Mutiara dari Pesantren

1.4K 16 2
                                    

Ketika pagi menyapa, angin berhembus kencang kesana kemari, dedaunan menari-nari, dan ayam jago pun berkokok ria. Fatah segera bangun dari mimpi indahnya. Tak lupa ia berdoa dan kemudian pergi untuk mengambil air wudlu. Fatah menunaikan Qiyamul lail. Di keheningan malam, berbagai doa ia panjatkan kepada Sang Ilahi Rabbi, tak terasa air mata membasahi pipinya. Usai berdoa, Fatah mengambil sebuah foto yang terletak di atas meja belajarnya. Ia memandangi foto ibunya. Air matanya seolah tak mau berhenti mengalir. Makin lama ia menatap wajah ibunya di foto, makin deras pula air matanya. Fatah berpikir sejenak sembari duduk di balkon yang ada di teras kamarnya. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Wonosobo, kota dimana aku dilahirkan. Secara otomatis, aku juga akan meninggalkan ibu dan kedua adik perempuanku di rumah. Rasanya sungguh berat, karena aku adalah satu-satunya lelaki di keluarga kecil ini, gumamnya dalam hati. Ayah Fatah telah tiada, tepatnya 10 tahun yang lalu saat usia Fatah memasuki 11 tahun. Ayahnya, Faiz, meninggal karena menderita penyakit jantung. Kini, tinggal ibunda seorang yang mengurus Fatah dan kedua adiknya. Ibunya, Fatma, bekerja sebagai karyawan swasta di Madrasah Ibtidaiyah yang ada di Wonosobo. Disela-sela waktu sengganggnya, Fatma menjahit beberapa pakaian untuk sekedar mendapatkan uang tambahan. Keluarga Fatah hidup sederhana, mereka tak pernah mengeluh akan hidupnya yang biasa-biasa saja.


Jarum jam telah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Setengah jam lagi adzan shubuh dikumandangkan. Fatah masih saja duduk di balkon, meskipun dingin menyapa dirinya. Pikiran Fatah melayang-layang, ia asyik berimajinasi ria.


"Hari ini aku akan pergi ke Semarang, untuk melanjutkan studi di UIN Walisongo dan memulai tahfidz di Ponpes Tahfidz Modern Monash Institute. Aku tak boleh menyusahkan ibu lagi, aku harus mandiri. Syukur Alhamdulillah kalau aku dapat membantu ibu membiayai adik-adik sekolah. Bismillah, semangat Fatah. You can do it."


Adzan shubuh telah dikumandangkan, Fatah segera bersiap-siap untuk melaksanakan sholat shubuh. Di depan rumah, ibu dan kedua adiknya sudah menunggu Fatah untuk berangkat bersama menuju masjid. Seusai sholat, Fatah mengeluarkan koper yang berisi beberapa baju dan buku-buku bacaan. Ia pun mengeceknya kembali, barangkali masih ada yang terlewati atau tertinggal.


"Nak Fatah, mau berangkat jam berapa?" Tanya Fatma, ibunya.


"Jam 6 mawon, Buk. Mangke dugi Semarang siang, mboten sonten." Fatma menganggukkan kepala tanda mengerti. Kedua adik Fatah, Fina dan Fani sangat bersemangat, karena mereka akan ikut mengantarkan Fatah ke Semarang. Dibalik senyum mereka yang mengembang, Fina, adik pertama Fatah sebenarnya menyimpan kesedihannya. Fina sedih karena akan ditinggal kakak tersayangnya pergi ke Semarang.


Sudah pukul 06.00 tepat. Fatah dan keluarganya berangkat menuju terminal Wonosobo. Di terminal Wonosobo, mereka menunggu beberapa menit hingga akhirnya bis jurusan Semarang datang. Tepat pukul 13.00 WIB, mereka sudah berada di daerah Ngaliyan Semarang. Tepatnya di daerah Tanjung Sari II.


"Assalamu'alaikum." Fatah mengucapkan salam ketika memasuki asrama Monash Institute atau yang akrab disebut MI. Seorang santri menjawab salamnya,


"Wa'alaikumussalam warohmatullah, monggo pinarak". Ketika duduk, Fatma menjelaskan maksud kedatangan mereka. Aryo, santri putra tersebut menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, Wawan, salah satu santri putra angkatan 2013 datang membawakan minuman dan beberapa makanan untuk Fatah dan keluarganya. Aryo pamit sebentar untuk mengambil form pendaftaran MI agar diisi oleh Fatah. Fatah pun membacanya sejenak, kemudian ia mengisi form tersebut dan mengeluarkan map hijau berisi berkas persyaratan MI yang telah ia persiapkan sebelumnya. Segera ia serahkan map dan dua lembar foto berukuran 3x4 pada Aryo.


Seminggu telah berlalu, Fatah masih berusaha keras untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Fatah masih teringat saat dimana ia berpisah dengan ibu dan kedua adiknya. Bukan cengeng, lebih tepatnya ia tak sampai hati meninggalkan keluarga kecilnya. Fatah sengaja masuk MI lebih awal, agar ia dapat beradaptasi terlebih dahulu di lingkungan Semarang, utamanya di daerah Ngaliyan sebelum ia aktif masuk kuliah.

Mutiara dari PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang