(5) Rafael Will be Rafael

33 5 0
                                    

Aku gak bisa. Aku terlanjur suka sama dia. Permainan ini menjebakku. Bodohnya aku, kenapa aku mengiyakannya tadi?

Khanza melamun lagi sambil melukis seorang laki-laki yang sedang bersandar pada sebuah pohon, di kamarnya. Laki-laki itu iyalah Rafael, orang yang berbeda, yang membuat Khanza jatuh hati.

"Ca?" seseorang membuat lamunan Khanza menghilang.

"Ara? Kok bisa disini?" tanya Khanza saat melihat Ara membawa tas di dalam kamarnya.

Dari mata Ara, jatuhlah butir-butir air yang membuat Khanza panik. "Kenapa? Eh, sini duduk dulu." kata Khanza menuntun Ara untuk duduk ditempat tidurnya.

"Ibu gue meninggal, Ca." katanya pelan.

"Kenapa? Kok bisa?" tanya Khanza penasaran. Akhirnya, Ara menceritakan dari awal hingga akhir. Hingga mood Ara kembali.

"Ca, gue nginep disini ya." Khanza lalu tersenyum.

"Okayyy!" seru Khanza penuh semangat.

"Ahhhh, gue kangen lo banget." kata Ara lalu dengan tiba-tiba memeluk Khanza.

"Besok jalan-jalan yuk!" ajak Khanza.

"Besok jalan-jalan sepuas kalian, Umi sama Mba' kamu ada acara. Sekarang tidur ya," kata ibunya Khanza secara tiba-tiba.

"Siap!" seru Ara dan Khanza kompak.

***

Hari ini Khanza dan Ara berjalan-jalan menikmati hari ini berdua. Mereka menonton film bersama. Sampai siang hari, mereka kelaparan dan memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum ngapa-ngapain lagi.

"Tunggu sini ya, gue aja yang pesenin. Gue traktir," kata Ara lalu berlalu meninggalkan Khanza sendiri di meja. Khanza suka memfoto orang-orang, menghasilkan candid yang keren.

Hingga, saat dia mengambil foto segerombolan anak laki-laki seumurannya, dia melihat Rafael ada di dalam gambar yang telah diambil Khanza tadi.

Khanza mencoba fokus untuk menghindari Rafael. Saat Khanza sibuk membaca cerita-cerita di Wattpad, giliran Rafael yang melihat Khanza yang sendirian di sebuah meja yang tidak jauh darinya.

Coba gue sapa Khanza, gue gak boleh jahat banget sama dia. Karena bagaimanapun dia masih menempati ruang di hati ini. -Pikir Rafael.

"Ana sana bentar yak!" seru Rafael pada teman-temannya. Teman-temannya hanya mengangguk, bahkan ada yang menghiraukan Rafael karena sibuk makan.

"Hai, Halu." sapa Rafael pada Khanza. Khanza yang terfokus pada ponselnya melirik siapa yang menyapanya. Khanza terkejut, bagaimana bisa dia ada didepan mataku sekarang?

Tanpa sadar Khanza mendiamkan Rafael. Rafael menegurnya sekali lagi, tapi Khanza justru pergi meninggalkan mejanya menuju toilet.

Rafael sedikit bingung, tingkah Khanza aneh sekali. Rafael lalu memutuskan untuk duduk di meja Khanza. Sampai datanglah Ara.

"Siapa lo? Temen gue mana?" tanya Ara jutek, menatap tajam ke arah Rafael.

"Kenalin, gue Rafael. Temen lo Khanza bukan?" kata Rafael ramah.

"Kemana dia?" tanya Ara lagi, sambil meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja.

"Toilet." kata Rafael singkat. Dengan cepat Ara lari ke toilet.

"Raf, yok balik lah. Ustadz udeh nelponin ana terus nih," kata salah satu teman Rafael yang berdarah betawi.

"Tapi ana masih nunggu orang nih," jawab Rafael sambil celingak-celinguk melihat keadaan sekitar.

"Akhwat tadi? Udahlah, ayo!" dengan terpaksa, Rafael meninggalkan Khanza yang bersikap aneh tadi.

"Ayo deh," kata Rafael.

Khanza mengintip Rafael sedari tadi, yang membuat Ara bingung sendiri. Setelah melihat Rafael meninggalkan mejanya. "Jadi dia yang namanya Rafael?" tanya Ara.

"Iya, dia Rafael." kata Khanza agak dingin. Khanza merubah dirinya untuk tidak terlalu peduli terhadap orang lain, toh orang lain aja tidak peduli terhadap dia.

***

Aku terlalu bodoh. Kenapa semua ini terjadi saat aku sedang berusaha untuk menjauhimu? Tak tahu kah kamu, kalau aku sangat ingin lepas dari perasaan yang mengikat ini?

Aku benar-benar jadi es batu, yang dingin. Cuek. Bahkan tidak peduli terhadap diriku sendiri. Hari ini, aku mengurung diri di kamarku sendiri. Padahal harusnya, hari ini aku sedang mengikuti salah satu lomba di sekolah.

***

"Gue khawatir banget sama keadaan Khanza, Raf." Husen menggigit bibirnya sambil berjalan bulak-balik di depan wajah Rafael.

"Kenapa dia?"

"Dia berubah, Raf. Gue juga gak ngerti," kata Husen yang kini duduk ditempat tidurnya.

"Kemarin juga pas gue habis nyari buku sama wawancara di Mall gue liat dia, pas gue samperin dia malah menghindar dari gue." Rafael menatap dinding langit, ikut memikirkan apa penyebab Khanza menjadi seperti itu.

"Kok aneh?"

"Gak tau," Rafael berfikir lagi. "Apa jangan-jangan gara-gara gue lagi? Menurut lo gimana?"

"Lo apain dia emangnya?" tanya Husen menatap Rafael penuh selidik.

"Gak gue apa-apain," jari tangan Rafael menyentuh pipinya. "Pas itu gue kirim email dia masih baik-baik aja, ya.. Meski gue tau, dia pasti terluka."

"Email?" Tanya Husen. Rafael mengangguk. "Email apaan? Mana sini gue liat."

Rafael lalu mengambil laptopnya, menunjukkan email yang ia kirim untuk Khanza pertama kali. Juga email-email yang lain, yang dikirim oleh Khanza. Husen langsung membaca isi email itu dengan serius. Dia seperti tidak berkedip sama sekali.

"Pantes! Lo kok jahat sih, Raf?" tanya Husen yang baper setelah membaca email-email dari Rafael dan untuk Rafael.

"Tapi, waktu itu Khanza baik-baik aja.. Sampe.." Rafael berusaha mengingat kapan terakhir Khanza tidak bersikap aneh padanya. "Sampe satu hari setelah acaranya Anara!"

"Maksud lo?"

***

"Gue terlalu takut. Gue malu, Sen." tubuh Rafael bergetar. Dia tidak berbohong. Dia benar-benar takut dan malu untuk bicara.

"Lo cowok kan? Buktinya mana? Gini aja takut." Kata Husen tegas. Rafael terdiam membisu. "Mana!? Mana!? Tunjukin sama gue!"

"Gue gak bisa. Gue bener-bener akan melupakan dia, dari pada gue selalu menyakiti hatinya kan?" Jawaban itu sungguh membuat Husen kesal. Bukan itu yang dia harapkan yang keluar dari mulut Rafael.

"Tapi seenggaknya lo--"

"INI HIDUP SAYA. JADI BERHENTI MENGATUR SAYA." Teriak Rafael, dia gak kuat. Husen menatapnya tak percaya.

"Iya, ini hidup lo. Gue tau," Husen sekarang merasa bersalah juga kecewa pada Rafael. "Terserah lo, gue gak berhak ngatur-ngatur lo. Makasih udah ngingetin gue, kalo gue nothing dihidup lo."

Shy Boy [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang