Apakah aku bisa kembali ke tempat di mana kebahagiaan itu berasal? Bisakah aku menghilang dari tempat ini dan kembali ke sana? Aku benar-benar ingin kembali.
❇
Mereka berjalan menyusuri setiap jalan setapak. Rasa lelah menghiasi derap langkah, nafas yang tersengal-sengal, juga peluh yang terus menetes walaupun diseka dengan telapak tangan.
"Masih jauh?" gumam Victory. Lututnya mulai melemah saat 1 jam lebih tak henti-henti melangkah.
"Hampir," jawab Jimmy. Ia bisa saja melakukan teleportasi, tapi ia tidak melakukannya. Siapa bilang teleportasi itu gampang. Setiap kali ia berteleportasi, ada suatu akibat yang tidak pernah orang lain pikirkan bahkan dirinya sendiri.
Dengan wajah kesal, Gin mempercepat langkahnya. Buru-buru ia menghadang Jimmy yang mulai berjalan agak gontai.
"Hei, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Gin.
Jimmy menghentikan langkah. Ia menatap tanpa arti wajah Gin, lalu tersenyum. Kemudian melanjutkan langkahnya lagi tanpa menjawab.
"Hei! Kau mengabaikanku!" Gin berteriak.
"Tuan!" Josep menghentikan Gin, menggelengkan kepalanya menyuruh anak itu untuk mengurungkan niatnya.
Jimmy tetap melangkahkan kakinya tanpa peduli. Ia tahu Gin kesal karena sejak tadi mereka terus berjalan tanpa berhenti. Dan tanpa tahu ke mana mereka menuju selain dirinya. Namun ia tetap tersenyum. Ia tidak mau menanggapi anak laki-laki itu. Dan ia tahu, kaki Victory mulai lelah.
"Sebentar lagi sampai", bisiknya dalam hati.
Ingin sekali Gin memukul Jimmy, tapi ia sudah tak bertenaga untuk melakukan hal yang kekanakan. Lagipula Josep tadi sudah melarangnya. Dan tenaganya sudah terkuras habis untuk berjalan mengikuti rute yang dipandu oleh anak itu.
Jimmy akhirnya menghentikan langkahnya selagi Gin masih berkomat kamit di belakang. Anak itu menunjuk ke arah matahari terbenam.
Victory mengatur jalan nafasnya. Berusaha mengimbangi langkah Jimmy dan yang lain.
"Ki-kita... ke kota?" tanya Gin berhenti. Nampak wajah Gin bersemu merah. Sudah lama ia tidak melihat pemandangan yang sekarang ada di hadapannya. Jimmy mengangguk.
"Nenek pernah mengajakku sekali kemari. Di ujung sana ada rumah Paman Eric," jelas Jimmy.
"Ayo!"
Tanpa pikir panjang, Jimmy melanjutkan langkahnya ke tempat yang dimaksud. Diikuti Gin, Victory dan Josep.
❇
Pintu itu diketuk. Seorang pria membukanya.
"Jimmy!" Paman Eric langsung mengenali Jimmy. Ia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Gin, Victory dan Josep. Lalu menatap Jimmy, "Mana Nenek?"
Jimmy hanya membalas dengan tersenyum. Sepertinya Paman Eric sudah tahu arti dari senyum itu. Lalu tanpa basa-basi mempersilakan mereka masuk.
Gin langsung merebahkan badannya di sofa. Begitu pula Victory dan Josep. Sudah lama Gin tidak merasakan nyamannya rumah seperti itu. Jika saja ia tidak terkurung di dalam hutan selama beberapa tahun bersama Josep.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan kalian minum." Paman Eric menyuruh mereka beristirahat selagi ia menyiapkan minuman di dapur.
Victory mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan itu cukup besar. Dia teringat suasana panti asuhan. Dia sempat tertawa kecil. Entah mengapa begitu miris. Ia tidak mampu mengingat suasana rumahnya saat orangtuanya masih ada.
"Apakah Mama masih hidup? Apakah ada yang merindukanku?"
Ia tidak tahu. Di saat ia teringat masa lalunya, matanya tiba-tiba terhenti pada sesuatu.
Matanya sendu, hidungnya agak mancung. Dengan kulit nampak putih nan pucat. Rambutnya tertutup hoodie. Wajahnya tersembunyi di balik tembok.
Siapa anak itu?
❇
Part 5 : END
KAMU SEDANG MEMBACA
SHELTER [√]
Mystery / ThrillerVictory mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan itu cukup besar. Dia teringat suasana panti asuhan. Dia sempat tertawa kecil. Entah mengapa begitu miris. Ia tidak mampu mengingat suasana rumahnya saat orangtuanya masih ada. "Apakah M...