Part 8 : Mono

499 83 3
                                    

Ada kalanya aku ingin sendirian. Ada kalanya aku tidak ingin sendirian. Jadi, kumohon... jangan tinggalkan aku sendiri...

Victory masih menyalahkan dirinya. Ia memandang kedua telapak tangannya dengan agak kesal.

"Aku harap tidak akan terjadi apa-apa dengan gambar itu. Aku tidak ingin kehilangan lagi," lirihnya.

Jo memandangi Victory dari balik tembok. Ia ingin mendekat, tapi kakinya terasa kaku. Ia ingin mengatakan satu hal, tapi rasa takut yang menjalar di sekujur tubuhnya membuat ia enggan melakukannya.

Victory membetulkan posisinya. Menghembuskan nafas dengan kasar dan berniat kembali ke kelas. Saat itulah Jo berdiri di depannya. Diam tak bicara apa-apa.

Victory hanya tersenyum. Menandakan ia siap menerima segala resiko yang ia lakukan. Ia berjalan melewati Jo, lalu berhenti sejenak.

"Jo, apakah kau pernah merasa kesepian?" tanya Victory tiba-tiba.

"Pernah," jawab Jo tanpa keraguan.

Victory kembali tersenyum. Berbalik menghadap ke arah Jo dan mengulurkan tangan.

"Jo, berjanjilah. Jika suatu hari aku melakukan kesalahan dan tiba-tiba menyakitimu, maukah kau menyadarkanku?" tanya Victory.

Jo yang hampir tidak mengerti, sejenak berpikir. "Jika suatu saat hal yang buruk terjadi, apa yang harus aku lakukan?"

Victory langsung menarik lengan Jo dan menjabat telapak tangan bocah itu tanpa komando.

"Berjanjilah, sadarkan aku, ya!" ujar Victory sambil tersenyum.

"Eh?"

Aliran darah Jo seakan berhenti mengalir. Seakan berhenti memompa jantungnya, seakan dunia menjadi sunyi. Ia tidak bisa membalas perkataan Victory. Yang ia bisa lakukan hanya mengangguk pelan mengiyakan.

"Ba-baiklah..."

"Oke, mari kita kembali ke kelas!" ajak Victory dengan wajah ceria. Seakan-akan energinya kembali terisi dengan sendirinya. Sikapnya yang tiba-tiba murung berubah 180 derajat.

Langit seakan bergemuruh. Seakan-akan ingin runtuh. Mengombang-ambingkan pepohonan yang dengan sekuat tenaga tetap mempertahankan akarnya, namun dahannya yang rapuh tak kuasa menahan angin yang menerjang.

Jo merasakan kegundahan di dalam hatinya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh anak seusianya saat ini? Apa yang sebaiknya ia lakukan di saat seperti ini? Pikirannya kalut. Terasa urat-urat yang menyambung di sekujur tubuhnya mulai kusut. Ia menjadi rapuh sebagai anak berumur 10 tahun untuk sekadar berpikir tidak rasional. Tapi nampaknya ia tetap harus melakukannya. Atas nasehat Paman Eric, ia harus tetap melakukannya. Jika tidak, hal yang tidak diinginkan akan terjadi.

Janjinya kepada Victory akan selalu tertanam dalam hati dan pikirannya. Malam itu, bocah itu menangis di kamarnya yang sunyi tanpa suara. Ia benar-benar harus melakukannya.

"Jo, apa kau di dalam?" Terdengar suara Victory memanggil. Sedari tadi dia mengetuk pintu itu berulang-ulang. Tapi Jo tidak membiarkan dirinya beranjak untuk membukakan pintu.

"Aku mengkhawatirkanmu," ujarnya pelan. Jo tetap mendengarkan.

"Sudah seminggu kau mengurung diri, apa kau tidak ingin bermain bersamaku dan Jimmy lagi?"

Jo menyapu air di sudut ekor matanya. Ia menghela nafas panjang. Mencoba membetulkan posisinya. Ia melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu. Ia tahu Victory masih di sana.

"Paman Eric bilang kau sakit. Tapi aku tidak mengerti kenapa kami tak boleh melihatmu?"

Jo hampir tidak percaya. Begitukah yang Paman Eric katakan?

Jo tetap diam membisu di balik pintu. Victory yang habis akal pun akhirnya memilih melangkah pergi. Namun bibirnya mengatakan, "Aku merindukanmu. Cepatlah sembuh." Lalu berlalu pergi meninggalkan tempat itu.

Jo tidak mendengar suara siapa pun lagi di balik pintu itu. Pintu itu ia buka perlahan. Ia menilik ke arah sekitar, tak ada siapa-siapa di sana.

"Apa aku harus benar-benar mengikuti kata-kata Paman Eric mulai sekarang?" tanya Jo pada dirinya sendiri.

Malam seminggu sebelumnya, Jo mendatangi kantor Paman Eric. Paman Eric tahu betul apa yang membuat Jo mendatanginya. Paman Eric lagi-lagi tersenyum. Ia tidak ingin anak asuhnya itu terlalu khawatir dengan apa yang terjadi pada Victory apalagi gambar yang dibuat olehnya.

"Paman, aku takut..." Jo menangis sejadi-jadinya. Ia menceritakan semuanya kepada Paman Eric apa yang akan terjadi. Jo telah melihat sesuatu yang membuat ia takut.

Paman Eric mengerti. Dan di saat itulah tak ada pilihan lain selain membuat sebuah keputusan. Yang mungkin akan berdampak menyakitkan pada Jo.

Jo mengangguk tanda mengerti, walau ia hanyalah seorang anak yang masih di bawah umur. Tidak ada pilihan lain selain melakukan hal tersebut mulai dari sekarang. Jika tidak, ketakutan Jo akan benar-benar terjadi.

"Dengar Jo, yang bisa kita lakukan adalah mengulur waktu. Hanya kaulah yang bisa melakukannya. Keputusan ada di tanganmu." Paman Eric menenangkan Jo yang mulai berhenti menangis.

Jo akhirnya meyakinkan dirinya. Walau ia tidak tahu sampai kapan ia akan bertahan.

"Aku akan melakukannya. Ibu, tolong aku...."

Part 8 : END

SHELTER [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang