Mikhaila

22 1 0
                                    




"DARI MANA AJA KAMU?!" suara bentakan seorang pria paruh baya menggema di sebuah rumah peninggalan kolonial yang terletak di daerah Kota Baru. Tidak ada jawaban, bibir merah muda itu bungkam berusaha menyembunyikan gemetarnya. "KALAU DITANYA ITU JAWAB MIKHA!" Bentak sang ayah tanpa peduli bahwa apa yang sedang ia lakukan itu menyakiti hati anak perempuannya sendiri.

"Mikha, jawab ayahmu itu! Ibu udah enggak tahu lagi harus gimana ngasih tahu kamu." seorang perempuan berambut sebahu ikut memarahinya.

"LIHAT MIKO! MASMU ITU NYARIIN KAMU MUTER KOMPLEKS! KALAU DIA KENAPA-NAPA GIMANA?! KAMU TAHU SENDIRI-KAN GIMANA KEADAAN MASMU ITU?!" pria bernama Irawan itu menunjuk ke arah anak laki-lakinya yang sedang duduk di sofa sambil memakan kue coklat.

"Aku udah bilang kalau aku dari sekolah yah, bu," bibir Mikha bergetar. "tapi kayaknya apapun yang aku bilang itu bagi kalian cuma omong kosong." matanya mulai basah.

"HALAH! Emang kamu kira orang tua kamu ini bodoh dan enggak tahu jam pulang sekolah itu kapan?"

Mikha diam, rasanya percuma kalau ia melawan. Ia sudah sangat tahan dengan bentakan yang setiap hari seakan sudah disiapkan matang-matang untuknya. Ia tidak ingat lagi kapan terakhir kedua orang tuanya bersikap manis kepadanya. Seolah setiap cacian mereka mengubur kenangan manis yang entah pernah ada atau tidak.

Irawan mengangkat tangannya tinggi-tinggi kemudian mengayunnya ke arah wajah anak perempuannya. Sedetik kemudian Miko bangkit memeluk adiknya, membiarkan sepiring kue coklatnya jatuh berhamburan di lantai yang otomatis membuat ibunya semakin geram.

"Jangan pukul Mikha, jangan pukul Mikha, jangan pukul Mikha." Miko yang menderita autis itu tidak menghentikan kalimatnya.

"Mas Miko." Mikha membalas pelukan kakaknya.

Wajah merah padam Irawan berubah nanar ketika melihat kedua anaknya saling berpelukan. Begitu pula dengan Riani, istinya yang langsung pergi ke kamar dengan wajah menyerah. Irawan yang kelelahan karena memang baru pulang dari kantornya jatuh terduduk di sofa ruang tamu. Mikha memandangi ayahnya yang juga melihat ke arahnya. Rasanya ingin sekali menghambur ke dada bidang pria yang sudah memasuki usia setengah abad itu. Rasanya ingin sekali melihat ayahnya datang ke sekolah untuk menjemputnya. Wajah lelah Irawan sangat membuatnya tersiksa, rasanya ia ingin sekali mendekat dan memijat ayahnya tetapi tidak ada keberanian yang mendukungnya. Sosok yang dulu selalu ia sebut sebagai pahlawan super itu telah berubah menjadi manusia asing yang tidak bisa ia dekati lagi.

Mikha melepas pelukan kakaknya, ia berlari kecil meninggalkan ruang tamu yang mulai kehilangan aura panasnya. Gadis bermata sayu itu menutup pintu kamarnya, satu-satunya tempat di rumah tua ini yang mengizinkannya merasa berada di rumah. Ia tenggelamkan tubuh kecilnya pada selimut tebal yang lebih tua dari usianya. Pintu kamarnya terbuka pelan-pelan. Miko datang dengan sebuah permen lollipop di tangan kanannya. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu berjalan pelan mendekati ranjang adiknya. Ia merebahkan tubuhnya di samping tubuh Mikha yang terbungkus selimut seperti kepompong.

"Mikhaa Mikhaa Permen." Miko terus mengulang kata-katanya sambil berusaha membangunkan adiknya.

Mikha mengeluarkan wajahnya. Tepat di hadapannya ada seorang laki-laki yang selalu menghabiskan waktu dengannya. Pria sedikit gemuk dengan kulit yang sama cerah dengan kulitnya itu selalu tersenyum ketika melihatnya. Mikha menerima permen dari Miko, ia tahu mas Miko sedang mencoba menghiburnya. Miko tertawa kecil, membuat Mikha tersenyum manis. Gadis delapan belas tahun itu membuka selimutnya. Ia membiarkan kakaknya masuk ke dalam kepompong yang seolah-olah sedang memeluknya, seperti sedang memberi tahunya tentang bagaimana kehangatan sebuah keluarga itu seharusnya ada. Miko adalah satu-satunya cahaya yang bisa ia lihat dalam keluarganya, satu-satunya orang yang tidak akan meneriakinya.

Simbiosis.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang