14. Pergi

1.4K 226 4
                                    

Abigail membuat wajah serius ketika menatap pahatan wajah sempurna milik Mattheo. Memori otaknya sedikit mengingat mengenai pria menakjubkan di depannya yang pernah ia temui ketika kecil. Bukannya rasa iri atau cemburu yang ada di dalam pikiran Abigail saat ini, melainkan perasaan miris karena Sabi-nya harus terjebak dalam kehidupan Mattheo yang ia kira, tidak akan mudah.

"Bisakah kita mendapatkan privasi?" tanya Abigail terus terang. "Kau boleh mendengarnya Sabi. Tetapi aku membutuhkan tempat yang benar-benar aman untuk membicarakannya," jelasnya.

Kening Sabrina masih mengernyit. Tetapi ketika Mattheo merangkul pinggangnya dan mengangguk terhadap Abigail, Sabrina tahu bahwa kabar yang dibawa Abigail mungkin sangatlah rahasia.

"Ikut aku," pinta Mattheo dengan suara dalamnya. Dia membuka pintu mobilnya untuk kedua gadis itu. Melajukannya ke tempat yang bisa ia yakini akan selalu aman. Rumahnya bersama Sabrina saat ini.

"Kau bisa berbicara di sini," tekan Mattheo begitu mereka sudah sedikit nyaman di dalam rumah. Matt berkendara dengan cepat sementara situasi di dalam mobil sangatlah sunyi. Meski pun, Matt sulit sekali menjauhkan tangannya dari Sabrina saat itu.

"Kau harus segera pergi dari sini bersama Sabrina. Mereka membutuhkan bantuanmu," jelas Abigail.

"Peranku sudah selesai. Tidak ada yang bisa memaksaku." Rahang Mattheo mengeras. Membuat Sabrina mengenggam tangannya untuk sedikit meredakan perasaannya. Jika pemikirannya benar, mereka yang dimaksudkan oleh Abigail adalah orang-orang yang sama seperti yang Coleen maksudkan. Makhluk supernatural yang keberadaanya baru Sabrina sadari belakangan ini.

"Mereka sudah menduganya," gumam Abigail seraya menarik napas panjang. Ia lalu melepaskan gelang mutiara yang tadinya berkelip lemah dan kini semakin terang. Seperti kepingan bintang yang bersinar saat malam datang. "Mereka memintaku menyerahkannya kepadamu. Ini..." Abigail berhenti. "Kau tahu apa ini, bukan?"

Mattheo menatap sinis kepada gelang itu. Enggan menyentuhnya karena tahu bahwa itu berasal dari air mata bangsa Siren. Sulit untuk membuat mereka meneteskan air mata, karena itulah gelang itu bisa dibilang terkutuk namun memiliki kekuatan yang luar biasa. Mattheo awalnya tidak menyangka bahwa mereka akan memercayakan gelang itu kepada gadis seperti Abigail. Mereka terlalu percaya diri atau barangkali, naif.

"Terima ini demi Sabi, jika bukan untuk dirimu sendiri," tandas Abigail cepat. Dia telah dijelaskan mengenai penolakan Mattheo yang mungkin akan lebih vokal. Tetapi melihat bagaimana pria itu yang seperti satelit untuk Sabrina, tidak ada yang akan memungkiri bahwa mereka adalah belahan jiwa untuk satu sama lain.

"Apakah ada yang mau menjelaskan sesuatu?" tanya Sabrina memecah keheningan. "Ke mana kami harus pergi? Dan... Mengapa?"

"Kebangkitan Blackstone bukan isapan jempol belaka. Paling tidak, itulah yang kaum Siren yakini. Beberapa kaum Siren memiliki kemampuan melihat masa depan, dan... Yah, kau memang harus ikut ke mana dia membawamu, kan?"

"Tetapi kau bilang-" Sabrina berhenti berucap. Menatap Mattheo yang tampak menegang di sampingnya. Apa yang Abigail ucapkan sepertinya sebuah fakta. Dan hal lainnya yang mendukung pernyataan itu adalah bahwa Coleen David juga tidak kunjung kembali.

"Aku akan membawa orang tuaku pergi, Sabi. Di sini tidak lagi aman untuk kami," jelas Abigail lagi. "Kepulanganku kali ini untuk membawa mereka. Dan jika saja kau belum ditemukan oleh dia, aku juga berniat untuk membawamu."

Pelukan di pinggang Sabrina mengerat. Mattheo tampak enggan menjawab. Hanyut dalam pemikirannya sendiri namun tetap memegang Sabrina seperti dia adalah satu-satunya yang membuatnya kuat.

"Apakah," Sabrina menelan ludah susah payah. "Apakah kita bisa kembali bertemu?"

Abigail tersenyum miris. "Kau tahu aku menyayangimu. Tetapi, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku akan senang bertemu denganmu lagi. Ibuku tidak akan bisa bertahan dengan segala hal tentang dunia lain itu. Maafkan aku Sabi, tetapi itulah yang kupikirkan."

Jawaban yang jujur darinya. Kepribadian itu memang milik Abigail. Meskipun pahit, tetapi Sabrina beruntung karena dia bisa mendengar kejujuran itu darinya. Dan dia, bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Abigail dengan cara yang benar.

"Kupikir sudah saatnya untukku pergi. Bolehkah aku pergi saat ini?" tanyanya lagi.

Sabrina segera beranjak. Memeluk Abigail dengan erat dan berusaha menyalurkan rasa terima kasihnya untuknya. Setidaknya, Sabi benar-benar menyayanginya dan ia yakun begitu pula dengan Abigail.

"Aku menyayangimu."

Abigail mengangguk. Mengusap pipi Sabrina dengan lembut. "Aku pun sama. Kuharap kau kuat, Sabi," pesannya sebelum sebuah mobil dengan Mrs. Glover di dalamnya berhenti di depan rumah Sabi. Seolah sudah bersiap untuk membawa pergi Abigail dari kehidupan Sabrina. Di belakang mereka, Jack Glover duduk dengan tenang. Menatap sendu kepada Sabrina yang sudah dia anggap seperti putrinya sendiri. Setidaknya, bersama dengan Mattheo, dirinya tahu bahwa Sabrina akan selalu dijaga. Perannya dalam kehidupan gadis itu sudah selesai. Saatnya dirinya menikmati kehidupan tenang di suatu tempat yang baru.

Abigail memeluk Sabrina sekali lagi. Tersenyum tipis dan melangkah meninggalkannya. Mengambil tempat di samping sang ibu dan mulai berlalu.

Jack Glover melambaikan tangannya. Tersenyum tipis kepadanya dari balik kaca mobilnya. Ikut pergi bahkan tanpa memberikan pelukan akhir untuk Sabrina.

Itu terlihat kejam bagi siapa pun yang melihatnya. Tetapi tindakan keluarga Glover perlu dilakukan. Atau, musuh-musuh Mattheo akan menggunakan mereka untuk melemahkan Sabrina dan juga dirinya.

"Maukah kau berjanji sesuatu, Matt?" tanya Sabrina sembari menggigit bibirnya. Dia memeluk Mattheo erat. Membutuhkan kehangatannya.

"Apapun itu, My Love."

"Jangan pernah meninggalkanku. Hanya kau yang kumiliki saat ini," gumamnya di dekapan Mattheo.

***

The Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang