Lima belas

1.3K 147 21
                                    

Semalam aku meminta Jeremy menemaniku ke mall. Aku membeli lima buah tas dengan uang sisa tabunganku untuk kelima muridku. Hari ini aku akan memberikan mereka tas ini, agar mereka bisa menyimpan buku mereka.

Jeremy menjemputku jam delapan pagi. Kali ini kami berboncengan naik motor menuju pos kamling. Dan tau apa yang terjadi ketika kami berboncengan? Ban motornya bocor karena tidak kuat menahan beban berat tubuhku yang makin berat karena beban hidupku.

"Kayaknya lama deh Mir," kata Jeremy setelah menyerahkan motornya pada Mas-Mas tukang tambal ban.

"Kamu aku anter ke pos dulu gimana?" Tanya Jeremy.

"Trus motornya?"

"Ya abis anter kamu, aku kesini lagi,"

"Jalan kaki?"

"Iya."

"Enggak deh, aku tungguin kamu aja,"

"Kenapa?"

"Kalau kamu mau anterin aku jalan kaki, ya kita pulangnya kesini jalan kaki juga, masa kamu sendiri yang kesini jalan kaki sendirian," kataku panjang lebar yang direspon dengan senyum oleh Jeremy.

"Eh aku telpon Mamas dulu ya," kataku.

"Jangan lama-lama," jawab Jeremy.

Aku berdiri menuju tempat yang agak sepi. Mencoba menghubungi Mamas yang tidak merespon telponku. Hatiku gelisah. Aku menggigiti kuku jariku.

"Mir kenapa?" Tanya Jeremy lembut padaku.

"Mamas ga bisa ditelpon, aku khawatir deh," kataku menunduk. Rasanya campur aduk didalam dadaku.

"Kita jalan kaki aja deh kesana," katanya sambil mengambil lima buah tas yang sudah ku bungkus rapi.

Aku membantunya membawa tas-tas itu. Kami berjalan menyusuri padatnya lalu lintas kota kecil ini. Kota kelahiranku yang menjadi gerbang Provinsi Kalimantan Timur.

"Mir ...."

"Hmmm."

"Mir ...."

"Hmmm."

"Kok jawabannya gitu doang?"

"emang kamu nanya?"

"Jadi aku boleh nanya?"

Aku mendengus kesal. Biasanya kan aku yang jago ngeles kayak gitu. Kok sekarang aku kalah?

"Aku boleh tanya ya?" Jeremy mengulang pertanyaannya untuk bertanya.

"Kepo deh."

"Boleh ga?"

"Kalo aku bilang ga boleh, kamu tetap tanya?"

"aku tetap tanya!"

"Ya udah Jeremy boleh tanya," kataku kemudian setelah berpikir lama. Kira-kira dua detiklah.

"Kenapa kamu sayang banget sama kelima bocah itu?" Tanya Jeremy.

Aku menatapnya yang terus menatap kedepan. Takut nabrak tiang listrik, aku mengalihkan pandanganku ke depan juga.

"Apa ya ... karena mereka nerima aku apa adanya." 

Jeremy menoleh padaku. Merasakan sesuatu yang hangat menyusuri setiap jengkal hatinya. Gadis di sampingnya itu bahkan tidak menyadari siapa dirinya. Rasa itu makin menghangat dan menerpa seluruh tubuhnya.

Brrruuuuuukkkkk!

"Ya Ampun Jer, kamu gapapa?" Tanyaku panik pada Jeremy yang sudah melantai karena menabrak pohon. Aku membantunya berdiri. Ia membersihkan tangan dan celananya yang kotor.

"Gapapa Mir," jawab Jeremy. Kami melanjutkan perjalanan kami dalam diam.

Aku melihat dari jauh, pos kamling miniku nampak lebih ramai dari biasanya.

Aku dan Jeremy mempercepat langkah kami.

Cica yang melihatku datang, segera berlari memelukku. Disusul keempat bocah yang lain. Aku balas memeluk mereka.

"Mba Mira baru datang," sapa Ibu Cica. Aku menyalami Ibu Cica masih dalam posisi kakiku dipeluk lima murid kecilku.

"Sudah, kasian Mba Mira, ayok kalian kumpul sini dulu," kata seorang Bapak melepaskan pelukan kami.

Jeremy membantu memberikan tas yang kami bawa kepada bocah-bocah yang berteriak kegirangan. Aku tersenyum.

"Saya Bapaknya Rohman Mba, yang pake tongkat ini Bapaknya Abdul, yang baju kuning itu Bapaknya Hana, Bapaknya Desi ga bisa datang, soalnya baru kerja," jelas Bapak Rohman ketika duduk disampingku.

Aku tersenyum menyalami mereka satu persatu. Mamas terlihat sibuk dengan Ibu-ibu yang sibuk menyusun makanan. Ini farewell party?

"Terima kasih banyak ya Pak, menyempatkan diri bertemu saya," kataku.

"Kita yang terima kasih Mba, Terima kasih mau meluangkan waktu untuk anak-anak kami," kata Bapak Hana.

"Sama-sama Pak, tapi maaf saya ga bisa ngajar lagi," kataku dengan pelan. Rasanya kenapa sulit melepaskan kelima bocah itu. Sesuatu menggantung dipelupuk mataku. Wajahku memanas. Aku mengedarkan pandangan agar cairan bening itu tidak terjatuh dan disana aku melihat kelima bocah itu menangis memeluk tas yang kuberikan pada mereka.

Aku permisi kepada para Bapak dan menghampiri bocah-bocah itu.

"Hei, ada apa?" Tanyaku.

"Kak ... kalau kita kangen gimana?" Tanya Desi.

DEG!!

Separuh diriku membeku. Pertanyaan simple yang biasa kujawab dengan gombalan atau lawakan kenapa jadi sulit sekali kujawab.

"Aku bakalan kangen Kakak," kata Rohman memelukku.

"Aku sayang Kakak," kata Abdul sambil memelukku juga.

"Aku juga," kata Desi dan memelukku diikuti Cica dan Hana. Mamas datang dan ikut memelukku. Airmatanya tumpah menyaksikan sajian yang ada dihadapannya. Begitupun dengan Ibu-ibu yang hadir di sini. Mereka menarik daster mereka ke dekat hidung dan membuang ingus.

Pertahananku bagai di jatuhi ratusan nuklir. Hancur lebur tak bersisa. Airmata haru terjatuh tak tau diri. Terus jatuh bagai air hujan yang membasahi tanah hati yang tandus.

Jeremy memandang interaksi kami dalam diam. Ia mengagumi gadis itu sejak lama. Sejak pertama kali ia melihat gadis itu, sayangnya gadis itu tidak menyimpan kenangan dirinya sama sekali. Jeremy tersenyum sinis. Bagaimana bisa ia hanya mencintai gadis itu sedangkan ia baru mengetahui nama gadis itu beberapa bulan terakhir.

.
.
.

Hallo
Update lagi
Ga banyak sih tapi delapan ratus kata juga
Tapi mudahan cukup terhibur
Nulisnya sambil meeting
Jadi kalau ada yang typo harap maklum ya
Jangan lupa vote dan koment

Salam sayang dari aku yang masih meeting
Manda

DIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang