11. Terima Kasih

2.3K 362 29
                                    

Sabrina terbangun dengan perasaan yang ringan. Merasa tubuhnya sangat segar yang sudah sangat lama tidak ia rasakan. Dia meregangkan tubuhnya. Menguap dengan lebar sembari menelusup lagi ke dalam selimut yang membungkusnya. Selimut hangat yang lembut yang mengingatkannya kepada rumahnya.

Ia masih meresapi perasaan seperti pulang ke rumahnya untuk beberapa saat sebelum pikiran warasnya akhirnya mengungkapkan bahwa saat ini dirinya memang berada di kamar rumahnya yang dulu. Sabrina segera membuka matanya. Bangkit dan dengan cepat duduk. Mengerjap-ngerjap dan melihat perabotan di kamarnya yang tidak berubah seinci pun.

Dirinya kemudian menoleh ke arah sampingnya. Mengingat bahwa semalam...

Wajah Sabrina dengan cepat terasa panas. Oh Tuhan... Apakah dengan tidur bersama pria dewasa telah membuatnya menjadi wanita nakal?

Namun Sabrina tidak memungkiri bahwa tidurnya sangat nyenyak daripada tahun-tahun belakangan ini. Ia juga merasa dilindungi, dicintai, disayangi, dan segala hal yang ia inginkan selama ini.

Sabrina merangkum wajahnya. Mengambil bantal dan berteriak kegirangan dengan perhatian dari pria seperti Mattheo.

"Semoga ini bukan mimpi semoga ini bukan mimpi semoga ini bukan mimpi," katanya berulang-ulang.

Kata-kata Mattheo yang mengatakan mengenai belahan jiwa, soulmate, mate, dan the other half pun berputar di kepalanya dan semakin membuat Sabrina kegirangan.

Tidak, dia tidak khawatir mengenai apapun jati diri Matt yang sebenarnya. Ketidakwarasan yang begitu indah di antara kewarasan yang begitu menyakitkan tampak lebih menggiurkan. Sabrina lelah sendirian. Dia lelah ketakutan dan merasa tidak bahagia. Jadi, ketika Matt berkata bahwa kebahagiaan Sabrina adalah prioritasnya, maka apalagi yang harus Sabrina ragukan?

Ia lalu segera bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah kamar mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Dia masihlah seorang pelajar, setidaknya sampai dua bulan lagi dan ujiannya telah selesai, Sabrina akah segera meminta Matt mengajaknya menjelajah.

Dua puluh menit kemudian, Sabrina telah selesai mandi dan pikirannya segera mendapati kebingungan atas pakaian yang harus ia kenakan. ia lalu mencoba peruntungannya, membuka lemari bajunya dan seketika pula matanya membelalak karena menemukan kemeja dan celana yang sesuai dengan ukurannya. Beberapa gaun tergantung cantik. Bahkan pakaian dalam tersedia di sana yang langsung membuat Sabrina merona malu. Ya ampun...

Tanpa berlama-lama, ia pun memakai kemeja berwarna biru tua dengan jeans hijam. Rambutnya ia ikat membentuk ekor kuda.

Ia lalu segera turun dan mencium aroma wangi makanan yang membuat air liurnya terbit.

"Kau sudah bangun?" tanya Matt yang berada di belakang konter dapur. Sabrina mendekatinya dan duduk di depan meja konter. Mengucapkan terima kasih ketika Matt memberikan jus jeruk kepadanya.

"Sarapan akan segera siap, oke?" ujarnya dengan mengulas senyum untuk Sabrina.

"Kau bisa membangunkanku dan memintaku memasak. Bukankah seharusnya aku yang melakukannya?"

"Aku yang menginginkannya demikian. Mengapa kau berpikir kau harus memasak?"

Sabrina mengendikkan bahunya. Mengucapkan terima kasih ketika Matt mengulurkan sepiring English Breakfast kepadanya.

"Karena aku menumpang tinggal di rumahmu."

Gerakan tangan Matt yang sedang memotong telur mata sapi miliknya terhenti. Dia menatap Sabrina dengan kesal.

"Semua yang kumiliki adalah milikmu, Sabi. Rumah ini adalah milikmu. Tidak ada alasan mengapa kau harus merasa tidak enak untuk tinggal di sini."

"Aku tahu. Kau sudah mengulangnya semalaman," ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya. "Aku hanya merasa ingin melakukan sesuatu. Setidaknya sedikit pekerjaan bisa membuatku merasa berguna karena toko Paman Jack sepertinya lama baru bisa beroperasi maka-"

"Kau tidak akan kembali bekerja di tempat itu Sabi."

"Oh?" tanyanya bingung.

"Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu, Sabi."

Sabrina merengut. "Mengapa aku jadi terlihat seperti simpananmu sih!"

Matt menyipitkan matanya sebelum tertawa. "Dari mana pemikiran mengenai simpanan itu? Kau bahkan lebih dari itu. Kau tahu bahwa kau adalah-"

"The other half," sambung Sabrina cepat. "Ya aku tahu. Tetapi kau tampak tidak menginginkanku?"

"Dan darimana pemikiran itu datang?"

Sabrina mengendikkan bahunya lagi. "Karena kau belum menciumku lagi," gumamnya lirih namun untuk Matt yang memiliki pendengaran manusia serigala, tentunya itu cukup jelas seolah Sabrina mengatakannya dengan pelantang suara.

Mulut Matt terbuka dan menutup dengan cepat. Dia menyugar rambutnya sebelum tergelak. Ya ampun, bagaimana Sabrina bisa berpikiran seperti itu padahal yang diinginkanya sejak semalam adalah meleburkan tubuh mereka menjadi satu?

Namun Matt mati-matian menahannya karena Sabrina belum siap untuk itu. Karena itu pula Matt mati-matian menahan dirinya untuk tidak menciumnya alih-alih apa yang dirinya lakukan adalah memeluk gadis ini semalaman.

"Kau ingin aku menciummu?"

Bibir Sabrina mencebik. "Apakah aku kurang memenuhi kualifikasi untuk membuatmu tertarik?"

"Mengapa kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan?"

"Hanya jawab saja Matt," dengkus Sabrina. "Aku memang tidak cantik apalagi seksi. Kau bahkan mengatakan bahwa tidak ada yang bisa kubanggakan dengan tubuh kurusku."

"Aku mengatakannya?"

Sabrina mengangguk. "Ya, dengan teramat jelas."

Matt lalu berpose dengan lengan yang menopang dagunya. "Hmm. Mungkin itu benar. Kau harus memiliki tubuh lebih berisi daripada saat ini dan aku akan menciummu," gurau Matt meski sebenarnya ini jugalah upaya agar Matt bisa menahan dirinya.

"Naikkan berat badanmu dan mungkin saja aku akan tertarik menciummu," tambahnya.

"Berapa lama?"

"Itu tergantung kau, bukan?"

Bibir Sabrina mengerucut lucu. Membuat Matt ingin sekali menggulumnya.

"Baiklah!" ucap Sabrina sebelum dengan cepat dia menghabiskan sarapannya. Kemudian dia membuka kulkas dan meminum satu gelas susu segar yang ia ambil dari dalamnya.

"Aku berangkat," katanya cepat dan kemudian gerakannya terhenti ketika menyadari bahwa pintu samping rumahnya sudah berubah normal seperti sedia kala. Seolah pertarungan semalam tidaklah nyata.

"Para serigala itu memperbaikinya sebelum mereka pergi," jawab Matt seolah membaca pikiran Sabrina.

Sabrina mengangguk. Berbalik dan tersenyum kepada Matt. "Aku hanya tiba-tiba khawatir bahwa apa yang terjadi semalam adalah mimpi belaka. Dan pada akhirnya, kau yang mengatakan bahwa aku adalah separuh dirimu adalah sebuah kebohongan," ujarnya sedih.

Matt mengepalkan tangannya. Ingin sekali merengkuh tubuh Sabrina dan melumat bibirnya. Jika perlu, Matt akan menandai Sabrina detik ini juga sehingga Sabrina tidak perlu merasakan ketakutan bahwa semua itu hanyalah ilusi.

Tahan dirimu, Matt. Kau harus melakukannya di waktu yang tepat.

Aku tahu, Max.

"Itu nyata, Sabi," ujar Matt pelan. Ia lalu melangkah mendekati gadis itu. Mengusap wajahnya pelan dan mencium keningnya. "Kau harus percaya bahwa segala hal yang kulakukan adalah untukmu. Hanya untukmu, Sweetheart."

Sabrina mengangguk. Menutup matanya dan meresapi kehangatan telapak tangan Matt yang merengkuh wajahnya.

"Terima kasih karena kau telah datang, Matt."

Matt tersenyum. Mengangkat dagu Sabrina hingga mata mereka saling menatap. "Terima kasih karena kau sudah terlahir, Sabi...."

***

The Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang