Part 3 : Justice

853 116 12
                                    

Jangan bermain dengan kata-kata nasib atau pun takdir. Karena pada akhirnya, kaulah yang akan menentukannya sendiri.

Mereka bertiga terus berlari menghindari asap yang semakin menebal, menjalar ke arah di mana mereka tengah berada.

Victory dengan tersengal-sengal mencoba mengimbangi langkah kaki Gin dan Josep.

"Aduh!" Victory terjatuh. Ia tidak kuat lagi untuk berdiri.

Gin menoleh ke belakang sambil memegang lututnya yang juga mulai lelah.

"Josep, naikkan V ke punggungmu," perintah Gin seraya mengatur jalan nafasnya yang terdengar terputus-putus.

Josep lalu menuruti perkataan Gin. Menaikkan tubuh Victory yang lemas, membiarkan anak itu bersandar tak berdaya di punggungnya.

"Haus...," ujar Victory samar-samar.

"Jangan khawatir. Aku mendengar suara aliran air di sebelah sana. Kita akan beristirahat di sana," sahut Gin.
Ia bangkit lagi perlahan setelah nafasnya mulai agak teratur. Menjadi penuntun jalan untuk mereka.

Tak berapa lama mereka menemukan sumber air yang Gin maksud.

Josep menurunkan Victory perlahan. Mengambil air seperlunya untuk mereka minum. Air yang masih bersih dan jernih di antara pegunungan.

"Lihat! Di sana ada perkampungan!" tunjuk Gin ke arah sebelah Timur laut.

Victory tidak bisa merespon selain hanya tersenyum tipis sambil mencoba membasahi kerongkongannya dengan air yang diberikan Josep.

"Apa kita akan ke sana, Tuan?" tanya Josep ragu.

"Tentu saja!" jawab Gin mantap.

Josep tak berani membantah. Kali ini ia harus yakin dengan perkataan anak 14 tahun itu, jika tidak ingin mengalami hal yang serupa seperti saat ini.

Kruk... kruk...

Perut Victory berbunyi. Ia langsung memegangi perutnya sambil menahan wajahnya yang memerah karena malu. Memang ini bukanlah rencana mereka. Pergi tanpa bekal dan tak sempat menikmati hidangan. Gin hanya tertawa kecil diikuti Josep.

"Sesampainya di sana kita akan mencari makan. Tahanlah sebentar," ujar Josep.

"Apakah Anda masih sanggup berjalan, Tuan?" tanya Josep kepada Gin. Gin mengangguk.

Lalu mereka melanjutkan perjalanan itu hingga tiba di tempat yang tampak ramai.

Hari mulai senja. Entah berapa lama mereka berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah desa yang masih saja ramai saat-saat begini. Mereka sampai di sebuah pasar malam yang mulai buka.

Apa mereka tidak tahu gunung sedang meletus? Kenapa mereka tetap saja beraktivitas seperti biasa? batin Victory.

Victory menatap ke arah penjual roti dan buah. Air liurnya hampir menetes. Ia benar-benar lapar sekarang.

"Tunggulah sebentar. Saya akan membelikan makanan," kata Josep lalu berjalan ke arah penjual roti. Victory dan Gin menunggu di sebuah taman kecil. Victory memegangi perutnya yang lapar. Sedangkan Gin mengelus-elus kakinya yang sakit.

Sekilas mata Gin melihat sekelebat bayangan di sebelah kirinya. Saat ia menoleh, tak ada apa-apa di sana.

"Ada apa?" tanya Victory saat menyadari sikap Gin.

SHELTER [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang