“Benteng seperti apa yang kuat menahan serangan kamu?”
Alina membuka pintu kamarnya dengan terubu-buru. Gadis itu melempar tasnya ke sembarang arah lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur yang bisa di bilang sangat empuk itu. Dadanya naik turun dan bernapas tidak normal. Debaran itu masih ada sampai sekarang.
Alin memegangi dadanya dengan kedua tangan setelah itu ia menutup rapat-rapat matanya. Bisa ia rasakan perasaan berdebar yang sering kali menghampirinya.
Kenapa Alin selalu jatuh di tempat yang salah? Di tempat yang nggak seharusnya Alin jatuh. Kenapa Alin jadi seperti ini? Ya Allah.
Masih dalam keadaan terlentang dengan mata yang dipejamkan, tiba-tiba saja bayangan akan perlakuan manis Beckham di kelas tadi pagi muncul dalam benaknya. Dengan cepat gadis itu membuka matanya dan menggeleng. Seperti orang kesetanan, Alin tiba-tiba terduduk dan bersandar di kepala ranjangnya.
Alin terdiam memegangi keningnya. Ini masih menjadi tanda tanya untuknya.
Apa maksud Beckham mencium kening Alin?
Kenapa harus dicium, sih?
Kenapa juga harus aku?
Alin tidak bisa berpikir jernih sekarang. Kenapa akhir-akhir ini bayangan akan Beckham selalu menghantuinya. Tidak lucu kan kalau Alina menyukai Beckham? Ya, tentu saja mereka hanya sahabat.
“Apa aku suka sama Beckham?”
“Enggak! Enggak! Aku nggak boleh suka sama Beckham. Beckham sahabatku, pacarnya Agnes. Aku nggak boleh suka sama dia.” Runtuknya pada diri sendiri.
“Oh Tuhan, kalau aku beneran suka sama Beckham bagaimana?”
“Jadi ini arti berdebar aku selama ini?”
Alin menghela napas panjang, berusaha untuk tetap tenang. Alin takut kehilangan Beckham, sangat takut. Tapi kenapa rasa itu hadir seiring dengan Beckham yang selalu memberinya perhatian-perhatian kecil?
“Nggak! Dia itu perhatian karena kamu sahabatnya. Jangan ngaco, deh!” buru-buru Alin menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.
“Alina!” teriak seseorang dari luar.
“Alina!” teriaknya sekali lagi.
Alin berdecak sembari menyingkirkan selimut yang tengah membungkusi tubuhnya. Tante Silia memang hobby berteriak, Alin mengakuinya.
“Iya, Tante. Ada apa?” sahut Alin yang masih terlentang di atas kasur dengan sedikit berteriak.
“Ada Beckham di bawah, nih. Nyariin kamu, cepetan turun, sayang!” jawab tante Silia yang spontan membuat Alin bangkit dari atas kasur. Ia kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
5 panggilan tak terjawab
Beckham.
Alin membekap mulutnya. Rupanya Beckham menelponnya sedari tadi, tapi Alin tidak mendengarnya. Buru-buru Alin berlari membuka pintu kamarnya kemudian turun ke bawah.
Alin melihat Beckham yang sedang duduk di kursi teras depan dan memutuskan untuk duduk juga di kursi yang berada di samping Beckham.
“Ada apa?” tanya Alin memulai pembicaraan.
Beckham yang mendengar itu langsung menoleh ke sumber suara. “Eh, Alin. Nggak apa-apa kok.” Jawab Beckham.
Alin mengernyit. “Terus kenapa kamu ke sini?” tanyanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Side
Teen FictionThe other side, Ini bukan konflik protagonis dengan antagonis. Tapi ini tentang konflik hati yang tak tahu siapa pemiliknya. Dimana tiga hati terpaut dalam satu rasa. Meski tahu akan berakhir menyakitkan. Ini kisah Beckham Milano Megantara, cowok ya...