Richard Alhadi
Hari ini aku pulang ke rumah.
Masih pukul 3 sore memang.
Jadi wajar jika tidak ada yang menyambutku.
Tidak ada teriakan gembira, yang terdengar hanya suara pembersih debu.
Itu pasti bibi Marni.
Ia datang lewat pintu belakang.
Tiga hari sekali rumah ini akan di bersihkan dari debu.
Arina bilang setiap harinya cukup di sapu.
Jika kotor maka di pel.Hanya itu.
Aku menyapa Bi Mar yang sedang membungkuk merapikan majalah.
" Aden sudah pulang? Mau makan apa?"
"Es buah aja bi. Pingin yang seger ini."
"Yah wis, nanti tak sediain di kulkas."
"Ia."
Naik keatas.
Pintu kamar tidak di kunci.
Aku membuka jaket dan menaruhnya di bak kotor.
Berjalan ke ranjang aku menyeringai mendapati pakaian wanita teronggok di kaki ranjang.
Sedari dulu Arina memang tidak bisa rapi.
Lihat saja.
Sekarang pakaiannya berserakan.
Selimut berantakan.
Tirai tidak di buka.
Meja tv berserakan majalah dan kertas sketsa.Aku tersenyum mengambil pakaian tidur Arina.
Jadi ini alasan dia tadi malam hanya mengirimiku foto wajahnya. Tidak dengan tubuhnya.Yang ada di tanganku adalah pakaian tipis warna ungu cerah.
Tidak ada yang lain."Rich! Kapan pulang."
Aku menoleh mendapati Arina bajunya lembab.
Kehujanan mungkin."Rich kalau tidak sibuk tolong temenin Efi di depan. Tadi aku suruh mampir, soalnya deras."
"Tidak ada pelukan selamat datang?"
"Aku basah."
Aku segera memeluk Arina. Jawabannya adalah ia secara tidak langsung.
"Aku kangen."
"Katanya pulang 3 hari lagi."
" Aku mau tidur bareng kamu kalo malam."
"Sejak kapan bisa ber aku kamu."
"Aku belajar sopan sama istri. Sekarang kamu bukan lagi pacar aku. Tapi udah jadi mantan pacar."
"Ya ampun." bersamaan dengan seruan Arina. Tubuhku terdorong ke belakang.
"Rich. Cepet turun. Kasian Efi sendirian."
Kirain apa..
Aku turun ke bawah dengan malas-malasan.
Arina gimana sih, udah tau tamunya wanita masa ia harus suami yang nemenin. Kan gak banget.
Menghampiri bi Marni, aku meminta tolong untuk minuman tamu.
Lalu menghampiri Efi.
Dia sedang menata rambutnya.
Tidak memperhatikan terlalu lama, aku menoleh melihat Arina loncat di tangga.
Umur boleh dewasa, tapi tingkah kayak balita.
"Efi ini kamu ganti baju dulu."
"Gak usah Ar aku pulang aja ya, di jemput mama itu di depan."
Buru-buru Efi meminum coklat panas di mug.
Mungkin ia tergesa karena sudah di jemput.
Aku melotot memperhatikan caranya minum.
Dan aku bersumpah tadi melihatnya menyemburkan minuman panas itu kembali ke mug. Iu...
Emang jorok tu anak. Gak berubah.
----
Selesai mengantar Efi di depan.
Aku pergi ke atas. Mandi.
Tadi aku meminta Arina masak.
Ingin tau sudah sejauh mana kemampuannya.Dengan senang aku melompati anak tangga dengan cepat ingin segera makan.
Menghampiri Arina yang terlihat cantik dengan gaun kuning berendanya.
Memeluk tubuhnya, dan sekilas melumat bibirnya yang lembut.
Tidak mengecewakan, tubuhnya selalu tersentak.
Dia tetap Arina yang sama.
Anti sentuhan.
"Duduklah di meja makan."
"Salah sayang. Seharusnya aku duduk di kursi, bukan di meja."
Tidak sabar, aku segera duduk di kursi, Arina menyodorkan piring berisi omelet sayur.
Aku menyuapnya sedikit.
Takut keracunan.Arina tidak ahli masak dan bi Marni pulang.
Lengkap sudah.
"R, bagaimana rasanya?"
Arina menatapku dengan ekspresi konyolnya.
Aku yang ditanya berpura-pura memikirkan apa rasa dari makanan ini.
Menatap Arina sambil menekuk bibir kebawah tanda kecewa.
"Sangat buruk."
Arina melongo melihatku mengatakan dengan amat perlahan, berbisik, menimbulkan kesan bahwa aku sangat mengejek Arina.Kemudian secara tiba-tiba wajah cantik yang bengong itu berubah emosi dengan cepat.
Mimik mukanya datar. Ia menekan bibirnya elegan, dan berkata sambil memilin rambutnya,
"Aku sudah tau itu.."
Sekarang giliranku yang kesal, merasa dibodohi,
"Kenapa kau membiarkan aku memakan makanan asin dan berminyak ini." ujarku dengan tajam, membuat Arina jengkel,
"Setidaknya kau harus menghiburku dengan mengatakan bahwa makanan ini layak." Ujar Arina kesal.
"Jelas sekali kalau kau adalah korban film romance Ar, aku tidak akan memakan makanan yang membuat perutku sakit. Aku tidak akan menghabiskan makananmu, sekarang buang semuanya dan mari kita pergi untuk mencari makan, aku sangat lelah untuk memasak, dan aku sangat lapar Ok? Jadi jangan membantah."
Arina hanya melirik dengan kesal,
"sebaiknya kau memesan makanan saja, aku tidak mau pergi, lagipula aku belum mandi."Aku hanya berdecak, setelahnya segera mengambil telepon untuk pesan makanan.
Ngapain saja di atas tadi.
Sudah sore belum mandi???
God!
Berilah aku kesabaran dalam memimpin istriku....
-----
