08

532 23 2
                                    

Situasi ini tidak pernah terfikirkan olehku sebelumnya. Bener-bener bikin panik bukan kepalang!
Pasalnya sekarang aku sudah berada didalam kamar, yang sudah disulap menjadi kamar pengantin, dengan nuansa merah maroon hampir disetip sudutnya.
Pak Dio sudah menghabiskan setengah jam lamanya berada didalam kamar mandi dan aku duduk menunggu dengan hati gusar.

Apa yang harus aku lakuin pas pak Dio keluar kamar mandi ya? Pura-pura tidur?

Ceklek...
Ah, pintu kamar mandi udah kebuka! batinku menerka-nerka.

"Bapak lama bang...," seruku terputus disaat mata kami bertemu. Pak Dio hanya memakai handuk putih yang terlilit pada bagian bawah dengan bagian atas full terekspos memperlihatkan dada bidang yang biasanya tertutupi oleh pakaian.

Cogan di drama korea jadi kenyataan? Sadarkan dirimu, Kee!

"Mandi sana, bersihin badan kamu. Jangan pake baju kotor gitu diatas kasur, jorok!" ucap pak Dio menyadarkanku dari lamunan penuh fantasi.

Belom apa-apa udah ngajak perang.

"Lah bapak mandinya lama sih. Kalau saya ganti baju duluan, kan sayang baju setelahnya cuma dipakai sebentar, emang bapak mau bantuin nyuci?"

"Itu cuma alasan kamu saja, yang nyuci baju kan mesin,"

Yakali bajunya masuk sendiri ke mesin cuci? Terus mesin cucinya muter-muter sendiri juga?

"Dih, yaudah," ucapku menyerah diselingi helaan nafas berat.

Sulit nih kalau berurusan sama manusia kutub, bawaan bikin tubuh ngilu penuh emosi.

Dengan wajah cemberut aku memasuki kamar mandi dengan menenteng handuk lainnya yang akan ku pakai setelahnya.

"Jangan pasang muka cemberut ke suami, dosa," ucap pak Dio datar yang aku balas dengan cengiran.

Suami. Setelahnya, kata itu terus terngiang ditelingaku.

Setelah satu jam didalam kamar mandi melakukan berbagai kegiatan bersih-bersih dari atas sampai bawah, aku sama sekali tak berniat untuk keluar. Pasalnya, fikiranku sekarang dipenuhi berbagai hal liar tentang apa yang akan terjadi jika aku memutuskan untuk keluar mandi.

"Pak Dio udah tidur belum ya?"

"Aduh canggung banget, engga mungkin kan ya malam ini?"

"Sabodo lah ya, puyeng mikirinnya,"

"Ih tapi masa iya malam ini! Gamauuuu, belom siap!" racauku seorang diri sambil menepuk air yang berada di bath up. Aku sudah tidak peduli lagi apakah suaraku terdengar sampai keluar atau tidak. Kalau terdengar bagus bukan? Pak Dio harusnya peka dan keluar dari kamar untuk mengurangi kecanggungan diantara kami.

"Wah jari-jariku udah keriput," seruku spontan saat melihat keadaan tanganku. "Ini ga bisa diteruskan, aku harus berani keluar!"

Aku memberanikan diri hanya dengan menggunakan handuk. Aku terbiasa untuk tidak membawa baju ke dalam kamar mandi dan baru menyadari bahwa hal ini masuk ke dalam efek kebiasaan buruk.

Dengan perlahan tapi pasti aku keluar kamar mandi dan menuju lemari pakaian dengan gerakanku yang seminimal mungkin menimbulkan suara.

Loh kok gelap ya? Atau mungkin dia udah tidur?

Setelah memastikan baju yang kugunakan sudah terpasang dengan benar, aku melangkahkan kaki ke arah kasur yang sudah terisi dibagian kanannya. Kasurku yang biasanya terlihat lebar, kini terlihat berkebalikan karena ada dia disana. Dengan penuh hati-hati, aku naik ke atas kasur dan menenggelamkan diri di dalam selimut.

Sesaat setelah aku mencoba untuk memejamkan mata, sayup –sayup terdengar...

"Saya engga akan minta jatah disaat kamu belum siap dan setuju, tapi untuk yang satu ini, saya engga akan minta pendapat kamu," dan tangan kekar milik pak Dio dengan cepat melingkari pinggang kecilku. Aku hanya terdiam, bahkan untuk menjawab pernyataan itu pun isi kepalaku terasa sangat kosong. Malam inipun terasa lebih panjang dari malam-malam sebelumnya, aku tak pernah tidur seutuhnya dan terus menunggu kapan matahari akan terbit.

*****

"Wah selamat pagi kak Alvin," ucap Kira bersemangat saat pak Dio keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan.

"Pagi Kira," ucap pak Dio dengan senyum. "Pagi mah, pah,"

"Pagi Alvin," ucap mama dan papa bersamaan.
"Kee nya mana, vin? Belum bangun?"

"Udah kok mah, baru selesai mandi tadi, mungkin sekarang lagi pasang baju," ucap pak Dio yang dibalas anggukan oleh mama.

Aku turun dan bergabung ke meja makan, mengenakan kaos dan celana pendek rumahan. Sarapan hari ini pun terasa sangat berbeda karena kehadiran pak Dio disana.

"Kee, ambil nasi nak Alvin atuh,"

"Pak Dio bisa ambil sendiri kok mah,"

"Loh, kok masih panggil bapak juga sih? Aneh mama dengernya, nak Alvin kan suami Keeya,"

"Eh iya mah, Kee masih kebawa kebiasaan,"

"Saya bisa ambil sendiri kok, mah," ucap pak Dio setelahnya.

"Gpp Alvin, kan sudah ada Keeya. Kee, ayuk cepet diambil," ucap mama yang aku balas dengan anggukan canggung. Duh, bawaannya merinding untuk ngelakuin hal-hal yang berbau suami istri.

"Kalau sambalnya ikan, mas mau?" ucapku pelan sambil menatapnya.

Kan mama larang manggil bapak, masa manggil abang? Mirip sama abang tukang bakso komplek dong? Jadi mas aja kali ya?

Pak Dio diam dalam beberapa detik saat mendengar pernyataanku yang diakhiri dengan anggukan tanda setuju.

"Ini mas,"
"Makasih Kee,"

"Gitu dong, kan sudah sah jadi suami istri sekarang," ledek mamaku yang diikuti tawa papa setelahnya. Kira? Dia hanya diam tak mengerti tentang apa yang terjadi.

Rasanya malu banget, bikin bulu kuduk naik!

Jangan lupa saran, komen, dan vote yaa😊

Sweetest FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang