Tiga

2.9K 300 96
                                    

Kelima muridku duduk dengan tatapan tak percaya. Pagi ini mereka melihat puding yang ada di hadapan mereka dengan tatapan curiga. Mereka bagai makan buah simalakama, mundur kena maju kena. Eh itu mah warkop dki ya?

Puding coklat yang aku buat semalam terlihat menggoda. Tapi mereka tak ada yang berani menyentuhnya. Abdul mencolek keempat sahabatnya. Mereka membentuk formasi dua satu dua. Bukan Wiro Sableng atau Sinto Gendeng. Mereka harus berembuk. Keputusan memakan puding ini harus dibicarakan dengan rapat pleno.

"Sssttt kenapa kak Mira bikin puding?" Rohman buka suara.

"Bukan mau ngeracunin kita pake sianida?" Tanya Abdul. Si tukang koran yang akhirnya semakin lancar membaca ini ikutan berbicara. Tadi pagi ia sempat melihat judul berita tentang kopi sianida.

"Sianida apa sih?" Cica balik nanya.

"Itu bisa bikin kita mati kalo dicampur kopi," Abdul menerangkan dengan bangga. Sepenggal berita utama yang ia baca tadi pagi. Mereka bergidik. Membayangkan tubuh mereka menjadi kaku.

"Kata bapakku, banyak anak yang diambil organ dalamnya," kata Desi.

"Organ itu piano kan?" Tanya Hana yang hobi nyanyi.

"Kamu bodoh, bukanlah," kata Abdul.

"Jadi apa?" Tanya Hana.

Abdul menggeleng. Iapun tak tau apa itu organ. Namun mereka tetap saja takut, jika organ mereka diambil. Lalu mereka melirikku yang menatap mereka heran. Rundingan seperti ini bukan pertama kali terjadi. Tapi ini yang terlama.

Abdul meneguk liurnya kasar. Setelah perundingan yang panjang dan lama, akhirnya Ia kalah suit. Ia harus memakan puding buatan Kak Miranda. Dengan perasaan tak bisa diungkapkan kata-kata Abdul mulai menyendok puding itu. Lalu diangkat sendok itu perlahan dan mulai diarahkan ke mulutnya yang terbuka sedikit. Semua mata tertuju padanya. Keringat dingin menetes dari kepala turun membasahi tubuhnya yang kurus dan legam. Abdul nampak ketakutan setengah mati.

Aku menanti reaksi Abdul yang masih mangap dengan pose nyuap. Aku menatapnya lekat. Seakan slow motion. Gerakan Abdul semakin pelan. Aku menahan nafas ketika suapan pertama telah berhasil masuk kedalam mulutnya. Abdul memejamkan mata. Dengan ekspresi yang nyata. Apakah susah untuk menelan karena rasanya tidak enak? Keringat dinginku menetes. Sudah mirip kontes. Aku berdebar menanti komentar yang bisa saja membuat hatiku teriris iris.

Abdul pingsan setelah suapan pertama itu. Aku dan keempat temannya segera menghampiri dan menepuk-nepuk pipi Abdul.

"Abdul Abdul bangun Dul.. Abdul," kataku sambil mengguncang tubuh kecil Abdul.

"Huwaaaahhhh Abdul kena sianida," Rohman panik.

"Itu cuma puding biasa," sanggahku cepat.

"Kakak ga ada niatan mau jual Organ tunggal kan?" selidik Hana.

"Suara kakak jelek, ngapain jual organ tunggal?" Kataku sambil terus menepuk-nepuk pipi Abdul.

"Duul ... bangun Duul ... Abdul... bangun," aku masih berusaha membangunkan Abdul.

"Kak ... kasih nafas buatan aja," usul Desi. HAH?

"Iya Kak ... nafas buatan," Cica mengingat adegan itu disinetron yang ditonton Ibunya. Rohman berlari. Mungkin mencari pertolongan dari orang lain.

"Nafas buatan gimana?" Tanyaku bingung. Ini anak-anak kenapa fikirannya sudah ternoda. Terbayang tontonan seperti apa yang mereka nikmati.

"Nafas buatan Kak Mira ... ayook cepat keburu mati si Abdul," teriak Desi.

Anehnya aku menurut. Aku siap dengan pose menunduk. Hatiku berdebar. Jika aku memberikan Abdul nafas buatan, sudah dipastikan bibirku yang diusia dua puluh empat tahun ini akan lepas status perawan. Biarpun Abdul masih kecil, tapi dia kan cowok. Aku menggeleng. Ini kenapa fikiranku jadi kayak pedofil gini?

Aku menghela nafas panjang, ambil posisi untuk membantu nafas buatan. Aku memejamkan mata, lalu tangan kecil menghentikan kegiatanku. Tangan Desi. Aku menoleh padanya.

"Kakak mau ngapain?" Tanya Desi jutek.

"Mau kasih nafas buatan," jawabku bingung.

"Itu Rohman sudah bawa alatnya."

Aku menoleh pada Rohman yang sudah memasukkan ujung selang ke dalam mulut Abdul. Aku kaget. Dalam satu kali hentakan, Abdul terbatuk dan bangun.

Aku melongo. Ini serius? Nafas buatannya pake itu? Keempat anak itu mulai memeluk Abdul. Aku syok. Bagaimana bisa memberi nafas buatan pake pompa sepeda?

Ku lirik Abdul yang kini tertawa riang bersama keempat sahabatnya. Tanganku masih berada di dahi. Keringat dingin bercucuran bersama dengan nafasku yang memburu cepat. Sebenarnya yang gila siapa?

"Dul, kamu kenapa pingsan sih?"tanya Cica.

"Kamu kena sianida?" Hana memerhatikan Abdul dengan penasaran.

"Iya nih ... kita kira kamu bakalan mati dan organ tunggal kamu bakalan dijual," Desi mulai nangis. DRAMA BEGUN. Cica dan Hana ikutan nangis. Beberapa orang yang saat ini sedang lewat memandang kegiatan kami dengan tatapan menyelidik. Pasti dikira aku adalah sindikat penjualan anak.

"Sudah sudah jangan nangis, yang penting kan Abdul sudah sadar," kataku menghentikan adegan melonkolis ketiga gadis cilik dihadapanku.

Desi menyeka airmatanya. Begitupun dengan Cica dan Hana. Rohman hanya memandang mereka dengan iba. Sedangkan Abdul yang menjadi terdakwa cuma memejamkan mata sambil tersenyum.

"Kamu gapapa Dul?"tanyaku yang makin khawatir karena setelah sadar dari pingsan Abdul jadi senyam senyum sendiri. Mungkin Abdul jadi emmmm sedikit gila.

"Aku gapapa kak,"katanya sambil tersenyum.

"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" Tanya Rohman.

"Soalnya ini puding terenak di dunia yang pernah aku makan," kata Abdul dengan mata binar. Ia melanjutkan memakan pudingnya dengan bahagia.

Keempat bocah itu menatap jengkel pada Abdul. Pasalnya setelah melihat Abdul pingsan mereka membuang puding itu diam-diam.

Aku bengong melihat reaksi Abdul. Pertama kali masakanku dipuji. Aku bagai selebriti yang menang uji nyali. Hatiku berbunga. Aku bertekad, besok akan membuat puding lagi. Mungkin passion aku di dessert. Aku menatap kelima murid kecilku yang berebut puding Abdul. Aku berjanji, sore nanti akan membeli bahan membuat puding lagi. Aku menimang, akan membeli dua atau tiga bahan. Ah tidak aku butuh lima puding instant lagi.
.
.
.

Publish ketiga hari ini
Belum diedit
Terima kasih buat yang sudah baca
Jangan lupa vote dan koment
Semoga terhibur

Dari aku yang idenya lagi ngalir
Manda

DIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang