"Hari ini aku, eh gue pulang jam empat," kataku sembari terus melangkah di koridor sekolah.
"Mau nebeng nggak ?" Daren menatapku dengan langkah yang terus terayun.
Hening. Sesaat derap langkah kaki yang hanya terdengar. Alisku bertautan, mengingat ada acara apa hingga nanti sore Daren harus datang ke sekolah lagi.
"Ada acara apa ?" tanyaku kemudian.
"Nggak ada," jawabnya singkat semobari menaikkan bahu.
"Terus kenapa mau nebengin ?" bingungku saat itu.
"Soalnya kalo lo pulang sendiri, biasanya mampir di kedai es cream belakang sekolah. Karena kemarin lo abis sakit jadi hari ini nggak ada minum es," jelasnya.
Kuhentikan langkahku.
Kutatap sorot matanya yang seolah ingin menanyakan sesuatu.
"Sekarang peduli. Kemarin aja ditinggal ngerjain ppkn sama Mei"
Senyumnya terlukis.
"Terus harus gimana ? Perhatian terus sama kamu," nadanya sedikit halus. Membuatku seketika begidik.
"No. Tapi kan ya.. Tapikan.. Nggak enak aja. Ah tau ah Daren," lantas aku berlari menuju kelas yang tak jauh dari posisiku awal.
"Jam empat, di gerbang belakang dan nggak ada penolakan," teriaknya dari arah belakang.
Aku hanya tersenyum sekilas dan kembali melanjutkan langkahku.
Hari ini aku ada kelas tambahan. Semacam les dari sekolah. Sebenarnya aku tidak terlalu minat, hanya saja aku menjalaninya untuk Driel. Saudara paling jahat yang selalu memintaku menggantikan lesnya. Dia tidak mau bayar les sia-sia sedangkan dia harus mengurus ekstra basketnya setiap pulang sekolah. Ya lumayan.
"kamu pacarnya Daren ?" tanya seseorang dari arah belakang. Kuhentikan langkahku walaupun kelas tinggal belok ke kanan.
"Temen," sigkatku. "Ah Mei," lanjut ku dalam hati.
"Teman tapi harus dia selalu perhatian ?"
"Masalahnya sama kamu ada ?," giliran aku yang bertanya padanya lantas melangkah pergi menuju kelas.
---
Kelas tampak sepi, mungkin karena hari ini ada pertandingan basket di sekolah sebelah. Aku tau itu menarik, apalagi dibuka untuk umum. Tapi, entah kenapa aku lebih memilih untuk tinggal di kelas tambahan matematika sore ini.
"Aduhh, ramai sekali sih disamping," Keluh Pak Arman yang sudah beberapa kali kudengar.
Kulirik sebagian dari teman temanku di belakang. "Ada Mei,"kataku saat menemukannya di pojok kiri.
"Kinan ?" tanya seseorang di depan. Aku menoleh dan menakutkan alis. Tunggu, "Permisi Pak, maaf saya telat," kata seseorang yang tiba-tiba masuk. "
"Oh, iya Rafi. Silahkan masuk," ucap beliau lalu memalingkan pandangannya dariku.
"Maaf pak, tadi saya ada acara mengurus turnamen," ujarnya kemudian terlihat bingung mencari tempat.
"Oh, iya tidak apa-apa. Mungkin kamu bisa duduk di sebelah Kinan. Sekalian kasih tau dia supaya fokus," lanjut beliau seolah memahami Rafi.
"Eh, kok saya, Pak" pekikku kemudian.
"Kamu dari tadi tidak fokus Kinan," sahit beliau.
"Bapak juga nggak fokus. Dari tadi ngeluh suara di samping sekolah," lirikku.
"Stt... Udah. Lanjutin aja, Pak" lerai Rafi justru membuatku membuang muka.
Entah kenapa sore ini aku tidak bersemangat. Rasa kantuk seolah menghampiriku dengan mudahnya. Ditambah Rafi yang tiba-tiba datang dan bersikap manis. "Ah, tidak menyenangkan," gerutuku sembari menekuk siku sebagai bantal tidurku di atas meja.