Empat

2.9K 282 51
                                    

Aku masih menikmati hari-hariku sebagai pengajar sukarelawan dengan kelima murid ajaibku. Mereka yang membuat hari-hariku berwarna. Seperti saat ini, kami sedang duduk bersama. Mewarnai gambar kapal terbang. Desi dan Abdul bersitegang. Abdul ngotot jika itu kapal terbang sedangkan Desi bersikukuh bahwa itu pesawat terbang.

Aku bangkit. Sambil peningku kupijit. Suara keduanya melejit. Telingaku berdecit. Kedua bocah dihadapanku ini beradu kata sengit.

"sengit kamu," teriak Abdul.

"Kamu yang sengit," Desi tak mau kalah.

"Kamu sengit,"

"Kamu!"

"Kamu!"

"Kamu yang sengit!"

"Enak aja, kamu yang sengit!"

"Kamu!"

"Kamu!"

"Aku ga sengit!"

"Aku juga ga sengit!"

"Kamu sengit, aku enggak!"

"Kamu yang sengit!"

"Kam ..."

"Sudah sudah ... kalian ga ada yang sengit," leraiku. Keduanya melihatku lalu tersenyum. Mereka beraktivitas kembali seperti sedia kala. Kuperhatikan lama aktivitas kelimanya. Desi dan Abdul yang baru saja berjibaku dengan perkelahian sengit saat ini sedang asik mewarnai. Sesekali Abdul memberikan pendapat warna mana yang cocok dengan kepribadian Desi. Karena Abdul si loper koran, yang menggantikan Ayahnya berjualan itu suka sekali memberikan informasi yang didapatnya melalui koran.

Senyum mengurva di wajahku. Begitulah anak-anak, tidak ada dendam di hati mereka. Setelah beradu jotos, mereka melupakan masalah dan kembali berbahagia.

Aku memilin milin ujung kemejaku. Seorang cowok datang menghampiri. Badannya tegap. Tinggi dan besar. Perawakannya seperti tentara. Kulitnya tidak putih. Tapi senyumnya menawan.

"Permisi mbak, kalau kerumah Pak Rosyid kemana ya?"

"Pak Rosyid yang jualan kambing?"

"Iya bener mba,"

"Oh itu Mas, lurus aja, entar ada simpang empat belok kekanan, rumah Pak Rosyid yang paling ujung, pokoknya yang kambingnya banyak," kataku sambil menunduk. Aku malu. Aku tidak pernah berinteraksi dengan orang lain.

"Mba, Mbanya gapapa?" Tanya cowok itu. Aku mengangguk pelan.

"Oh iya, Mba punya kertas?"

Aku merogoh tasku. Mengeluarkan bukuku dan merobeknya. Menyerahkan ke cowok itu.

"Kalau pulpen?"

Aku kembali merogoh tasku. Mencari kotak pensil dan mengeluarkan sebuah pulpen. Aku menyerahkannya ke cowok itu. Dia menyambutnya dengan tersenyum.

"Kalau pacar? Mbanya Ada?"

Aku sekali lagi merogoh tasku kemudian tersadar. Pertanyaan macam apa ini?

Aku menatapnya yang menatapku dengan senyuman jahil. Lalu berpaling menatap kelima murid kecilku yang menatapku bingung. Krik krik krik krik. Awkward moments.

"Ini Mba, nama saya Jeremi Thomas," Ia mengulurkan tangannya. Lama aku terpaku memandang tangannya yang masih terulur. Tubuhku kaku. Takut ada getaran listrik yang menyambarku jika bersentuhan dengannya. Aku harus waspada. Jaman sekarang banyak orang tukang gendam.

"Waah, saya dicuekin nih mba," katanya kemudian.

Rohman memanggil Jeremi dengan "pssstttt" yang panjang dan lama.

Jeremi menunduk dan mendekatkan telinganya pada Rohman. Aku melihat adegan itu dengan seksama. Mereka nampak sedang bernegosiasi. Apakah Rohman akan menjualku pada lelaki ini? Astagaah, pikiranku kenapa jadi konslet begini?

Aku menggeleng pelan. Tidak mungkin Rohman sejahat itu padaku. Lalu kulihat Jeremi dan Thomas sudah ber "hi five" ria. Aku memicingkan mata seakan tak percaya.

Rohman pamit undur diri. Ini sudah waktunya kami berpisah. Aku membereskan barang-barangku. Cica dan Desi masih duduk bersamaku.

Aku mendengarkan mereka yang bercerita tentang sinetron kesayangan mereka. Si anak bumi. Aku manggut manggut tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Aku telah selesai dengan beres-beresku ketika Ibu Cica menghampiri. Ia membawakanku semangkuk bubur kacang hijau yang lezat. Aku memakannya dengan hati berbinar.

"Mba Miranda terima kasih ya udah bantuin Cica belajar," katanya sambil menepuk paha besarku. Aku mengangguk lalu kembali menjelajahi rasa bubur kacang hijau buatannya.

"Sekarang Cica malah ngajarin saya baca Mba," lanjutnya

"Cica memang pandai Bu."

"Iya Mba, saya juga kaget waktu tau dia bisa baca koran yang buat bungkus lombok."

"Oh ya? Hebat banget ya Cica," aku mengacak rambut Cica dengan bangga. Anak didik aku hebat. Besok aku akan membuatkan mereka puding lagi. Aku tersenyum memandang Cica yang juga tersenyum memandangku.

Desi berdiri dan pamit pulang. Cica dan Ibunya bersiap pulang juga. Bubur kacang hijau yang lezat buatan Ibu Cica sudah resmi landing di perutku yang luas. Aku bersiap pulang juga.

"Mba ...," suara itu menghentikan aktivitasku. Aku menoleh dan Jeremi tersenyum.

Aku tertunduk.

"Loh Mas, siapanya Mba Miranda?" tanya Ibu Cica.

"Saya temannya dia," kata Jeremi sopan. Dengan senyum iblis akhirnya kini ia tau gadis bertubuh tambun dihadapannya bernama Miranda.

"Bukan Bu, bukan teman saya," kataku cepat. Jeremi menatapku tak percaya. Tidak pernah ada gadis yang menolaknya. Apalagi gadis dihadapannya ini sangat jauh dari tipikal gadis-gadis yang selama ini dikencaninya. Ia bertekad akan membuat gadis didepannya itu bertekuk lutut. Jangan remehkan Jeremi Thomas Alfa Edison kalau urusan membuat gadis patah hati. Ia selalu masuk jajaran top fiften.

"Loh, bukan?" Ibu Cica terlihat bingung.

"Om itu tadi nanya alamat Bu," jawab Cica membantuku. Aku mengedipkan sebelah mataku kearah Cica yang disalah artikan oleh Jeremi. Ibu Cica bingung.

"Tadi kita udah kenalan di sini, dan janjian mau makan bareng, iya kan Miranda? Saya traktir," Jeremi mengangkat sebelah alisnya tinggi. Aku menimang ajakannya. Lalu tersenyum dan berjalan mendahului Jeremi, Ibu Cica dan Cica.

Aku melangkahkan kaki dengan riang. Yah, baru pertama kali ada cowok yang setelah melihatku kembali menemuiku. Sebuah perasaan bahagia terselip di sana. Aku memanjatkan doa, semoga aku tidak pernah melihatnya kembali lagi.

.
.
.

Holla..
Yang malam minggunya jomblo angkat tangan???
Yang malam minggunya dirumah saja angkat tangan???
Publish terakhir hari ini
Mudahan bisa nemanin malam minggu kalian yang sendu
Jangan lupa koment and Vote yaa

Terima kasih
Manda

DIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang