Tok...tok...tok
Suara palu terdengar nyaring memecah keheningan ruang sidang. Tidak ada lagi suasana tegang, bahkan air mata...karena air mata Will telah kering, habis sudah selama 1 bulan ini ia keluarkan bertubi-tubi. Tanpa menengok ke arah Roy yang kini disebelah tempat duduknya, Will bangkit menyalami satu-persatu hakim didepan sebagai tanda hormatnya. Ia berlalu di hadapan Roy yang tampak terpukul masih terpaku di tempat duduknya, Will menghampiri mama dan papanya yang tengah menggendong Ken. Will meraih Ken dan menggendongnya, menciumi anaknya seolah mengatakan nak ayo mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Will dan orang tuanya keluar dari tempat sidang.Roy masih terdiam ditempat yang sama sementara perlahan orang-orang mulai berhamburan keluar, dia seorang diri tanpa orang tua yang menemaninya meski orang tuanya masih hidup dengan sehat. Tangan Roy bergetar hebat, ada perasaan mengganjal yang luar biasa, penyesalan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya tiba-tiba memuncak. Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja, dia merunduk dan menerawang jauh mengingat betapa banyak ia menyulitkan Will, menyakiti Will...dan betapa menyesalnya ia meninggalkan Will.
Maafin aku Will
Hanya batinnya yang berani mengatakan itu, ia menyadari akhirnya betapa brengsek dirinya. Roy bangkit dengan tubuh lemas dan bingung, ia keluar dari tempat sidang, ia terperangah ketika ia mendapati Will tengah berada diambang pintu dengan Ken digendongannya.
"Mungkin kamu pengen gendong dulu Ken...karena nanti kita pasti jarang ketemu." Ungkapnya, ucapan Will semakin mengiris prasaan Roy, ia raih Ken yang tampak girang mendapati ayahnya akan memeluknya.
"Pa...papa..." segera Roy menggendong Ken dan memeluknya erat, tak bisa lagi ia sembunyikan rasa duka yang dalam itu, rasa bersalahnya, penyesalanya, Roy menangis sejadi-jadinya, Roy tidak peduli sedang berada dimana dia, dia hanya ingin menangis.
"Maafin papa ya Ken..." bisik Roy sembari sesenggukan. Will tak mengatakan apapun, ekspresinya sudah tak selembut dulu, Will sudah berbeda...dia lebih kuat kini, bahkan tak ada air setetespun yang jatuh dari kedua matanya. Ken yang tak mengerti menatap papanya dan membelai pipinya lembut.
"Papa aangan aangis ya!" Kata Ken yang masih belum lancar berbicara. "Ken mau ulun..." Roy memenuhi permintaan anaknya yang ingin turun dari pelukannya, Ken berlari girang memeluk kakek neneknya yang berada tak jauh dari mereka.
"Aku gak akan batasi pertemuan kamu dengan Ken, kamu bisa dateng kapanpun kamu mau. Aku cukup berterima kasih kamu gak mengklaim hak asuh anak. Aku permisi!" Jelas Will singkat.
"Will... kamu tinggal di rumah kita aja..." Will berbalik. "Maksud aku rumah Ken." Jelas Roy menyatakan rumah yang mereka sempat tinggali saat berumah tangga.
"Terlalu pahit disana... terlalu menyakitkan tinggal ditempat aku ditinggalkan..." jawab Will.
"Please Will biar aku gampang ketemu Ken..." Roy sedikit mendekat, Will menyeringai mendengar betapa entengnya dia mengatakan itu.
"Tidakkah kamu mikirin prasaan aku? Kenapa semua yang aku lakukan itu harus demi kamu..." sentak Will, Roy tampak kesal.
"Ini demi Ken...Ken butuh sosok ayahnya, dia gak akan bahagia Will tanpa sosok aku disana!" Semprot Roy, yah dia memang seperti itu mudah meluap-luap amarahnya dan mudah menyesali apa yang dia ucapkan.
"Kalau kamu emang bener-bener mikirin Ken...kamu gak akan pernah nyakitin dan ninggalin aku. Apa yang terjadi sama hubungan kita adalah salah kamu sendiri! Jangan pernah nuntut apapun dari aku... kamu...akan ngerasain sakit yang aku rasa Roy...lebih!" Will berlalu tanpa mendengarkan apapun lagi dari Roy, ia menggandeng kedua orang tuanya yang penasaran dengan percakapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Love
Romance"kamu tau bahwa mencintai seseorang itu tak perlu syarat...mau kamu berubah jadi siapapun kamu tetap kamu...dan hatiku tetap sama.." "kenapa harus dia?" "itupun menjadi pertanyaanku...kenapa dia memilihku yang begini? aku tidak bisa menilai cinta se...