Kasih yang tak Sampai

86 1 0
                                    

Ku menatap awan mendung di jendela kamarku. Kurenungi semua nasib yang telah menimpaku. Aku begitu terpuruk dan putus asa. Sebab, orang yang selama ini aku cintai, aku kagumi, aku bangga-banggakan, dan yang aku harapkan akan menjadi imamku suatu hari nanti, hanya menganggapku sebagai adiknya. Sekarang, aku tak akan bisa mengharapkannya lagi. Kalaupun aku dan dia saling mencintai, tetapi kami tak akan pernah bisa bersatu, karena mamaku dan ayahnya telah menikah sebulan yang lalu. Sebelumnya aku tahu kalau calon ayah tiriku memiliki seorang anak laki-laki. Akan tetapi, aku tak menyangka kalau ternyata Kak Rozaq (laki-laki yang sangat aku cintai) adalah putra ayah tiriku.
Aku mengetahui kenyataan itu tepat di hari pesta pernikahan mama. Awalnya, aku hanya menyangkal kalau Kak Rozaq mendapat undangan dan menghadirinya, tapi ternyata persangkaanku salah. Saat itu, aku menghampiri Kak Rozaq dan berkata padanya,
“Hai Kak Rozaq, kok kamu ada di sini?”
“Oh iya, sorry ya kakak gak bilang padamu sebelumnya, kalau hari ini adalah hari pernikahan ayahku. Dari kemaren, kakak ngebantuin ayah kakak, sampai lupa memberitahumu, Dek. Maafkan kakak ya.”
“Apa? Apa maksud kakak?”  Aku benar-benar terkejut dengan perkataan Kak Rozaq. Apa maksudnya kalau hari ini adalah hari pernikahan ayahnya. Padahal hari ini adalah hari pernikahan mamaku.
“Maksud kakak, pengantin laki-laki yang ada di sana adalah ayah kakak, Dek.” Kata Kak Rozaq sambil menunjuk ke arah pengantin. Spontan aku berkata, “What?” Tubuhku melemah seketika, tak berdaya. Sungguh, saat itu aku merasakan bumi berhenti berputar.
Ya Rabb, mengapa ini semua terjadi padaku. Apa yang sedang Engkau rencanakan?, batinku. Tiba-tiba, aku tak merasakan apapun. Tubuhku tergeletak di atas lantai. Aku tak sadarkan diri. Dengan segera Kak Rozaq menganggkatku dan membawaku ke kamar.
Tak lama kemudian, aku terbangun dan Kak Rozaq duduk di samping ranjang tempat aku ditidurkan. Ia tersenyum padaku dan berkata,
“Dek Dila, kamu kenapa, kok sampai pinsan begini. Kakak kan jadi gak bisa menyaksikan pesta pernikahan ayah kakak.” Telingaku terasa geli mendengar kata-kata Kak Rozaq, akupun tersenyum kecut padanya.
“Kak Rozaq pikir hanya kakak yang gak bisa menyaksikan pesta pernikahan, aku juga gak bisa menyaksikan pernikahan mamaku, Kak.”  Rupanya Kak Rozaq sedikit terkejut mendengar perkataanku barusan.
“Jadi, yang menikah dengan ayahku itu mama kamu, Dek?” Aku mengangguk pelan.
“Berarti… kamu adalah adik tiriku, Dek.” Aku diam, tak merespon ucapan Kak Rozaq.
“Terus, kenapa kamu sampai pinsan begini. Seharusnya Dek Dila bahagia.” Aku tersenyum. Tak terasa butiran air hangat menetes dari kelopak mataku.
“Kak, tanpa Dila jelasin, Dila yakin kalau kakak sudah tahu. Selama ini, Dila memendam rasa cinta pada kakak, dan Dila yakin kakak sudah mengetahui akan hal itu.” Air mataku menetes semakin deras.
“Jujur, kakak sudah mengetahui hal itu, Dek” Kak Rozaq menunduk, ia tak mau menatapku.
“Mungkin, kakak memang sering berkata padaku, kalau kakak hanya menganggapku sebagai adik. Tapi, entah mengapa aku merasa kalau kasih sayang yang Kak Rozaq berikan padaku tidak seperti kasih sayang seorang kakak pada adiknya.”
