Pagi di bulan februari yang pertama diawali dengan benturan keras di kepalaku. Aku jatuh terjerembab dari tempat tidurku karena mimpi itu datang lagi. Seperti kebanyakan remaja di muka bumi ini, akupun memiliki angan menikah dengan pangeran berkuda impianku. Aku mengaduh sambil mengusap kepalaku yang sakit."Miraa.. kamu jatuh lagi?" teriakan dari luar kamarku terdengar jelas.
"enggak Bun.. Mira tadi olahraga biar kurus!"
"Jangan lompat-lompat di lantai dua, nanti rumah kita roboh!"
"Ga loncat Bun!"
Ya, aku memang ceroboh. Semua yang kulakukan sepertinya akan selalu jadi malapetaka bagi orang-orang di sekelilingku. Aku sering melihat tatapan ngeri atau bergidik atau apapun itu namanya. Dengan bobot tujuh puluh kilogram dan tinggi seratus lima puluh lima centimeter membuatku terlihat seperti bola. Mengenaskan!
"Miraa.. ayok cepat sarapan, Bunda mau berangkat kerja," teriak Bunda lagi.
Aku dengan malas segera masuk kekamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi lalu turun menuju meja makan dimana Bunda dan Maera telah duduk dengan khusyuk. Sarapan adalah agenda wajib yang kami lakukan sejak kecil. Ayah mengajarkan kami pentingnya sarapan bagi tubuh ini. Selain dapat menambah energi, sarapan kata Ayah bisa mengontrol nafsu makanku karena mengisi perut di pagi hari maka ia dapat menekan nafsu makan di siang hari. Teori Ayah berlaku untuk Maera tapi tidak untukku.
Oh iya, perkenalkan Aku Miranda Burairiah Ahmad. Hidup dengan tubuh membengkak sejak delapan belas tahun lalu. Dulu aku adalah seorang anak dengan kondisi tubuh yang ringkih. Ayah dan Bunda selalu memberikan berbagai vitamin padaku hingga puncaknya saat aku berumur empat tahun berat badanku menjadi tidak terkontrol. Aku mempunyai seorang kakak yang selisih umurnya hanya dua tahun diatasku. Namanya Maera Abiam Ahmad. Bertubuh lebih mungil dan lebih kurus dariku membuatku terlihat lebih tua. Ketika aku dan Maera pergi bersama, banyak yang menyangka aku adalah si sulung sedangkan Maera adalah si bungsu. Dan ini adalah sepenggal kisah hidupku yang mungkin bisa menghibur kalian.
"Miraaa ...."
"Iya Bun."
"kamu melamun lagi?"
Aku cuma ngenyir. Menampakkan sederetan gigiku yang putih.
"Ya sudah, Bunda berangkat kerja dulu, Maera mau bareng Bunda?"
Maera yang sedari tadi sibuk dengan hpnya langsung mengangguk cepat.
"boleh deh Bun, Sigit ga jadi jemput," katanya bersiap-siap.
"jaga rumah yang baik ya Sayang, Bunda berangkat kerja dulu, jangan kecewa karena lamaran kerja kamu belum ada yang approved," Bunda mencium puncak kepalaku.
Aku cuma tersenyum kecut mengingat dua puluh lima lamaran kerja yang kusebar hanya lima diantaranya yang memanggilku wawancara. Dan dari kelima wawancara itu tidak satupun yang menjadikanku staffnya.
Bunda berlalu dan aku kembali dalam lamunanku. Apa sebaiknya aku kembali kuliah saja? mengambil gelar master agar bisa menjadi dosen. Mungkin hanya pekerjaan itu yang dapat menerima keadaanku. Aku melirik jam dinding. Sudah jam tujuh lewat lima belas menit. Aku mandi dan bersiap-siap mengajar membaca untuk anak-anak tidak mampu di daerah dekat rumahku. Itulah kegiatanku beberapa hari terakhir setelah aku lulus kuliah dan resmi jadi pengangguran. Setidaknya tawa canda mereka mampu membuat hatiku riang. Dan yang terpenting, mereka tidak pernah memandang fisikku.
**
Cica tertawa saat melihatku berjalan kearahnya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu terancam tidak bisa sekolah karena sampai saat ini ia belum bisa membaca. Orang tuanya tidak mampu menyekolahkan Cica karena keterbatasan biaya.
Aku membawa beberapa buku yang kubeli dengan uang jajan dari Bunda. Biarlah aku tidak bisa ngemil bakso dan burger, yang terpenting kelima anak muridku ini bisa membaca. Aku menatap Cica, Hana, Desi, Abdul dan Rohman dengan senyuman lebar yang khas. Kami duduk di sebuah pos kamling yang berukuran kecil. Tidak, tidak. Ini terlalu kecil karena ukuran tubuhku yang besar sehingga membuat kami harus duduk dengan rapat. Namun tak mengurungkan niat murid-muridku menimba ilmu. Aku bangga pada mereka.
Rohman yang pemberani memberikan aba-aba untuk berdoa. Aku selalu membiasakan mereka untuk berdoa sebelum memulai aktivitas. Berdoa selesai dan aku mulai membagikan buku yang kubawa.
"hari ini kalian dapat buku tulis dan perlengkapan menulis dari kakak, jaga baik-baik ya. selain membaca kita juga akan belajar menulis"
"asiik.. terima kasih kakak" teriak Abdul dan Rohman serentak. Sedangkan para gadis berebut memelukku. Rasanya damai.
"Sama-sama, sekarang mari kita lanjutkan pelajaran membacanya"
Akupun menuliskan beberapa kata pada kertas HVS yang kubawa.
MAIN BOLA
BONEKA SAYA
"coba baca Siska,"
Siska memonyong-monyongkan bibirnya, berusaha membaca tulisan yang kutulis dikertas hvs tersebut. "em-ma ... ma-i ... in.. main.. be-o ... bo- el-la.. bola main bola."
"yeay.. Siska pandai, ayok sekarang Abdul baca bagian ini," tunjukku.
"be ... be ... be ...."
"huruf apa ini yang bulat?"
"O ya kak?" tanyanya dengan hati-hati. Abdul yang paling sering bolos kelas baca tulis ini. Ia harus mengirimkan koran, menggantikan Ayahnya yang saat ini terbaring di rumah karena kecelakaan yang didapat saat mengantarkan koran.
"benar, be dengan o dibaca bo," kataku dengan telaten.
"be.. o.. bo.. en.. e.. ne.. ka.. a.. ka.. bo.. ne.. ka.. boneka.. aku bisa baca boneka kak" teriak Abdul riang. Aku tersenyum melihat air wajahnya yang bersinar.
"sekarang lanjut bagian ini."
"es.. a.. sa.. sa.. sa ...."
"ini huruf y," kataku membantu Abdul.
"es.. a.. sa.. ye.. a.. ya.. sa.. ya.. saya"
Keempat temannya memberikan tepuk tangan. Mereka turut bangga pada Abdul yang berusaha mengeja tulisanku. Hingga pukul sebelas siang, anak-anak bergantian membaca dan mereka juga belajar menulis. Setelah itu aku dan kelima murid kecilku berpisah. Aku kembali kerumahku dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Sambil sesekali mengecek email, mungkin ada satu dari sekian ratus perusahaan di kota ini yang menawari pekerjaan di kantor mereka. Yah, aku masih berharap. Selama harapan itu masih bisa diterima akal sehat dan tidak dilarang negara. Semoga suatu saat.
.
.
.Hallo
Aku balik lagi
Ini ceritaku yang kelima
Tolong klik bintangnya ya
Terima kasihManda
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA
ChickLitDua puluh lima! Bayangkan! Dua puluh lima surat lamaran kerja sudah Miranda layangkan ke berbagai perusahaan. Bukannya Miranda bodoh, atau kurang cantik. Ia hanya memiliki bobot diatas rata-rata gadis seumurannya. Namun hal tersebut membuat level ke...