6. Moon Godest

2.6K 434 8
                                    

Sabrina merasakan disorientasi tempat ketika dirinya terbangun kemudian. Jendela yang terbuka menampakkan langit malam. Korden berwarna putih dengan ornamen bunga bakung yang sangat Sabrina kenali membuatnya merasa pulang ke rumah. Bahkan tempat tidur, nakas di samping tempat tidur, lampu gantung, dan ornamen-ornamennya membuatnya merasa pulang ke rumah.

Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Jika saja ia keluar, membuka pintu dan berjalan ke arah dapur atau ruang keluarga... Apakah dirinya akan melihat ibunya yang sedang bergelut dengan masakan dan ayahnya yang sedang menonton pertandingan football?

Ia kembali tersenyum. Merasa bahwa dirinya sedang berada di mimpi dan tidak ingin terbangun.

Memberanikan dirinya, ia akhirnya melangkah turun. Merasakan tekstur keramik di kamarnya yang terdapat goresan akibat kecerobohannya dulu. Mulutnya membulat takjub.

Mimpi yang sempurna, pikirnya.

Kemudian, ketika ia membuka pintu kamarnya, bau ayam kalkun yang seolah keluar dari oven menguar. Bau mentega dari roti panggang ikut tercampur. Dan suara sayup-sayup televisi yang menampilkan komentator American Football terdengar. Matanya semakin membelalak. Senyum lebar merekah di wajahnya dan dengan tergesa, ia berlari menyusuri lorong. Sampai di mana ruang keluarga dengan televisi besar yang sama, sedang menayangkan American Football. Bedanya, tidak ada ayahnya yang sedang duduk di sofa di depannya.

Bahu Sabrina terkulai lemas. Kali ini berjalan menuju dapur. Berharap bahwa orang tuanya akan berada di sana ketika lagi-lagi bukan mereka yang ia temui.

"Kau sudah bangun?" tanya Matt sembari memotong kalkun tersebut. Ketika tidak lama kemudian ia selesai, Matt menyingkirkan benda-benda tajam lainnya. Melepas apron dan sarung tangan sebelum merengkuh tubuh mungil Sabrina ke dalam pelukannya.

"Tidurmu nyenyak?" tanyanya lembut sambil menghidu aroma yang menguar dari rambut Sabrina. Aroma matenya.

Matt bisa merasakan kekakuan Sabrina yang kemudian melunak dalam pelukannya. Untungnya, Sabrina tidak menolak dorongan alami untuk bersentuhan dengan Matt. Dan hal ini sudah lebih dari cukup untuk sekarang.

Isakan kecil lalu terdengar dari mulut Sabrina. Membuat tubuh Matt membeku dan ia menarik diri untuk melihat lebih jelas wajah Sabrinya.

"Mengapa kau menangis?"

Sabrina menggelengkan kepalanya dengan kuat. Sementara air mata tidak kunjung berhenti mengalir dari matanya.

"Hey... Katakan kepadaku. Mengapa kau menangis, baby?" bisik Matt lembut sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Aku... aku tidak bermimpi. Aku berada di rumahku... Dan kau... Dan paman Jack yang saat ini terluka..." katanya pada akhirnya. "Semua ini salahku, bukan? Semua ini karena aku adalah pembawa sial..."

"Tidak, baby. Kau bukan pembawa sial," tegas Matt sambil merangkum wajah Sabrina. Menatap lurus ke netranya dengan keyakinan nyata.

"Kau adalah anugrah, baby. Mungkin kau tidak akan percaya, tetapi kau adalah alasanku untuk hidup. Alasanku datang ke sini. Alasanku sehingga sanggup bernapas sampai saat ini."

Mata Sabrina membelalak. Lebih karena kaget dibandingkan rasa takut jika saja pria di depannya adalah seorang psikopat gila. Karena seorang psikopat gila, tidak akan membuatnya senyaman ini. Membuatnya merasa seolah ia pulang ke rumah.

"Kau adalah The Other Half. Seseorang yang menjadi takdirku. Mereka menyebutnya Mate, atau bahkan Soulmate. Tetapi bagiku, kau lebih dari itu. Kau adalah sebagian diriku yang lain, yang tanpanya aku tak kan terasa hidup." Kata-kata Matt yang mengalir dengan keyakinan lagi-lagi membuat Sabrina kebingungan.

"Baby, kau akan mengerti semuanya di masa depan. Aku berjanji kepadamu. Hanya saja, jangan menangis lagi. Please, don't!" tambah Matt dengan suara yang terdengar begitu merana. Karena itu adalah faktanya. Melihat Sabrina menangis dan menyalahkan diri membuatnya sama terlukanya, atau bahkan lebih terluka dari Sabrina.

"A-aku..." ucap Sabrina terbata. Ia tidak tahu apa yang harus dirinya katakan. Dan ketika ia berhenti mencoba beberapa lama setelahnya, ia mendengar suara seperti benda berat yang dijatuhkan.

Matt menggeram. Tatapannya bercampur antara kemarahan dan kekhawatiran ke arah hutan di belakang rumahnya dan ke arah Sabrina.

"Baby, aku membutuhkanmu untuk di sini dan makan," katanya dengan sedikit tidak sabar. "Kumohon, makanlah dan sebelum kau selesai, aku berjanji bahwa akan berada di sini. Menjawab semua pertanyaan yang ada di kepala cantikmu. Hanya saja, tolong turuti kata-kataku, please?"

Sabrina mengerjap. Hanya bisa mengangguk sebelum Matt memberikan ciuman panjang di keningnya dan bergegas ke luar. Sementara dirinya berusaha menggapai kursi. Duduk dan menyentuh keningnya. Tempat di mana beberapa saat lalu bibir lembut dan hangat milik Matt menyentuhnya.

Kemudian ia menyentuh bagian dada kirinya. Tempat jantungnya bermukim dan kini sedang berdetak dengan gila-gilaan. Setelah pikiran rasionalnya kembali, ia merasakan rasa panas menjalari wajahnya karena malu.

Ya Tuhan... Apa yang baru saja Matt lakukan dan katakan kepadanya.

Astaga astaga astaga!

Sabrina dengan cepat menyambar segelas air mineral. Menegaknya habis dan dengan telapak tangannya, mengipas wajahnya yang masih terasa panas. Tetapi tidak urung, bahwa sikap Sabrina yang patuh dan tidak menolak segala perhatian dan perlakuan Matt membuatnya kaget. Seolah melakukan hal tersebut adalah hal teralami yang pernah ia lakukan sepanjang eksitensinya.

Bau ayam kalkun yang harum lalu menyerbu indranya. Menyadarkannya jika saja perutnya berbunyi dan memprotes untuk diisi.

Dan...

Ia meringis. Rasa-rasanya dirinya tidak akan sanggup memakan apapun. Setidaknya sampai ia tahu bagaimana keadaan Jack saat ini. Dengan darah yang mengucur hebat dari perut Jack, hal terakhir yang Sabrina inginkan adalah kehilangan lagi seseorang yang berarti baginya.

Ia lalu melihat ponsel Matt yang berkedip di atas meja makan. Mengambilnya dan dengan nekat, menekan nomor satu-satunya rumah sakit di kota itu. Satu-satunya tempat yang Sabrina yakin, menampung keberadaan Jack.

"Ya Matt. Jika kau bertanya keadaan Jack, aku telah bersumpah untuk melakukan yang terbaik untuknya. Dan itulah yang kulakukan," perkataan seseorang di ujung telepon membuat kening Sabrina mengernyit. Seharusnya teleponnya terhubung ke bagian receptionist dan ia harus melalui beberapa tahapan jika ingin mengetahui keadaan Jack. Tetapi...

"Saat ini kondisinya stabil dan kami membuatnya tidak sadarkan diri untuk proses pemulihannya. Kau harus berterimakasih kepada Moon Godest karena berkat ini, Matt," kekeh suara di ujung telepon lagi.

"Hallo, Matt? Apa kau menutup teleponnya?"

Bibir Sabrina menutup dan membuka tanpa suara. Apa yang pria di ujung telepon ungkapkan, memberikan beberapa fakta untuk Sabrina.

Pertama, keadaan Jack baik-baik saja dan ia harus bersyukiur karenanya.

Kedua, jelas bahwa Matt bukanlah orang yang biasa-biasa saja.

Dan ketiga... Sabrina menelan ludahnya susah payah. Memutar kembali cerita lawas dari kedua orang tuanya dan juga cerita yang pernah Jack ungkapkan kepadanya. Mengenai werewolf yang bergantung kepada Moon Godest. Dan jika dugaannya benar, entah bagaimana, Matt memiliki hubungan dengan werewolf.

***


The Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang