Bulan September yang Melelahkan

128 0 0
                                    

Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan yang ada dalam diri seseorang bisa menjadi kekurangan dari orang lain. Aku menyadari akan kekurangan dan kelemahanku. Aku tahu bahwa diri ini tak banyak kelebihan, diri ini memiliki banyak sekali kekurangan. Aku pun sadar kalau kekurangan ini sangat menyiksaku, tapi mengapa aku tak juga sadar dan memperbaiki semua ini. Jujur, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku diam tanpa kata. Ya, aku lebih memilih diam. Aku takut jika aku bicara akan membuat teman-teman tak mempercayai perkataanku. Aku berusaha untuk menjadi lebih baik, tapi aku masih saja gagal. Aku belum mampu untuk memperbaiki segala kekurangan dan kesalahan yang telah aku perbuat. Diri ini begitu “bandel”. Aku tak tahu bagaimana reaksi Ibu jika mengetahui pekerjaanku selama ini yang bisa dikatakan sia-sia. Maafkan anakmu ini Ibu, aku tak bermaksud untuk menyusahkanmu. Bahkan, ingin sekali rasanya diri ini membuatmu bangga dan tersenyum bahagia. Akan tetapi, sampai saat ini aku masih belum bisa melakukan hal itu. Justru yang ada aku malah semakin membuatmu kesusahan. Jujur, aku tak ingin merepotkanmu, Ibu. Engkau begitu berharga bagiku. Engkau adalah satu-satunya orang tua yang aku miliki setelah ayah meninggal dunia. Ayah meninggal sebelum aku membuatnya bahagia. Mungkin saja ayah di sana sedih melihat keadaan anaknya yang seperti ini. Aku begitu kacau. Aku tak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaiki kekacauan yang telah kuperbuat. Mungkin, saat ini teman-teman membenciku, menganggapku anak yang malas, tidak tahu aturan dan masih banyak lagi pikiran negatif yang dilontarkan padaku. Allah, aku begitu menyesali sikapku yang seperti ini. Aku ingin menjadi orang yang baik, tetapi sikapku sama sekali tidak mencerminkan orang baik. Di mata Abah, aku begitu terlihat polos. Aku tak bisa menilai diriku. Apa benar aku adalah anak yang polos, ataukah sebaliknya. Ibu, ayah, maafkan atas segala sikapku ini. Aku anak yang tak tahu diri. Ayah, maafkan aku karena tidak menjadi anak yang sholehah. Akan tetapi, aku akan tetap berusaha. Yah, aku tahu pasti ayah melihatku di atas sana. Walaupun aku tak bisa melihat ayah hanya sekedar untuk melepas kerinduan hati ini dan merasakan kasih sayang seorang ayah. Aku rindu akan sosok seorang ayah. Jujur, terkadang aku merasa iri pada teman-teman yang masih memiliki orang tua yang lengkap. Aku memang iri, tapi aku tak pantas untuk terus-terusan merasa seperti itu, ayah pasti akan tambah sedih kalau aku masih saja begitu. Ayah, apa yang harus aku lakukan. Aku tak bisa merasakan kebahagiaan sekarang. Aku hanya bisa menangis dan terus meneteskan air mata hingga mataku sembab. Aku malu untuk bercerita pada ibu, yah. Aku takut ibu akan kecewa karenaku dan aku tak ingin ibu sedih karena hal yang aku lakukan ini. Bulan ini menjadi saksi atas ketidakbahagiaanku. Bulan ini, ya bulan September tepatnya. Di bulan ini, aku menjadi orang yang paling aneh di dunia ini, orang paling menyebalkan, tidak dapat dipercaya, dijauhi banyak teman, selalu merasakan kesepian, dan masih banyak lagi yang membuat butiran mutiara menetes di pipi dan tak mau berhenti. Mungkin, dengan menangislah aku dapat merasakan ketenangan, sedih dan beban ini sedikit terasa enteng, tetapi jika aku ingat kembali akan hal ini, maka kembali pulalah butiran kecil ini menetes. Menyesal? Sudah pasti aku sangat menyesal. Akan tetapi, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dan dari mana aku harus mulai melangkah. Sungguh, aku sangat bingung sekarang. Aku tak ingin bulan oktober nanti sama kejadiannya dengan bulan September. Aku harus bisa merubah, bagaimana pun caranya. Aku yakin, aku pasti bisa. Saat ini, aku hampir tak bisa menelan ludahku sendiri. Aku jatuh, aku benar-benar sudah hancur sekarang. Aku bingung jalan mana yang harus aku ambil. Ingin sekali aku keluar dari lingkungan ini, aku pergi sejauh-jauhnya dan mencari jalanku sendiri. Walaupun begitu, aku tetap tak dapat melakukannya, karena sudah pasti aku akan semakin merepotkan ibuku. Aku tak ingin membuat beban ibu semakin banyak. Sudah cukup selama ini ibu terbebani karena aku. Aku tahu kalau ibu capek, penat, susah, tapi ibu selalu menutupinya dariku. Ibu terlihat seakan-akan tak terjadi apa-apa di depanku, padahal aku tahu apa yang ibu rasakan. Ibu pasti tak ingin membagi kesedihan padaku, ibu tak ingin kalau kuliah dan hafalanku terganggu. Ibu, I love you so much. Kasih sayangmu tak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Ibu, engkau adalah ibu sekaligus ayah bagiku. Ibu, aku berharap semoga suatu saat nanti aku dapat membahagiakanmu. Aku tak tahu harus berbuat apa untuk membuatmu bahagia, tapi aku akan tetap berusaha, Ibu. You are everything for me.
Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Ada yang selalu bahagia, pun ada yang menderita terlebih dahulu demi mencapai suatu kebahagiaan. Aku tak tahu kapan hidupku akan bahagia. Aku sedih, ya aku sangat sedih dan aku tak ingin karena kesedihanku, ibu pun ikut sedih. Aku selalu berhati-hati jika bercerita pada ibu. Aku munafik, mungkin bisa dikatakan begitu. Sudah terlalu banyak dosa yang ada dalam diriku hingga tak terlihat kebaikan sedikitpun. Hati ini serasa sulit untuk bernafas, seakan-akan sebentar lagi malaikat pencabut nyawa akan datang menghampiriku. Ya Rabb, apakah Engkau akan mengampuni segala dosa yang telah hamba-Mu ini perbuat? Aku tahu kalau Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa makhluk-Nya. Akupun berharap semoga Allah mau mengampuniku dan menunjukkan jalan lurus, yang Dia ridhoi serta menghindarkan diri ini dari segala perkara yang tidak Dia ridhoi.
Kesedihan ini semakin bertambah dikala teman-teman tak ada yang peduli padaku. Semua acuh terhadapku, satupun tak ada yang respect padaku. Aku sungguh tidak beruntung. Teman pun aku tak punya, apalagi seorang sahabat. Itu hanya mimpi belaka. Bahkan teman sekamarku tak ada yang mau care padaku. Walaupun hanya sekedar bertanya tentang keadaan dan atau masalah yang sedang aku hadapi. Aku terdiam, tak satu pun kata keluar dari mulutku. Aku tak mau bersuara terkecuali ada yang mengajakku berbicara. Aku sangat menginginkan memiliki teman dan atau sahabat putri yang mau menghiburku dikala kesedihanku, yang mau tertawa dan bercanda bersama dikala kebahagiaanku. Selama ini faktanya tidak ada sama sekali. Justru yang care padaku adalah teman putra. Tak apalah, setidaknya ada orang yang mau peduli padaku. Aku tak berhenti berharap untuk menunggu saat-saat bahagiaku. Entah berapa lama lagi aku harus menunggu, yang jelas aku tak boleh putus asa. Hari itu pasti akan datang, aku akan bahagia dan tertawa bersama dengan teman-teman dan keluargaku. Sekarang ini, aku harus fokus lagi pada hafalanku, aku harus memperbaikinya. Aku tak boleh mengecewakan Abah pondok untuk yang kesekian kalinya. Sudah cukup abah kecewa selama ini padaku. Aku tahu abah kecewa, tapi aku tak boleh terus-terusan membuatnya kecewa. Abah sangat berjasa dalam hidupku, abah yang telah membantuku untuk meringankan beban ibu. Oleh karenanya aku tak boleh membebankan abah. Aku harus bisa membuatnya bangga terhadap keberhasilan dan kesuksesanku. Aku ingin mengembalikan senyum abah yang selama ini tak terlihat, tersembunyi dari balik wajahnya. Senyum abah yang mengembang sungguh membuat hatiku bak tersiram air. Sangat lega, senang dan bahkan tak bisa dikatakan dalam bahasa apa yang aku rasakan dikala abah tertawa lepas.
Bagiku, kebahagiaan itu sangat mahal harganya. Membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Jika tidak, maka kebahagiaan itu tak akan pernah aku dapatkan. Aku sadar, masih banyak orang di luar sana yang hidupnya jauh menderita dari hidupku. Mereka jauh lebih malang dari diriku. Aku cukup tahu akan hal itu, setidaknya mereka masih memiliki orang-orang yang menyayangi mereka di sampingnya. Sedangkan aku, orang-orang yang menyayangiku berada di jauh sana. Yang tidak dapat memberi semangat setiap harinya. Setidaknya, mereka juga memiliki teman-teman yang care dan dapat diajak bersinergi bersama. Sedangkan aku? Tak ada satu pun teman yang begitu padaku. Berharap? Sudah tentu aku lakukan, aku tak tahu di sisi mana aku harus memperbaiki diri. Di bagian mana aku terlihat hina di mata mereka, aku merasa sangat rendah dan mungkin tak pantas menjadi teman mereka. Aku tahu aku bodoh, tak cantik, tak memiliki banyak harta. Aku hanya orang yang ingin bahagia dengan memiliki teman yang tak memandangku sebelah mata, yang mau menerima bagaimanapun keadaanku, yang mau mengerti akan kelebihan dan kekuranganku. Bulan September ini harus kurenungkan, aku tak ingin hidupku sial seperti di bulan September. Cukup bulan ini saja air mataku terkuras habis, dimulai dari kehilangan seorang ‘kakak’ yang dulunya sangat menyayangiku dan memperhatikanku, sahabat yang dulu mau mendengarkan keluh kesahku, partner yang dulu sering memberi masukan dan saling berbagi pengalaman bersama, semua itu sudah hilang dari diriku. Kebahagiaanku tiba-tiba direnggut oleh seseorang yang tak aku tahu. Mungkin, kejadian itu juga tak lepas dari kesalahan, kekurangan dan keteledoranku. Aku tak bisa menjaga kebahagiaanku. Aku ceroboh, aku ‘sembrono’. Aku menyesali segala sesuatu yang aku perbuat. Mengapa menyesal itu selalu di belakang? Kalaupun aku tahu keadaan akan menjadi seperti ini, aku tak akan melakukan sesuatu hal yang membuatnya begini. Aku pasti akan mawas diri, lebih berhati-hati dalam bertindak. Kalau seandainya begitu, pasti tidak akan ada kata ‘menyesal’ di dunia ini. Sekarang ini, yang harus kuperbuat adalah memperbaiki segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Mungkin, teman-teman sudah sangat membenciku, dan tak percaya pada setiap perkataanku. Akan tetapi, aku harus tetap tegar dan berusaha untuk memperbaiki diri ini yang telah cacat. Aku menyadari akan segala kesalahan yang aku lakukan selama ini, tetapi aku cukup sedih karena tak ada satupun teman yang mau memperdulikanku. Sungguh menyedihkan hidup ini, serasa ingin lari jauh, sejauh-jauhnya sampai aku tak melihat teman-temanku di sini. Biarlah aku bertemu dengan teman baru yang mungkin akan lebih baik padaku, lebih menghargai keberadaanku. Temanku, Kharisa, pernah mengatakan bahwa teman lama itu bagaikan emas, sedangkan teman baru itu ibarat berlian. Bila kita menemukan berlian, maka jangan sekali-kali melupakan emas. Ya, memang seharusnya tidak boleh melupakan teman. Walau bagaimanapun, temanlah yang sudah mengisi warna kehidupan kita. Aku salah jika aku ingin melupakan dan menghapus teman-teman di sini dalam hidupku. Akan tetapi, aku memiliki alasan mengapa aku mau melakukan itu. Kehidupan memang bewarna-warni, tapi melihat kehidupanku saat ini, serasa tidak adil. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, pun tidak menyalahkan Tuhan, karena mungkin ini memang takdir yang harus kujalani. Aku harus menjalani kehidupan ini dengat tetap semangat, tersenyum, bersabar dan tetap bertahan dalam segala keadaan. Entah itu menyulitkan ataupun menyenangkan.
“Oh Tuhan, berikanlah ketabahan dan kesabaran pada diri ini dalam menjalani ujian yang Engkau beri.” Mungkin, dibalik peristiwa ini akan ada hikmah yang dapat aku ambil, pun akan ada kebahagiaan nantinya. Aku harus lebih bersabar untuk menanti waktu kebahagiaan itu datang. Akupun berharap, semoga suatu saat nanti aku menemukan teman yang benar-benar teman, yang mengerti akan segala kekurangan diri ini, yang mau mendengar segala keluh kesahku, yang mau membantuku di saat aku membutuhkan uluran tangan dari seseorang, yang mau menyemangatiku di saat aku terpuruk, yang mau menghiburku dikala aku sedih dan mau memberikan motivasi serta memberikan solusi ketika aku mendapatkan suatu masalah. Sejauh ini, aku belum menemukan teman yang seperti itu. Yang aku temui hanyalah teman yang mau mencariku dikala ia membutuhkan bantuan dan menjauhiku atau pura-pura menjauh ketika aku yang ingin meminta bantuan. Mungkin, bisa disebut teman yang suka memanfaatkan temannya sendiri. Walaupun demikian, aku sama sekali tak berniat untuk mejauhinya. Aku hanya ingin dia sadar dan menyadari akan kesalahan yang selama ini ia perbuat. Sungguh sakit rasanya bila teman hanya menganggap keberadaanku ketika ia sedang mengalami kesusahan, dan melupakan aku ketika ia sedang berada di atas kebahagiaan. Bulan September ini memang benar-benar melelahkan, sungguh sakit dan sangat menyedihkan. Bulan September yang tak akan pernah terlupakan, yang ‘kan selalu menjadi kenangan pahit dalam hidup ini. Semoga saja aku tak menemui hari-hariku seperti di hari-hari bulan September ini. Tangisku mengalir begitu deras di bulan ini. Senyum yang tampak hanyalah senyum tuk menutupi segala kesedihan dan kegundahan yang ada dalam hati ini. Tak ada kebahagiaan yang aku dapatkan di bulan ini. Selain orang-orang yang aku sayangi menghilang, pun orang-orang lain yang ada di sekitarku juga memusuhi dan membenciku. Hal itu terlihat jelas ketika aku bergaul dengan mereka dalam keseharianku. Jujur, diri ini menyesal, mengapa aku dulu tak mau menerima tawaran ustadzku untuk melanjutkan studi di Timur Tengah. Saat itu, aku mengatakan kalau aku belum cukup berani. Dikarenakan ilmu yang aku punya belum terlalu banyak, pun juga belum menguasai bahasa arab secara lebih mendalam. Sedangkan saat ini, justru aku sangat berkeinginan bisa belajar dan menimba ilmu di tanah kelahiran Rasulullah saw, tepatnya di al-Azhar Kairo Mesir. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa menimba ilmu di sana. impossible is nothing in this world. Mungkin, suatu saat nanti akan ada jalan yang membawaku sampai sana. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menyelesaikan halafan al-Qur’an dan memperdalam bahasa Arab pun tidak menafikan bahasa Inggris. Semangat, aku pasti bisa. I can do it. Positive thinking aja.

Mutiara dari PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang