Dua

3.5K 354 26
                                    

Aku masih menikmati sajian film kartun dari negeri jiran Malaysia sambil menikmati snack jatah Maera yang tidak  dimakannya. Gadis satu itu benar-benar membatasi jumlah kalori yang masuk ketubuhnya. Kalau aku sih ngerasa rugi banget. Apalagi ngeliat ayam goreng si Mail yang bikin Ipin dan Upin ketagihan. Dih rugi banget rasanya. Lalu sebuah ide terlintas dibenakku, apa aku jualan ayam goreng aja ya kayak si Mail?

Aku tersenyum senang. Ideku brillian. Tapi kemudian menyadari bahwa aku tidak pernah memasak. Mentok cuma bikin mie instant. Aku berfikir keras. Biasanya aku akan makan apa yang dimasak Bunda atau beli dengan layanan online.

Aku cari cara, browsing data dan tutorial memasak. Dua jam kuhabiskan dengan menonton demo memasak lalu mulai praktek. Awalnya aku bingung antara membuat omlete, tamagoyaki, atau telur dadar. Lama aku berfikir. Merenung serta semedi mencari wangsit, akhirnya kuputuskan aku akan memasak apa hari ini.

Kitchen set Bunda yang terlihat selalu bersih -oke lemari gantung, lemari piring serta etalase- mulai kugunakan. Mula-mula kucari dulu perlengkapan memasak. Panci, wajan dan kawan-kawannya mulai ku keluarkan dari dalam lemari. Kemudian pisau dan perkakas lainnya keluar. Aku berbalik dan menjatuhkan dua buah panci Bunda yang menimbulkan suara berisik nan syahdu. Aku membuka kulkas, mengeluarkan beberapa butir telur, bawang putih, bawang bombai, bawang merah, bawang tiwai, serta daun bawang. Aku browsing lagi, bawang mana yang kuperlukan untuk membuat tamagoyaki.

Aku menghela nafas panjang. Kebingungan melandaku. Mana bawang merah dan mana bawang tiwai. Lima belas menit kemudian kutemukan perbedaannya. Lalu kusimpan kedua jenis bawang tersebut. Resep yang aku lihat hanya menggunakan bawang putih dan daun bawang.

Perlahan aku mulai mengupas dan mengiris bawang putih. Lalu kucincang halus. Setelah itu aku mengiris daun bawang tipis-tipis. Setelah itu aku mengeluarkan wortel dan memotongnya.

Telur yang sudah ku pecah ku taruh di mangkuk, ku campur jadi satu kemudian ku kocok dengan kasar dan hasilnya tumpah. Lantai penuh dengan telur kocok. Aku mendengus kesal. Rasanya sebal. Aku mengambil lap dan mulai membersihkan tumpahan telur.

Kuambil telur baru dan mulai kuulangi kegiatan memecahkan telur lalu mengocoknya dan menambahkan irisan daun bawang, bawang putih serta wortel. Tak lupa kuberi garam. Aku nyalakan kompor gas lalu menaruh teplon kotak Bunda di atas kompor. Teplon yang belum terlalu panas segera kuberi adonan telur. Kelihatan bahwa telur mulai mengering, kugulung pelan, kesisi depan lalu menambahkan adonan telur lagi. Ketika mulai mengering, kugulung kearah belakang. Begitu seterusnya sampai adonan habis.

Jangan harap seperti di sinetron-sinetron, percobaan pertama langsung berhasil. Kelihatannya mudah, tapi nyatanya tidak. Tamagoyaki-ku gosong. Overcook kalo kata Babang Juna karena apinya kegedean segede tubuhku. Aku menatap hasil karyaku yang hancur parah. Rasanya jangan ditanya. Keasinan. Empus yang doyan segala macam makanan aja nolak. Sakit hatiku, apalagi menyaksikan dapur Bunda yang berantakan.

"Miraa... dapur Bunda diapain?" Tanya Bunda yang sudah pulang kerja.

"Ya Allah Bun, Mira kaget," aku menepuk-nepuk jantungku. Bunda kebiasaan deh!

"Mira, Bunda kasih kamu waktu lima menit buat beresin itu semua, atau uang jajan kamu Bunda potong!" teriak Bunda frustasi. Lalu pergi menuju kamarnya dengan kesal.

Aku segera gerak cepat. Kocar kacir membereskan kekacauan yang ada. Padahal kata iklan, berani kotor itu baik. Tapi kata Bunda, kalau keseringan ngotor-ngotorin rumah bikin tagihan bengkak. Bayar listrik dan airnya jadi banyak. Sering mati lampu pula. Bikin emosi melanda.

Sepuluh menit berlalu, Bunda sudah kembali dengan daster kebanggaannya. Duduk di ruang makan sambil bersiap menghakimiku.

"Kamu ngapain dapur Bunda?"

"Belajar bikin ini Bun," aku menyerahkan hasil karyaku.

"Telur dadar?"

"Tamagoyaki Bun."

"Ini telur dadar."

"Bukan Bun, Tamagoyaki!"

"Telur dadar,"

"Tamagoyaki."

"Coba kamu browsing, ini tuh telur dadar nak!"

"Tapi Mira buatnya Tamagoyaki Bun, bukan telur dadar!"

"Wes sak karepmu waelah."

Nah, kalau bahasa jawa Bunda keluar artinya Bunda sudah benar-benar kesal nih. Bunda mencicipi masakanku. Hasilnya Bunda muntah-muntah. Aku tidak berani menatap Bunda. Kepalaku menunduk. Aku merasa sangat bersalah. Airmataku berhasil jatuh. Merasa malu dengan keadaanku yang rasanya lebih mirip benalu. Tak ada yang bisa kubanggakan. Bahkan memasakpun tidak bisa.

"Gapapa sayang, Bunda gapapa, kamu jangan sedih ya," kata Bunda dengan lembut setelah kembali dari westafle.

Aku berusaha menahan laju airmataku. Miranda memang cengeng. Harusnya kamu mencoba lagi bukannya menangis. Itu sebabnya aku benci diriku sendiri, tak ada yang bisa kubanggakan. Teriak hatiku pada diriku sendiri.

"Maafin Mira Bun."

"Iya Bunda maafin, tapi Mira jangan patah semangat ya sayang?"

Aku mengangguk pelan. Menghapus airmata yang masih membekas.

.
.
.

Hallo..
Ada yang kangen sama aku?
Ini cerita aku yang ke-5 yang aku publish
Jangan lupa vote dan koment ya
Terima kasih

Manda

DIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang