Pernahkah kau berpikir, kalau suatu hari nanti, semua kenangan ini akan hilang? Apakah jika itu terjadi, kau mampu mengingatnya kembali?
❇
Kicauan burung dan bau basah rerumputan sehabis hujan kemarin menyeruak di antara hawa sejuk dan cahaya mentari yang menyelinap di balik pepohonan.
Tubuh yang seakan hampir kehilangan kendali itu perlahan menunjukkan kehidupan. Dengan segenap tenaga yang tersisa Victory bangun dari mimpi panjangnya. Kepalanya masih terasa berat. Namun tubuhnya mulai berangsur pulih.
"Akhirnya kau bangun!"
Bibir itu tersungging penuh rasa lega. Lalu ia berlari memanggil siapa saja yang samar-samar nama yang ia sebutkan terdengar oleh Victory.
"Syukurlah. Aku kira kami akan kehilanganmu," kata Paman Eric.
"...Jo? Bagaimana dengan Jo?! Dia... Matanya--- Arrghh..."
Victory masih merasa sakit di kepalanya akibat benturan keras yang dialaminya. Jimmy dan Gin saling melempar pandang.
"V... Sepertinya kita telah menjadi normal. Mataku... Lihat mataku! Aku sudah tidak memiliki kekuatan itu lagi!" Gin menunjukkan matanya gembira. Walau nampaknya agak berbeda dengan Jimmy.
"Aku... tidak bisa melakukan teleportasi lagi. Sekarang aku benar-benar normal, kawan," ujarnya.
"Sepertinya kau juga begitu," tambah Gin, mengira pasti Victory juga mengalami hal yang sama.
Victory menghela nafas panjang. Ia menundukan kepalanya merenung. Kemudian menatap Paman Eric. Seakan tahu apa yang pemuda itu pikirkan, ia tersenyum.
"Pada dasarnya kekuatanku adalah serpihan yang tertinggal dari orang tuaku. Aku rasa aku pengecualian," ujar Paman Eric.
"Begitu, ya..." Victory nampak pasrah.
Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih karena kini ia bisa merasakan layaknya sebagai manusia normal dan merasa tidak terbebani dengan kemampuan anehnya selama ini. Tapi entah kenapa, ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga.
"Bisa tinggalkan aku sebentar. Aku rasa aku masih merasa lelah."
Semua saling berpandangan. Merasa paham, mereka meninggalkan Victory di ruangan itu sendirian.
❇
"Aku mengerti perasaannya. Karena dialah yang terakhir bersama Jo," ujar Paman Eric. Gin dan Jimmy mengangguk.
"Tapi, apakah tak apa, Paman? Apa kau tak ingin memberi tahu Victory, kalau sebenarnya ini sudah dua bulan lebih sejak ia ditemukan tergeletak terkapar sendirian di pinggir jalan?" tanya Jimmy cemas.
Dua bulan sejak kepergian Jo, Victory tidak sadarkan diri. Jimmy pikir, pasti Victory sendiri berpikir bahwa ini baru terjadi semalam.
"Aku rasa tak perlu. Yang jelas, ia harus cepat melupakan kejadian itu. Jika tidak, ia tidak bisa benar-benar menghilangkan kekuatan itu dalam dirinya."
"Maksud, Paman?" tanya Gin penasaran.
"Nampaknya Victory berbeda. Kekuatan yang ia miliki tidak sembarangan. Kekuatan melihat takdir lewat mimpi dan tangannya, sebenarnya bukan itu saja yang ia miliki."
Jimmy dan Gin saling pandang tak mengerti.
"Sebenarnya mata anak itu masih memiliki kekuatan. Berbeda dengan kalian berdua. Sepertinya Jo tidak mengambil sepenuhnya kemampuan yang dimiliki Victory," jelas Paman Eric.
"Kenapa?" Jimmy yang benar-benar penasaran, begitu juga Gin, akhirnya mendengarkan penjelasan Paman Eric.
"Jo tidak ingin Victory mati. Jika ia mengambil semua kekuatan Victory saat ia sekarat, mungkin Victory tidak bisa hidup lagi. Karena itulah, Jo membiarkan kekuatan Victory tetap ada di sana. Walau sepertinya kekuatan itu tak sekuat sebelumnya. Apa kalian mengerti?"
"Lalu, kenapa kami berdua tidak apa-apa?" tanya Jimmy lagi.
"Aku rasa kalian hanya mendapat sedikit efek. Seperti yang kukatakan sebelumnya. Besar kemungkinan Jo menyelamatkan Victory. Walaupun kita tahu sekarang dia juga yang menyebabkan semua kekuatan kalian menghilang."
Penjelasan Paman Eric cukup membuat kedua pemuda itu berpikir keras. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa benar mereka telah menjadi normal sepenuhnya?
Namun, mereka tetap perlu berhati-hati kemungkinan lain yang akan terjadi, terutama pada Victory. Apa yang dikatakan Paman Eric tentang pemuda itu mungkin saja benar, mungkin juga salah.
❇
"Benar Tuan tak apa?" Josep membantu menyiapkan perlengkapan yang ingin Tuannya bawa.
"Tenang, aku bisa jaga diri walau tanpamu. Lagi pula ada V dan Jimmy bersamaku," jawab Gin yakin.
Mereka bertiga memutuskan akan meninggalkan rumah Paman Eric sementara waktu. Berniat untuk mencoba menjalani bagaimana kehidupan di luar sana tanpa kekuatan aneh yang mengiringi mereka. Mungkin juga akan mencari di mana keberadaan Jo.
"Kau sudah siap?" Jimmy mengintip dari balik pintu kamar Gin. Sejak kekuatan teleportasinya sirna dari tubuhnya, ia tak bisa lagi menjahili pemuda yang lebih tua darinya empat tahun itu.
Gin mengangguk dan berpamitan dengan Josep. Josep ia biarkan tinggal dengan Paman Eric. Mungkin itu lebih baik, pikirnya.
Victory duduk di bangku panjang yang sering ia tempati, termenung menatap lorong kosong yang sering ia lewati selama berada di sini. Di rumah yang pernah membuatnya merasa hidup walau dengan keanehan yang ia miliki. Kini ia harus pergi meninggalkan tempat ini untuk sementara waktu.
"Jangan paksakan diri jika kalian tak menemukannya. Mungkin dengan begini lebih baik untuknya."
"Tidak, Paman. Bagaimanapun juga, dia adalah teman kami, teman yang berharga. Mungkin ia mengalami kesulitan di luar sana. Kalau bertemu lagi, aku akan membawanya kembali," sahut Victory yakin.
Paman Eric akhirnya hanya bisa mengantarkan kepergian mereka bertiga dan mendoakan semoga mereka baik-baik saja.
Perjalanan yang tak sepenuhnya berakhir. Namun, mulai sekarang mereka akan menjalaninya dengan harapan baru di hati mereka masing-masing.
Di balik pepohonan yang rindang. Saat angin tiba-tiba berhembus dan memberi tanda kepergian mereka, ada seseorang yang tak asing. Mengintip dengan mata sendunya yang memancarkan cahaya green sapphire. Lalu sosok itu menghilang dalam sepersekian detik per massa yang tak bisa dihitung.
❇
Part 13 : END
________________
Uh, apa sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal?
Sepertinya ada yang kurang, ya? HAHATerima kasih telah membaca cerita SHELTER hingga part ini. *Bow
KAMU SEDANG MEMBACA
SHELTER [√]
Misteri / ThrillerVictory mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan itu cukup besar. Dia teringat suasana panti asuhan. Dia sempat tertawa kecil. Entah mengapa begitu miris. Ia tidak mampu mengingat suasana rumahnya saat orangtuanya masih ada. "Apakah M...