Siang yang cerah... Ken sudah mulai bisa bermain, ia mulai asik kembali dengan lego-legonya yang ia susun di ranjang rumah sakit. Will melirik ke arah Roy yang tidur lelap di samping ranjang Ken. Semalam tak ada lagi percakapan apapun di antara mereka, dan Ge pulang begitu saja setelah pertemuan singkat mereka yang canggung. Meskipun Ge tak marah, apalagi menggerutu dengan sikap yang di tunjujan Roy tapi tetap saja segala yang terjadi semalam membuat Will tidak enak. Tiba-tiba pintu di ketuk dari luar, papa membawa dua kantung makanan dengan bermacam-macam varian. Will berdiri dan membantu.
"Papa banyak banget beli makanan..." ungkap Will. Papa tersenyum.
"Ini Ge yang anter. Hari ini katanya dia gak bisa kesini lagi karna ada jadwal terbang." Jelas Papa. Will semakin merasa tak enak, dia kembali melirik Roy yang tiba-tiba bangun setelah mendengar percakapan singkatnya dengan papa. Roy berdiri dan mendekati mereka.
"Misi pah saya mau ke toilet dulu." Papa menjawan dengan anggukan dan senyum. Will kembali duduk di tempat semula, papa dengan sigap mengikuti Will dan duduk di sampingnya. Will masih dalam keadaan bingung hingga ekspresi wajahnya tak bisa membohongi siapapun.
"Papa tau Will pasti bingung dengan keadaan ini." Will mengangguk dan menyenderkan kepalanya di bahu papanya yang bidang dan hangat. Yah hanya bahu papalah yang paling nyaman ketika beban menggunung di batinnya. "Tapi menjadi egois juga tidak apa-apa sesekali Will..." air mata Will kembali berderai.
"Hati Will seolah beku pah... Will gak bisa lagi merasakan apapun... melihat Ge, Will hanya senang karena ia bisa sangat mudah akrab dengan Ken... dan melihat Roy hanya karena dia papanya Ken... Will gak merasakan apapun lagi pada mereka, pada laki-laki manapun." Papa membalikan tubuhnya dan memeluk Will erat.
"Papa paham... setelah terluka pasti sulit untuk pulih, tapi Will masih muda, Will harus pulih... Will harus menyembuhkan hati Will segera... dan memilih!" Belaian lembutnya membuat Will nyaman. Ia menyusupkan wajahnya di dada ayahnya yang wangi.
"Apa yang terbaik menurut papa...?" Bisik Will.
"Yang terbaik adalah keputusan kamu sendiri... pendapat papa belum tentu yang terbaik menurut Allah." Jawabnya tenang. Will melepas pelukannya dan menatap papa dengan penuh rasa syukur. "Gak usah buru-buru untuk mengambil keputusan, pelan-pelan sembari mengobati luka... papa yakin ada jalan terbaik untuk Will." Will mengangguk cepat dan memeluk kembali papanya.
Tetap saja sulit untuk mengiyakan ajakan Roy, dia ingin sekali bisa mengatakan IYA, tapi mengapa ragu selalu menghantuinya? Mengapa yang ia rasa hanyalah rasa takut dan rasa trauma? Papa memberi Will senyum hangatnya dan itu tentu saja membuat batin Will kembali kuat. Will bangkit dari tempat duduknya berniat kekuar dari ruangan untuk sekedar mencari udara segar. Namun lagi-lagi Roy tengah berdiri di ambang pintu. Matanya berkaca-kaca seolah ia akan kehilangan Will selamanya.
"Aku masih cinta sama kamu... aku mohon kembalilah..." Will terdiam, Roy merunduk seolah menutupi air matanya di hadapan Will. "Aku berusaha menghindari Ranti Will, aku menyesal selama ini... satu tahun ini berat buat aku." Bisiknya. Will menghela nafas berusaha tenang dan memberi Roy kesempatan untuk menjelaskan. "Maafin aku..." air matanya terjatuh di hadapan Will. "Aku menyesal menyakiti kamu... sungguh!" Roy menghapus air matanya dan kembali menatap Will serius.
"Aku minta waktu Roy... aku harus berfikir, aku harus tenangin dulu prasaan aku." Jawab Will.
"Demi Ken, Will!" Desaknya. Will menggigit bibir sebelah bawahnya, mencoba berfikir keras atas semua pertanyaan Roy yang terus mendesaknya.
"Iya... aku tau... tapi aku takut semua terulang lagi... aku takut akan ada Ranti lainnya di hidup kita nanti... aku takut Ken hidup dalam keluarga yang dingin, yang penuh konflik, yang penuh dengan drama!" Jelas Will, Roy menggeleng cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Love
Romance"kamu tau bahwa mencintai seseorang itu tak perlu syarat...mau kamu berubah jadi siapapun kamu tetap kamu...dan hatiku tetap sama.." "kenapa harus dia?" "itupun menjadi pertanyaanku...kenapa dia memilihku yang begini? aku tidak bisa menilai cinta se...