujur.
"Beritahu aku, bagaimana cara memuaskanmu," ucapku mendesah kecil di dekat telinganya, menjilatinya dan membuat Rie hanya mendesahkan namaku saja.
Rie melepaskan semua yang ada pada tubuhku, sebenarnya aku malu ditatap dengan penuh gairah olehnya.
"Naiki aku," ucapnya berjalan ke kasur dan telentang.
Shitt!! umpatku tidak tahan melihat kejantanannya menegang dengan sempurna, terayun-ayun menggodaku untuk memainkannya.
Aku mendekatinya, menatapnya dengan tatapan lapar, sungguh aku ingin segera memainkan 'miliknya' yang sangat menggoda itu.
"Aku ingin kamu memakai ini," ucapku menyerahkan borgol hitam metalik yang terlihat sangat cocok dengannya.
Rie tidak membalas ucapanku, dia hanya mengambil benda itu dan memakainya sendiri. Tanganku dengan cepat menutup matanya dengan kain hitam yang aku temukan bersama benda-benda lainnya yang sangat menakutkan bagiku.
"Kamu tidak boleh mengeluarkan suara apapun tanpa perintahku, Sayang," ucapku menjalankan jari telunjukku menyusuri kedua putingnya yang sangt terlihat seksi dimataku.
Oh, katakanlah aku benar-benar jahat karena ingin menyiksanya, tapi bukankah ini bagian dari sebuah game?
"Ini sudah sangat keras," ucapku memegang miliknya yang benar-benar besar dan keras itu.
"Engghhh," desahnya yang tidak tahan dengan sentuhan ku.
"Ah, sepertinya kamu harus di hukum karena sudah melanggar apa yang aku bilang," ucapku berdiri mengambil penutup mulut dengan bola kecil ditengahnya yang sanggup membuatku terdiam, dulu.
Setelah memasangkannya tentu saja aku kembali menekuni pekerjaanku memainkan miliknya yang begitu menggoda, dengan kepala seperti jamur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suck (Slow Update)
RomanceRated: Mature "Aaahhh." Sial ... tangannya terasa nikmat. "Apa ini terasa nikamat, Istriku??" tanya Rie dengan tangan yang masih mengelus tubuh Ruby. "Tidak," elak Ruby. Tapi siapa yang akan mempercayai perkataannya ketika mulutnya terus mengeluarka...