Manusia Tanpa Tujuan

26 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dinginnya malam di Jogja menyusup diam-diam ke setiap rumah yang sudah mulai ditinggal tidur. Tidak banyak kendaraan berlalu lalang di pukul sepuluh malam. Mikha berlari, sepatu boot coklat setinggi tungkainya menapaki aspal satu per satu. Gaun berenda warna putih yang sedikit mekar terayun di sekitar tungkainya. Langkah kakinya berhenti ketika ia sampai di sebuah bangunan lama yang berada tidak jauh dari keraton. Bangunan besar dengan tembok yang besar warna coklat muda sedikit krem. Ia duduk bersandar di ujung bangunan, menangis tetapi air matanya sudah tidak keluar lagi. Sepertinya cadangan air matanya sudah habis karena selalu dihambur-hamburkans etiap malam. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi beberapa butir obat dari saku jaket wollnya.

"Mas Mikoo."

Saat itu juga Mikha berharap kakaknya ada bersamanya. Satu-satunya orang di rumah yang bisa ia sebut sebagai keluarga. Ia mengeluarkan sebuah ponsel besar dari saku jaketnya. Jemarinya menekan angka-angka yang membentuk nomor rumahnya sendiri, berharap Miko terbangun dan menerima panggilannya. Sedetik kemudian Mikha menyingkirkan wajah Miko dari pikirannya dan langsung memasukan kembali ponsel yang entah milik siapa ke dalam saku jaketnya. Semua ini sudah cukup, ia merasa sudah cukup menderita, tidak ada alasan lagi untuk tetap tinggal di planet yang seakan tidak menerima kelahirannya. Ayah dan ibu yang seakan tidak memiliki anak perempuan benar-benar membuatnya kehausan kasih sayang seperti pohon jati yang kehilangan semua daunnya. Rasanya ingin tahu apa ayah dan ibu akan menangis kepergiannya, apakah mereka akan mencarinya, apakah mereka akan menyesal bila ia pergi menemui kakeknya di alam baka.

"Uhuk-uhuk."

Mikha mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ada suara orang lain di bangunan tua itu. Beberapa kali terdengar langkah kaki dan suara batuk di sudut lain dari bangunan itu. Mikha bangkit perlahan. Tangan kanannya menggenggam botol kecilnya erat, ia tidak pernah merasa sangat ketakutan seperti ini. Ia berjalan pelan mendekati sumber suara. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika saja malam ini bukan bulan purnama, pastilah tempat ini sangat gelap tanpa cahaya sedikit pun. Mikha menyipitkan matanya, berusaha memastikan apa yang sedang ia lihat. Seseorang sedang duduk bersandar di tembok tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia berjalan pelan, sangat berusaha agar langkahnya tidak ketara. Ia mengernyitkan dahinya ketika melihat sepasang kaki bercelana jeans dengan sepatu yang berbeda warna, kaki kiri mengenakan sepatu berwarna abu-abu kebiruan sedangkan kaki kanan mengenakan sepatu berwarna merah. Ia terus mendekat sampai ia bisa melihat pria berambut panjang sedang duduk bersandar sambil melakukan sesuatu dengan alat suntik di lengannya.

"JANGAN!" Mikha jatuh berlutut setelah merampas alat suntik yang jarumnya baru sedetik menembus lengan pria dihadapannya. "Ini narkoba kan?" tanya Mikha yang terus menunduk, tidak berani menatap orang yang bisa langsung membunuhnya. "Tolong jangan rusak badan kamu pakai barang kayak gini." lanjutnya dengan suara bergetar. Ia mengenali cairan beserta wadahnya yang sekarang berada di tangannya, ketika pihak kepolisian melakukan pembinaan di sekolahnya, mereka menunjukan beberapa contoh narkotika.

Simbiosis.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang