Keesok paginya aku terbangun dengan kakiku yang menyampir di pinggang Rich, yang anehnya lenganku tertekuk di atas kepalaku sendiri.
Lengan Rich ada di perutku.
Saat tersadar aku tidak memakai celana dalam, buru-buru aku menarik kakiku.
Masih pukul enam. Aku pergi ke kamar mandi.
Hotel ini juga menfasilitasi peralatan mandi yang masih baru.........
Tiga puluh menit kemudian, aku sudah ada di dalam mobil menuju pasar.
Saat ini aku berada di tengah-tengah para remaja yang lagi puber.
Disampingku ada Richard. Di jok depan ada Toni yang gendut, dan yang mengemudi mobil adalah Qafiq si tampan playboy.
Rame banget.
Berisik.
Aku hanya bersandar pada bahu Richard.
Bukan sok romantis, tapi lengan Richard merengkuh bahuku yang memaksaku untuk bersandar. Sedangkan jarinya memilin milin helaian rambutku yang tergerai sehabis mandi."Kak kok aku gak pernah denger kentut perempuan ya??" tanya Toni padaku.
Entah sekedar untuk membuatku berbicara.
Atau memang mereka ramah pada seseorang yang baru."Pasti bunyinya 'preett'" ini si Rich yang jawab.
Geli sendiri memikirkannya.
Aku juga heran, kenapa cewek harus nutupin hal yang wajar.
Semua manusia juga buang gas yang bau itu.Tidak di pungkiri memang benar adanya.
Cewek gak pernah kentut di depan cowok.
Gak nyangka ternyata cowok yang lebih menyadarinya.
"Gila! Gak mungkin lah, cewek tu jaim, kentut aja di sembunyiin."
Dan Qafiq menimpali.
"Iya kali, kalo kentut gak bunyi. Tapi baunya sooob pasti bikin pingsan. Bwahahahaaaa."
Dan mereka bertiga ketawa ngakak.
Aku merasa sakit telinga saat mulut Richard ketawa di samping kepala aku.
Untung gak sampai berdenging, tawanya memakan telinga.
Di depan Toni tertawa dengan badan yang berguncang, sedangkan Qifaq kalo tertawa matanya menyipit.
Jadi khawatir ni mobil bakal oleng.
Aku hanya tersenyum mendengar lelucon para lelaki.
Nyenengin banget temenan sama cowok yang gak jaim. Apa adanya. Gak perlu ada yang di sembunyikan.
"Eh, lusa kemarin pas gua di bis sama Toni keadaanya gak nyenengin banget, manukku kecepit njiir."
Aku mempelototi Richard yang cerita ngawur. Ya kali ini di samain kalo gak ada aku kaali.
"Elah gitu aja senewen." Toni memutar bola matanya.
"Iya punya elo emang kecil Ton, jadi gak kerasa, sedangkaan-"
Ucapan Richard terhenti saat aku mengibas tanganku di mulutnya dengan pelan.
"Turunnnnn" Qafiq berseru dengan mobil yang melaju lambat.
Yap saat ini kita lagi di pasar. Buat belanja untuk nanti malam pesta makan.
"Guys, kalian ingin makan apa?"
Tanyaku sebelum turun."Ikan tongkol kak." ujar Qafiq semangat.
"Ayam aja deh kak." kata Toni.
"Yang, aku minta sop sayur." kata Rich.
"Oke, aku akan turun."
"Kak beneran kita gak perlu bantu angkat belanjaanya?"
"Gak. Kalian di sini aja."
"Oke." jawab mereka bebarengan.
--------
Aku meninggalkan mereka di dalam mobil.
Berjalan menuju keramaian pasar tradisional, aku membeli ke arah sayur mayur. Masih segar ini.
"Mang wortel sama kentang satu kilo, buncis sama kol sekilo."
"Dua puluh tujuh ribu neng."
"Tumben murah mang." tanyaku. Mengingat sekarang apa-apa mahal.
"Neng, di desa sayur ini gak ada harganya malah."
"Masa sih?"
Aku membayar dengan uang pas.
"Ia di sana pagi di jual. Siang kalo ada sisa, yah di kasih sama hewan ternak. Jadi di kota itu lebih laris bahan matang, dari pada masak sendiri."
"Ooohh, ya sudah. Pas ya?"
Setelah itu aku berjalan menuju tempat daging, membeli setengah kilo daging sapi, dan dua kilo daging ayam.
Tidak ada lagi.
Aku bergegas ke parkiran, dan menemukan Rich dan teman-temannya sedang bersender di kap mobil sambil menjilati es krim.
"Ayo pulang." kataku keras.
Serentak mereka menoleh ke arahku, dan buru- buru melahap contong es krim masuk ke dalam mulut mereka.
Kembali ke posisi semula.
"Kak kok lama belanjanya?" tanya Toni.
"Kan antri Ton."
"Oh, iya yah.."
"Mending di plaza aja belanjanya kak."
"Lu kira beli sepatu di plaza." ejek Qafiq.
"Ya, mungkin aja."
"Kalian ingin puding atau buah untuk nonton tv?" tanyaku.
"Udahlah yang, gak usa repot karena mereka."
"Eh Rich. Seharusnya, contoh tuh istri lu, shodaqoh biar banyak pahala." cibir Toni.
"Mending diem lu Ton, hidup belum bener. Ngajarin gue." gumam Rich keras.
"Nih lampu merah, lama amat yak?" seru Qafiq.
"Cuman satu menit kok."
"Macet lagi. Padahal masih pagi."
"Seharusnya, yang sendirian tuh mending naik motor, dari pada menuhin jalan kayak begini."
"Ya, kan biar gak kepanasan Ton." bela Qafiq.
Mungkin untuk sesaat Toni lupa kalau Qafiq orangnya lebih suka berada di rumah dari pada keluyuran di luar.
Untuk dua menit lamanya, di dalam mobil sepi tidak ada suara.
