BAB 5

6 1 0
                                    

"Naca!" teriak bocah lelaki itu dari kejauhan. Gadis kecil itupun menoleh dan tersenyum senang ketika mendapati kak El yang memanggilnya.

"Kak El." Naca kecil berlari kearah El dan memeluk bocah lelaki yang berbeda 5 tahun dengannya. El membalas pelukan gadis kecil didepannya ini. "Naca sendirian? Tidak ada teman bermain?" Tanya El sambil menoleh kekanan dan kekiri.

"Iya kak. Naca cendilian. Kak El mau menemani Naca bermain?" gadis itu memandang dengan pandangan penuh harap. El tersenyum. Baiklah. Tapi kita tunggu Lolo dulu ya. Lolo sebentar lagi datang.

Gadis kecil itupun hanya mengangguk, lalu kembali duduk dan memainkan bonekanya. Tak lama yang ditunggupun datang. "Itu Lolo. Lolo!" panggil El pada adiknya.

"Kakak jahat meninggalkan ku." Ucap Lolo sambil berjalan kearah Naca dan memeluknya dari belakang. "Hai Naca, kenapa adik kakak duduk sendirian lagi disini? Dimana kakak dan teman-temanmu?"

"Kak mel maci cakit, jadi Naca cendilian disini. Kak Lolo mau temenin Naca main? Kata kak El kalau mau main sama kak El harus tunggu kak Lolo dulu." Ucap gadis kecil itu terbata-bata.

"Hm, ayo bermain. Tapi kak Lolo gamau bermain boneka-bonekaan ya. Kak Lolo anak laki-laki, dan anak laki-laki tidak bermain boneka-bonekaan. Mengerti?"

"Tapi Naca cuma bawa boneka" jawab Naca dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah, main sama kak El saja sini. Kak El mau main boneka-bonekaan sama Naca." Jawab El menengahi.

"Aciiikk.. kak Lolo pelgi cana, main cendili. Naca cama kak El mau main boneka-bonekaan." Ujar gadis kecil itu sambil memeletkan lidahnya.

"Ya sudah kak Lolo mau main disana. Dada Naca." Bocah lelaki itupun pergi berlari dan menghampiri segerombol anak lelaki yang sedang bermain mobil-mobilan.

"Huh, kak Lolo jahat. Ayo kak El main." El hanya bisa tersenyum mendengar gerutuan seorang anak kecil didepannya ini. Siapa sangka gadis kecil yang ditolongnya waktu itu rumahnya berdekatan dengannya, hanya berjarak tiga rumah saja.

Melihat Naca tersenyum dengan senang saat bermain boneka bersamanya merupakan suatu kesenangan tersendiri bagi El. Entah mengapa gadis yang beda usianya terpaut 5 tahun dengannya ini sudah bisa memikat hati kecilnya.

"Hey brother. Bagaimana Inggris?" suara seseorang membangunkan lamunan El.

"So far so good. Thanks to you, karna ulahmu aku baru bisa mendapatkan kesepakatan dari Om Roni. Lain kali lebih bertanggung jawablah sedikit dude! Walaupun kau adikku, aku tidak bisa mem-back up mu terus-terusan. Kau mengerti?!" omel El pada adik kesayangannya ini, siapa lagi kalau bukan Ian.

Yang diomelipun hanya bisa tertawa, "Santai brother. Yang penting semuanya aman kan?"

Kotak tisupun melayang kearah Ian dan berhasil mengenai lengan Ian yang semakin membuatnya tertawa terbahak-bahak.

"Ian. Aku, aku bertemu dengan wanita yang mirip sekali dengan Naca. Kau ingat Naca? Gadis kecil yang sudah memikat hatiku sedari dulu."

Ian menegang ditempat. 'apakah kak El sudah bertemu Elisa? Tapi setahuku Elisa di Indonesia terus dan belum bepergian jauh.' Batin Ian.

Ia lantas berdeham dan bertanya pada kakaknya "Naca? Maksudmu kau sudah bertemu dengan Naca? Bagaimana rupa Naca sekarang? Apakah semakin cantik?" Tanya Ian sewajar mungkin.

"Tidak. Aku tidak bilang kalau aku bertemu dengan Naca bodoh! Aku bilang kalau aku bertemu dengan wanita yang mirip dengan Naca. Sifatnya, senyumnya, tapi dia bukan Naca gadis kecil ku." Jawab El menerawang.

"Ah, aku kira kau sudah bertemu dengan Naca." Jawab Ian dengan kelegaan. Ian tidak ingin memberitahukan El jika ia sudah bertemu dengan Naca yang asli, karna ia tidak ingin kakaknya tahu jika Naca yang dulu dan yang sekarang sudah berbeda 180 derajat. Ia ingin mengembalikan keceriaan Naca terlebih dahulu baru ia beritahukan kakaknya itu.

El hanya bisa tersenyum menerawang. "Aku pergi dulu kak. Aku ada janji dengan Josh." Ian bangkit berdiri dan keluar dari ruangan kakaknya itu. Bergegas menuju kantor Josh. Ia ingin segera tahu ada cerita apa dibalik perubahan sifat Elisa itu, adik kecilnya.

***

Selama perjalanan menuju kantor Josh, Ian terus menebak-nebak sebenarnya apa yang sudah terjadi pada Naca kecilnya itu. 'Kenapa Naca sampai kehilangan senyum dan wajah cerahnya?' 'Apa yang sebenarnya terjadi padamu?' dua pertanyaan itu terus saja menghantui pikirannya. Sampai tak terasa Ian telah sampai di depan gedung pencakar langit didepannya yang tidak kalah besar dengan gedung miliknya.

Ian berjalan mantap menuju keruangan Josh, tanpa sadar dirinya telah diperhatikan oleh Elisa dari jauh yang bersiap-siap sembunyi jikalau Ian berhasil melihatnya. Elisa sungguh tidak ingin bertemu dengan Ian lebih dari sekali dalam sehari. Sebuah kesialan baginya jika itu terjadi.

Tanpa sadar Elisa menghembuskan nafasnya keras-keras 'untung saja dia tidak melihatku.' Batin Elisa dan memutar arahnya menuju lift samping karna ia tidak ingin bertemu Ian dideretan lift utama.

Sementara Ian masih memfokuskan langkahnya menuju ruangan Josh. Ia sungguh tidak sabar.

***

"Selamat siang Mr. Ian. Anda sudah ditunggu Mr. Josh didalam." Sapa sekretaris Josh pada Ian yang hanya dijawab dengan senyuman saja.

Ian membuka pintu ruangan didepannya itu tanpa member salam sapaan pada sang empunya ruangan. Ia berjalan menuju sofa dan mendudukkan dirinya "Minuman dingin satu jika boleh. Diluar sangat panas." Suara Ian itu sangat mengagetkan Josh. Kebiasaan buruk Josh jika sedang serius ia tidak memperhatikan hal lain.

"God. Kau kira aku pelayanmu? Dan kapan kau datang?" jawab Josh seraya berjalan mengambilkan minuman untuk Ian.

"Ditambah mendengarkan omelanmu, aku datang baru dua menit yang lalu" Jawab Ian menunjukkan senyum simpulnya.

Josh duduk didepan Ian, dan tanpa basa-basi lagi ia langsung mengucapkan permintaan Elisa itu. "Jauhi Elisa." Ian yang mendengarnya kaget dan terpaku ditempatnya. Ia tidak menyangka jika inilah yang ingin disampaikan sahabatnya padanya.

"Bukan tanpa alasan Ian. Aku sudah menganggap Elisa seperti saudaraku sendiri. Keluargaku. Dan aku tidak ingin melihatnya jatuh dan terpuruk lagi jika kau mendekatinya untuk mempermainkannya seperti gadis-gadismu yang lain. Elisa berbeda Ian, dan dia gadis baik-baik bukan gadis murahan seperti koleksimu itu." Terang Josh bersungguh-sungguh menatap Ian tepat dimatanya.

Ian yang menyadari maksud Josh langsung tersenyum dan mendesah lega. "Beruntung Nasya memiliki mu yang bisa menjaganya dari lelaki sepertiku. Tapi maaf Josh, aku tidak mungkin menyakiti Nasya seperti lelaki diluar sana. Dan apa katamu? Jadi itu alasannya kenapa Nasya bisa berubah sampai seperti ini?"

"Wow.. wow.. tunggu sebentar, jadi kau tahu kalau Elisa bernama asli Nasya? Dan bagaimana kau tahu? Apakah kau adalah stalkernya atau kau adalah lelaki berengsek yang dulu menyakitinya?" Tanya Josh dengan nada naik satu oktaf.

"Pertama, ya aku memang tahu kalau nama asli Elisa adalah Nasya. Kedua, aku bukan stalker yang suka menguntitnya kemanapun dia pergi, aku juga punya kehidupan dan pekerjaan yang harus diurus Josh jadi itu tidak mungkin. Aku tahu karna aku baru tahu kalau Elisa adalah adik kecilku dulu. Gadis kecil manis yang menjadi temanku bermain dulu. Yang dulunya sangat periang, dan skarang tiba-tiba berubah menjadi gadis pemakai topeng yang tak tersentuh. Bisakah kau jelaskan padaku ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi padanya selama 19 tahun tak bersama ku?"

Josh kaget mendengar pengakuan Ian itu. Tak disangka Ian lebih dulu mengenal Elisa daripada dirinya. "Baiklah, akan aku ceritakan semuanya."


tbc

Untouchable MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang