Cerita Cinta di Sekolah

144 1 0
                                    

Tak terasa usiaku sudah beranjak 13 tahun. Aku telah memasuki bangku SMP yang selama ini kunanti-nantikan. Awal masuk sekolah, tak ada seorangpun yang aku kenal, rasa takut terus menghinggap di hatiku. Aku diam dan tak berkata apapun. Aku bagaikan bunga kaktus yang berdiri tegak di tengah-tengah gurun pasir. Satu bulan telah terlewati. Teman-temanku, baik putra maupun putri telah aku kenal. Kita pun sudah mulai akrab dan saling mengenal satu sama lain. Aku juga sudah bersahabat dengan salah satu teman priaku, yakni Haikal. Dia sangat ramah, baik hati, dan sopan kepada semua orang, termasuk kepadaku. Dia tak pernah mengatakan suatu hal yang dapat membuatku marah. Aku sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti dia. Akan tetapi, benih-benih cinta itupun mulai tumbuh, dan akhirnya membuat persahabatan kami terputus. Jujur, aku sangat mengagumi sosok Haikal. Dia adalah laki-laki yang gentlemen dan bertanggung jawab. Awalnya, aku tak pernah merespon akan perasaanku ini, tetapi aku tak bisa memungkiri kalau aku sedang jatuh cinta padanya. Begitu pun dengan Haikal, dia juga ada rasa terhadapku. Kami tahu bahwa kami saling mencintai satu sama lain. Pada saat jam kosong di sekolah, Haikal melemparkan sebuah amplop berwarna hijau yang berisikan,
“Assalamu’alaikum Sajwa, maaf kalau aku mengganggumu. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” Aku pun membalas suratnya dan melempar balik ampop hijau itu ke bangkunya.
“Wa’alaikumussalam, kamu sama sekali ndak menggangguku, apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku?”
“Jawab jujur ya, sebenarnya kamu ini sudah punya pacar apa belum?”
“Belum, memang kenapa?”
“Nothing, kalau sekarang apa sudah ada laki-laki yang singgah di hatimu?”
“Pastinya ada lah Haikal.”
“Siapa dia, bolehkah aku tahu?”
“Emm, secret! Sudahlah, tak usah kau tanyakan hal itu padaku. Lagi pula ada apa ya?”
“Pengen tau aja, Wa. kalau boleh jujur, sebenarnya aku ini sedang fall in love with you, Sajwa.”
“Ah, impossible. Ndak usah bercanda kaya gitu lah Haikal, kita ini sahabat.”
“No, kamu salah Sajwa. Aku tidak bohong padamu, aku benar-benar serius mencintaimu”
“Really? Are you sure?”
“Yes right, tak bisakah kau menatap kesungguhan ini dari mataku?” Tanpa berfikir panjang, aku pun menatap mata Haikal. Aku menemukan keseriusan di matanya, aku juga tau kalau sudah lama dia menyimpan rasanya untukku, hanya saja baru hari ini dia berani mengungkapkannya. Aku dan Haikal saling bertatap muka, kita pun tersenyum. Jujur, aku merasa senang dan bahagia. Namun, aku merasa kalau hatiku kini telah menyabang, bukan hanya Haikal yang aku cinta, tapi ada laki-laki lain yang juga mengisi hatiku. Dia adalah Azzam, salah satu teman priaku yang beda kelas denganku. Aku berada di ruang A, sedang dia berada di ruang B. Aku mulai jatuh cinta padanya saat kita sedang berpapasan di jalan. Azzam menyapaku dan sedikit bertanya padaku.
“Hai Sajwa, kok sendirian aja berangkatnya?” Aku tersenyum ramah kepadanya.
“Iya nih, ndak ada temene kok.” Aku menatap sosok laki-laki di sampingku, dia begitu berwibawa, baik hati, ramah, dia juga tampan. Senang sekali aku bisa mempunyai seorang teman sepertinya.
“Emm, baiklah. Kalau begitu, aku temenin aja ya, sekalian berangkat bareng ke sekolah, walaupun kelas kita beda tapi kita kan boleh saling kenal, biar gak ada kata sombong keluar dari mulut orang-orang yang suka iri.”
“Iya Zam, kamu bener. Kita ini satu angkatan, harus saling mengenal dan akrab.” Kami jalan bersama menuju sekolah. Sejak saat itu, aku mulai merasa ada yang berbeda dengan perasaanku, dan mulai ada chemistery diantara kami.  Tiba-tiba Haikal melemparkan sepucuk surat padaku yang membuyarkan lamunanku.
“Sudahkah kau melihat kesungguhanku, Sajwa?” Aku menjawab,
”Sudah kok, and I believe it. But…”
“Aku tahu itu. But, we must not  be going steady, and you must know that love must not own”. Aku tahu Haikal pasti marah dan kecewa padaku, tapi aku tak bisa memungkiri perasaanku, kalau aku lebih mencintai Azzam daripada Haikal.
“Ya, kamu benar Haikal, and I think us to be best friend forever”
“Seperti itukah, apakah sudah tak ada kesempatan sedikitpun bagiku untuk memilikimu Sajwa?”
“Untuk masalah itu, Wallahu a’lam. Lagi pula kamu tadi bilang sendiri kan kalau cinta itu tak harus memiliki, karena cinta sejati itu, bila seseorang yang kita cintai itu bahagia, kita juga ikut bahagia walaupun kebahagiaan dia tidak bersama kita. Toh, kita juga bisa menjalin hubungan kita dengan sebatas sahabat kan…”
“Ya, terserah kamu aja lah. Kalau boleh tahu sebenarnya kamu itu cinta sama aku apa ndak?”
“Kalau dibilang suka sih iya, tapi kalau cinta ndak. Aku suka sama kamu karena kamu tuh baik, ramah dan perhatian sama aku. Tapi, kalau aku disuruh memilih aku lebih milih dia daripada kamu, Haikal”
“Kok bisa begitu? Pasti lebih tampan dia kan daripada aku.”
“Bukan masalah tampan atau tidak, menurut aku kalian sama-sama tampan.”
“Tapi kenapa kamu lebih milih dia daripada aku?”
“Entahlah, hatiku berkata demikian. Aku menyayangimu sebagai sahabatku, Haikal.”
“It’s okey, tak apalah. Jujur saja hatiku sekarang remuk redam, rasanya sakit dan begitu terluka akibat goresan yang teramat dalam menusuk di kalbuku. Tapi apa daya kalau cintaku telah bertepuk sebelah tangan”
“I’m so sorry Haikal, aku ndak bermaksud menyakiti hatimu. Kumohon Haikal, jangan pernah marah dan membenciku, aku sungguh tak bermaksud melakukan hal demikian. Aku mengatakan hal ini sesuai isi hatiku, aku ndak ingin menyembunyikan sesuatu darimu, karena kamu adalah sahabatku.”
“Ya sudahlah, aku juga ndak marah kok sama kamu Wa, mana mungkin aku bisa marah dan membenci orang yang aku cintai. Justru aku malah seneng, karena kamu mau jujur padaku, tapi siapa laki-laki yang beruntung mendapatkan hatimu Wa?”
“Dia adalah Azzam, teman kita di ruang B.” Saat aku menulis nama Azzam di kertas itu, Haikal tak lagi menatapku. Dia membelakangiku. Aku cukup tahu bagaimana sikap dia, dan sekarang dia benar-benar marah padaku. Sebab, Azzam adalah sahabat terdekatnya. Rupanya Azzam juga ada rasa terhadapku, karena dia pernah bercerita pada Haikal tentang perasaannya padaku. Haikal menceritakan semua yang dikatakan Azzam pada saat Haikal menelfonku. Jujur saja aku sangat senang dan hatiku berdegup dengan kencang saat Haikal menceritakan hal itu padaku.
Dua tahun kemudian, aku sudah menginjakkan kakiku di kelas 3 SMP. Hubunganku dengan Azzam sudah berlangsung selama satu tahun lebih. Semua orang, baik teman-temanku maupun para guru telah mengetahui statusku dengan Azzam. Akan tetapi, aku dan Azzam menjalaninya dengan tenang dan enjoy. Kami tak pernah malu sedikitpun dengan hubungan yang kami jalani ini, selama kami tidak melanggar syari’at Tuhan. Aku dan Azzam aktif dalam sebuah organisasi sekolah. Azzam aktif dalam grup rebana, sedangkan aku aktif dalam bidang keputrian. Pernah suatu hari semangat Azzam down. Akan tetapi, aku berusaha untuk mensupportnya dan mencoba meyakinkannya.
“Dek, rasa-rasanya aku udah gak semangat lagi ikutan rebana.” Kata Azzam saat menelfonku.
“Kenapa, Kak? Apakah ada trouble yang tengah mengganggumu, ceritakan saja padaku”
“Ndak ada Dek, aku capek aja. Lagi pula kita kan sudah kelas 3, alangkah baiknya kita fokuskan pikiran kita ke pelajaran”. Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Azzam.
“Kakak benar, tapi kan malah akan lebih baik kalau ada kegiatan lain yang mengisi hari-hari kita, biar ndak cepat jenuh Kak”
“Ya juga sih Dek, tapi kan…”
“Tapi apa, ndak ada support? Apa masih kurang kak support dari aku. Lagi pula kakak kan vokalis di grup rebana, kalau kakak keluar, kasihan temen-temenmu lah harus mencari pengganti vocal yang baru, dan itu bukan hal yang gampang kak, jaman sekarang jarang sekali kak ada pemuda yang pandai bersholawat”. Azzam tersenyum padaku, sang pujaan hatinya.
