Jogja, kota sibuk yang tidak melupakan adatnya. Jogja, selalu ramai oleh renyahnya kalimat-kalimat bebagi, bercerita tentang ini-itu tanpa ingat waktu. Dia selalu ingin menulis puisi di setiap sudut daerah istimewa ini dengan tetes-tetes darah yang menetes pedih tanpa luka. Tapi sayangnya ia tahu betul kalau ia sama sekali bukan orang yang pandai berpuisi. Kaos oblong berwarna merah dan tato-tato di lengannya tidak menunjukan kalau ia cukup berhati baik untuk bisa menulis kata-kata sehebat Willibrordus Surendra Broto atau yang lebih dikenal dengan nama W.S.Rendra.
Namanya adalah Kumanggala Adjie, orang-orang memanggilnya Kuma. Lahir di Bandung tahun 1982, tinggal di Jogja sejak tiga tahun lalu, dan sekarang sudah tahun 2002. Dia ingat alasan orang tuanya membawanya pindah ke kota asal ayahnya ini, tetapi ia sama sekali tidak suka dengan alasan itu. Pergaulan, masalah klise pada masanya. Laki-laki bertubuh tinggi itu masih ingat betapa kerennya menjadi anggota geng motor disana. Motor keren dengan pakaian amburadul yang tetap membuatnya terlihat tampan. Dia adalah seorang anak muda berambut sebawah bahu yang suka bercengkrama di dekat Tugu Jogja. Sayangnya untuk pria dewasa berambut gondrong, rambutnya itu terlalu lembut, membuatnya teman-temannya sering menyebutnya sebagai Dian Sastro. Rasanya ingin sekali melempar puntung rokok yang masih menyala ke arah mereka, tetapi tidak sekali pun ia lakukan.
Kartu domino terbanting dari ketinggian delapan puluh sentimeter. Sepuluh ronde sudah berlalu dan tidak satu pun kemenangan berminat ingin menjalin persahabatan dengan Kuma. Pria berusia dua puluh tahun itu berdiri kemudian melompat-lompat kesal di trotoar sekitar wilayah nol kilometer. Kuma melempar puntung rokoknya ke arah mendungnya langit malam yang semakin merundung seakan sedang turut berbela sungkawa atas kepayahannya.
"Udahlah bro, terima aja," seorang teman bernama Bayu menepuk bahu Kuma.
"Tangan gue enggak bauk," Kuma mendekatkan kedua telapak tangannya ke arah hidung. "Tapi kenapa enggak menang sekalipun?!"
"Takdir." pungkas Bayu yang langsung menarik lengan Kuma kemudian menepuk dahi temannya itu.
"Lihat ya, besok gue yang bakal menang." Kuma melengos kesal.
"Besok? Jadi udahan nih?" Tanya Yogi yang masih duduk di trotoar.
"Duit gue habis lah kalian palak terus." Kuma mengusap rambut gondrongnya.
"Cabut yuk." Bayu menepuk bahu Kuma. "Duluan ya." Kemudian mengayunkan tangan di depan wajah teman-temannya.
Honda CB yang mengangkut Kuma dan Bayu itu berjalan lambat ke sebuah jalan kecil di dekat Jalan Malioboro. Malam itu suasana Jogja sudah mulai sepi tetapi di sebuah gang tampak keramaian diam-diam sedang terjadi. Mata hitam bulat Kuma menyapu setiap sudut kota yang mulai tidak bisa ia kenali, asing, belum pernah ia lewati. Bibir Bayu bergerak-gerak seperti sedang menyanyikan sebuah lagu asal-asalan sambil terus mengemudi dengan santai.
"Ini kita mau kemana?" Kuma memegang kedua bahu orang yang telah berteman dengannya selama dua tahun.
"Kita bakal enak-enakan disini. Surga duniaaa." Jawab Bayu dengan nada melengking yang tidak pernah Kuma dengar sebelumnya.
"Enak-enakan? Maksudnya?"
"Ntar juga tahu sendiri, ini lebih dari sekedar ajeb-ajeb."
Motor tua itu berhenti di depan sebuah pintu sempit dengan lampu yang berkedap-kedip membentuk sebuah kata di atasnya. Mata Kuma menyapu lingkungan sebuah gang yang belum pernah ia datangi, mencoba mengenali orang-orang yang tampak berseliweran di jalan itu, beberapa adalah orang yang biasa berkumpul dengan teman-temannya. Beberapa perempuan dengan pakaian tipis tampak sesekali keluar masuk pintu penuh tempelan stiker tidak beraturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis.
General FictionKuma adalah laki-laki berantakan sedangkan Mikha adalah gadis feminim yang tidak pernah mendapat cinta orang tuanya. Keduanya dipertemukan di sebuah bangunan tua, sama-sama ingin mengakhiri hidupnya. Tetapi pertemuan itu tanpa sengaja malah menyelam...