“Seperti itukah? Jujur saja, kakak juga memendam rasa padamu, Dek Dila. Tapi, ya sudahlah, semuanya sudah terlanjur. Kita telah ditakdirkan untuk menjadi kakak adik, dan kita tak akan pernah bisa bersatu.” Kak Rozaq tersenyum padaku sebelum akhirnya dia meninggalkanku di kamar sendirian. Aku terdiam dan membatin,
Ya Allah, memang benar apa yang dikatakan Kak Rozaq. Aku dan dia sudah tidak mungkin bisa bersatu. Kumohon pada-Mu, Ya Allah, lumpuhkanlah ingatanku, hilangkan ingatanku, dan hapuskan semua tentangnya dari memori ingatanku. Sebab, aku benar-benar ingin melupakannya.
Aku menangis sejadi-jadinya siang itu. Hingga aku tak sanggup melangkahkan kakiku keluar dari kamar untuk kembali menyaksikan pesta pernikahan mama.
Di malam harinya, aku bersama keluarga baruku sedang makan malam. Perutku terasa lapar malam ini, tetapi nafsu makanku tiba-tiba menghilang saat melihat Kak Rozaq.
“Dila sayang, kamu sudah kenal dengan kakak barumu?” Mama menanyaiku, dengan malas dan mimik wajah agak kesal, akupun menjawab,
“Sudah kok ma, tadi siang kita sudah berkenalan.” Aku menundukkan wajahku.
“Oh iya Dil, tadi siang mama kok gak melihatmu.”
“Ya, mungkin karena ada banyak orang kali Ma, jadi akunya gak kelihatan.” Mama mengangguk. Semenjak pernikahan ayah dan mama, entah mengapa diriku berubah menjadi wanita yang tomboy, suka keluar rumah, dan selalu pulang larut malam. Hingga mama sering marah dan menghukumku.
Sore itu, aku duduk di ayunan yang terletak di samping rumah. Tiba-tiba Kak Rozaq mendekatiku.
“Dek Dila, boleh kakak duduk di sampingmu?”
“Silahkan saja, Kak. Tumben kakak mau duduk di dekatku.” Aku memandang sinis Kak Rozaq.
“Dek, apa yang terjadi padamu?”
“Tidak ada something wrong yang terjadi denganku, Kak.”
“Dek, kamu nyadar gak kalau sikap kamu itu berubah drastis. Dila yang kakak kenal dulu tidak seperti Dila yang sekarang.”
“Dila sadar akan hal itu, dan kakak harus tahu, Dila tetep Dila, dulu ya dulu dan sekarang ya sekarang. It’s me, Kak Rozaq.”
“Sesuatu telah terjadi padamu, Dek. Kamu dulu begitu perhatian dengan kakak, menyayangi kakak, dan kamu juga baik banget dengan kakak, tapi sekarang kamu berubah.”
“Kak, dulu dan sekarang sudah berbeda. Dulu Dila bisa berharap kelak kakak akan menjadi imamku, tapi sekarang hal itu sudah tidak akan mungkin dan tidak akan pernah terjadi.” Kak Rozaq diam, dia merunduk dan tak berani menatap mataku.
“Kak, selama ini aku merasa tertekan. Dengan kakak tinggal satu atap denganku, aku semakin tak bisa memungkiri kalau aku masih sangat mencintai kakak, dan aku semakin tak bisa melupakan kakak.” Air mata menetes begitu deras dari mataku.
“Aku tahu itu, Dek. Asal kamu juga tahu, kalau sampai sekarangpun kakak masih mencintaimu dan tak bisa melupakanmu. Seberapapun usaha yang telah kakak lakukan, hasilnya tetep NIHIL. Tapi, kita harus sadar dek, kita gak akan pernah bersatu, karena takdir kita hanya sebagai kakak adik.”
“Kak, dengan kakak berbicara masalah takdir, itu menunjukkan kalau kakak sudah berputus asa. Sebenarnya kakak masih sayang gak sih sama Dila?” Aku duduk membelakangi Kak Rozaq, air mataku tak mau berhenti mengalir.
“Bukan maksud kakak berputus asa Dek, tapi pada kenyataannya memang sudah begitu, dan kakak masih sangat menyayangi adek.”
“Sudahlah, Dila capek ngomong sama kakak terus, karena ujung-ujungnya pasti seperti ini.” Aku lari memasuki rumah tanpa memperdulikan panggilan Kak Rozaq.
“Dek Dila, Dek…, ahhh” teriak Kak Rozaq.
Di pagi harinya, aku, ayah, mama dan juga Kak Rozaq sedang sarapan pagi bersama. Saat sedang enaknya melahap nasi goreng buatan mama, tiba-tiba ayah angkat bicara.
“Dila, Rozaq, kok tumben-tumbenan kalian diem kaya gini?” Aku dan Kak Rozaq tersenyum.
“Iya, biasanya kalian juga sudah ngomong ngalur ngidul gak karuan.” Timpal mama.
“Kalian tidak sedang berantem kan?” Tanya ayah.
“Gak kok yah, Dila dan Kak Rozaq gak lagi berantem. Hanya saja Dila males untuk bicara hari ini. Lagi badmood.”
“Syukurlah kalau kalian memang tidak berantem, mama lega mendengarnya.”
“Ayah, mama, kakak, Dila ke kamar dulu ya. Dila merasa lagi gak enak badan hari ini.” Dengan cepat aku masuk ke kamar, aku mengambil boneka beruang berwarna coklat pemberian Kak Rozaq. Aku mendekap boneka beruang itu erat-erat dan tak terasa butiran air hangat keluar dari kelopak mataku.
Aku sungguh tak tega merusak kebahagiaan mama, tapi aku juga tak bisa memungkiri kalau aku masih mencintai Kak Rozaq. Apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus meninggalkan rumah ini, mungkin memang ini satu-satunya cara agar aku bisa melupakan Kak Rozaq, batinku. Dengan segera aku mengemasi sebagian baju ke dalam koper. Kubuka jendela kamarku, aku menoleh ke arah kanan dan kiri, tak ada seorangpun. Dengan cepat aku berlari dan meninggalkan rumah yang telah membesarkanku ini. Aku tak lupa menaruh sebuah surat di atas meja belajarku.

Mama, ayah, Kak Rozaq, Dila minta maaf karena selama ini telah merepotkan kalian. Dila terpaksa pergi dari rumah, karena Dila sudah tidak kuat lagi tinggal seatap dengan seseorang yang Dila cintai. Dila sudah berusaha keras untuk menghapus perasaan ini, tapi Dila tak mampu. Semakin lama Dila menatap wajah Kak Rozaq, hati Dila serasa tersayat-sayat. Sebab, pada kenyataannya Dila dan Kak Rozaq tidak akan pernah bisa bersatu. Mama, tolong maafkan putrimu ini. Putrimu tak mau merusak senyum yang selama ini telah mengembang. Dila tak ingin merusak kebahagiaan mama dan ayah. Tolong jangan cari Dila, Ma. Ijinkan Dila pergi dalam waktu yang agak lama. Pada saatnya nanti, Dila akan kembali pulang. Itupun kalau Dila sudah bisa melupakan Kak Rozaq untuk selama-lamanya, dan ketika Dila sudah mendapat pengganti Kak Rozaq. Kak Rozaq, maafkan aku. Perasaanku padamu terlalu besar, hingga aku tak tahu harus berbuat apalagi untuk dapat melupakanmu. Melupakan semua kenangan yang pernah Kakak hadirkan dalam hidupku. Dulu, hidupku terlalu indah dengan semua perhatian yang Kakak beri. Tapi sekarang perhatian itu justru membuat hatiku hancur berkeping-keping. Kak Rozaq, tolong jangan pernah berniat untuk mencariku. Carilah orang lain yang dapat dan mampu membahagiakanmu. Semoga kalian di sana baik-baik saja. Dila pasti akan sangat merindukan kalian, karena Dila sangat menyayangi kalian. Selamat tinggal keluargaku tercinta!!’
Aku menangis sepanjang jalan, menyesali semua perbuatan yang aku lakukan. Aku tahu, mama pasti akan sedih menerima keputusanku untuk pergi dari rumah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan mama setelah kepergianku. Inilah akhir kisah cintaku. Takdir Tuhan terkadang memang pahit, hanya orang-orang tertentu yang mampu dan kuat menjalaninya. Dalam hati, kupanjatkan doa kepada Sang Ilahi Rabbi, agar aku kuat dan mampu menjalani kehidupan yang akan aku tatap di masa depan. Tentunya jika Tuhan mengijinkanku berumur panjang.

Mutiara dari PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang