Mikha terus memeluk tubuh Kuma yang bersandar di dinding kereta. Berkali-kali ia mengeringkan tetesan air matanya yang jatuh tak terkendali. Menangis tanpa suara karena tidak mau menganggu orang lain dan tidur laki-laki yang terlihat begitu kelelahan. Masih terbayang-bayang olehnya ketika Kuma ambruk kemudian awak kereta berlarian memberi pertolongan pertama. Saat itu rasanya ia kehilangan segala harapan dan keberaniannya, seolah-olah ditinggal tiba-tiba. Aku enggak apa-apa, ucap Kuma setelah terjaga dan berhasil membuat si bapak mau bertukar kursi. Mikha percaya Kuma, tetapi kali ini ia tidak mau percaya.
"Mikhail?" Ucap Kuma ketika mulai membuka matanya kembali.
"Kuma." Mikha membingkai wajah laki-laki yang matanya membengkak karena terlalu lama tidur.
"Kenapa nangis?"
"Aku takut."
"Takut kenapa?"
"Takut kamu kenapa-napa."
Kuma terkekeh. "Aku tadi cuma pura-pura biar bapaknya luluh." Bisiknya agar tidak terdengar oleh penumpang lain. "Eh tapi malah ketiduran beneran." Lanjutnya tanpa terlihat merasa bersalah.
"Iiih." Mikha mencubit perut Kuma kesal. "Aku takuut."
Kuma merengkuh bahu Mikha. "Kamu enggak boleh takut, harus jadi berani."
"Enggak mau."
"Kenapa?"
"Kan kamu udah berani, aku punya kamu."
"Tapi kamu pernah jadi pemberani yang paling keren."
"Kapan?" Mikha menengadahkan kepalanya.
"Waktu kamu rebut narkoba dari aku." Bisik Kuma takut terdengar orang lain. "Siapa lagi coba orang yang berani main-main sama pengguna narkoba." Kuma tersenyum. Senyum manis terbit di wajah sendu Mikha, kemudian ditenggelamkannya senyum itu dalam lengan Kuma.
Setelah sampai di stasiun Banyuwangi, mereka kembali berjalan ke arah pelabuhan yang tidak jauh dari stasiun. Berkali-kali Mikha membenarkan letak tas besarnya yang mulai terasa terlalu berat untuk tubuh lelahnya. Kuma yang menyadari itu langsung memindahkan tas dari punggung Mikha ke depan dadanya, jadilah ia seperti robot dengan punggung dan perut yang besar seperti bola.
Lagi-lagi Mikha terpana melihat penampakan yang baru pertama dilihat dengan mata kepalanya sendiri, kapal Ferry besar yang akan membawanya meninggalkan pulau Jawa. Aku udah jauh banget dari rumah, ia menelan ludahnya sendiri, tiba-tiba merasa tidak percaya diri. Kuma meraih tangan perempuan yang terlihat ketakutan, Mikha menoleh ke arah Kuma dan lagi-lagi laki-laki itu seperti memberi tatapan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tungkai panjang Kuma mulai melangkah ke dalam kapal, Mikha mengekor.
Kapal besar itu pun mulai bergerak, membuat gelombang-gelombang kecil di bibir pelabuhan. Mikha yang sudah berada di bagian atas kapal melihat ke arah pelabuhan yang semakin lama semakin terlihat kecil saja. Entah kekuatan apa yang membuatnya pergi sejauh ini padahal ia tidak pernah meninggalkan kota Jogja sendirian sebelumnya, yang ia tahu ia hanya harus bersama Kuma. Kuma berjalan santai ke sisi yang lain, menyalakan korek api kemudian membakar ujung rokok yang sudah ia jepit di bibirnya, dihembuskannya asap putih yang langsung lenyap dalam gelapnya lautan. Tangannya melayang keluar kapal, menangkap butiran-butiran gerimis yang nyaris tak terlihat. Ia menarik napas panjang lewat hidung kemudian mengeluarkannya pelan-pelan lewat mulut. Rasanya seperti ia adalah seekor burung yang baru saja meninggalkan kurungannya. Tiba-tiba tanpa permisi Mikha merebut rokok dari bibir Kuma kemudian ia lempar jauh-jauh ke laut. Kuma melihat benda putih kecil itu melayang di depan matanya kemudian terapung di air laut yang hanya terlihat hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis.
General FictionKuma adalah laki-laki berantakan sedangkan Mikha adalah gadis feminim yang tidak pernah mendapat cinta orang tuanya. Keduanya dipertemukan di sebuah bangunan tua, sama-sama ingin mengakhiri hidupnya. Tetapi pertemuan itu tanpa sengaja malah menyelam...