“Iya Dek, aku ndak akan keluar dari rebana ini. Setelah aku pikir-pikir, katamu ada benarnya juga dek, kalau ndak ada kegiatan lain, pasti kita akan merasa cepat jenuh”.
“Nah,,, gitu donk Kak, yang semangat biar akunya juga ikut semangat”
“Oke Dek.” Akhirnya aku berhasil membujuknya untuk tetap ikut aktif dalam grup rebananya.
Satu bulan menjelang perpisahan, ada seseorang yang menerorku. Siapa dia, akupun tak mengetahuinya. Dia meletakkan sebuah kado di dalam tasku. Kado itu berisikan sebuah baju anggun berwarna ungu dan ada sepucuk surat berisikan,
Sajwa, entah mengapa wajahmu selalu terbayang dalam benakku. Aku tak bisa melupakan dirimu, entah apa yang sedang terjadi padaku, yang jelas aku mencintaimu. Di setiap malam, aku tak bisa tidur sebelum melihat fotomu yang manis. Maaf, aku sudah mencuri fotomu, aku mengabadikannya secara sembunyi-sembunyi. Aku tahu, dan aku sadar kalau kamu itu marah besar padaku, karena aku telah lancang melakukan ini semua. Jujur aku gak rela melihat kamu bersatu dengan Azzam. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kalaupun ada satu cara untukku bisa meraihmu, pasti akan kulakukan cara itu. Namun, aku takut bila apa yang aku lakukan akan menyakitimu, bahkan sampai membuatmu terluka, aku tak mau itu terjadi. Jujur aku merasa sangat lega, karena telah mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya padamu, My pretty girl.
Secret Admirer
Aku tak habis pikir kalau isi suratnya seperti ini. Aku mulai mencurigai salah satu temanku. Dia memanggilku dengan sebutan ‘Sasa’ dan satu-satunya teman yang memanggilku dengan sebutan itu hanya Reza. Tapi, apa iya selama ini Reza memendam rasa suka padaku. Ah, aku rasa itu tidak mungkin karena selama ini dia begitu cuek padaku. Akan tetapi, akhir-akhir ini aku merasa dia tengah mendekatiku.
Saat aku sedang berada di kelas sendirian, tiba-tiba Reza masuk ke dalam. Aku sangat terkejut, iapun juga sangat kaget melihatku berada di dalam sendirian.
“Kok sendirian aja, yang lain pada ke mana?” Tanyanya dan masih terlihat gugup.
“Kurang tahu nih, aku juga bingung. Semua teman hilang entah ke mana. Oh iya, by the way yang ngasih kado ini buat aku itu kamu ya, Za?” Tanpa berfikir panjang aku tanyakan perihal kado misterius itu ke dia. Tanpa berbasa basi terlebih dahulu. Aku memperlihatkan kado itu padanya.
“Kalau seandainya iya bagaimana?” Jawabnya. Aku tersenyum padanya.
“Its okey lah, tidak apa-apa kalau memang itu kamu. Justru saya mau ngucapin terima kasih banyak atas kadonya, sekaligus ingin meminta maaf.”
“Iya, sama-sama. Memang aku orang yang telah lancang memberikan kado itu padamu.”
“Thanks ya, Reza. Maaf, karena aku sudah membuatmu mencintaiku.” Reza menganggukkan kepala.
“Taka pa kok. Kamu gak marah padaku kan?” Aku menghembuskan nafas pelan-pelan.
“Tentu tidaklah, Za. Buat apa aku marah padamu. Justru mungkin kamu yang marah padaku.” Dia menggeleng,
“Tidak kok. Aku sama sekali gak marah padamu. Oh iya, aku boleh minta sesuatu padamu?”
“Apa itu, Za?”
“Kamu mau gak jadi sahabat sejatiku, Sasa?”
“Oke. Berarti mulai sekarang kita sahabatan ya, Za?”
“Iya, we are best friend forever. Thanks, Sa.” Aku sangat senang, karena Reza ternyata tak pernah marah ataupun membenciku. Justru dia malah dengan senang hati ingin menjadikanku sebagai sahabat sejatinya. Tentu aku dengan senang hati menerimanya. So, pada akhirnya aku dan Azzam bisa tenang dan bernafas lega menjalani hubungan ini. Sebab, sudah tidak ada lagi pihak ketiga yang dapat memisahkan hubungan kami.

Mutiara dari PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang