bagian 7

25 9 10
                                    

Shania POV

Aku masih mematut diri didepan cermin. Masih memoleskan wajahku dengan riasan yang tak menor.

Memakai bedak untuk wajah, menggunakan maskara, dan terakhir mengoleskan lipbalm dibibirku. Pakaian yang kugunakan adalah dress biru laut selutut. Ku padu-padankan dengan tas samping hitam kecil.

Rambutku dibiarkan tergerai. Sesekaliku berlenggak-lenggok didepan cermin besar, melihat apakah penampilanku sudah baik atau belum.

Sedang fokus dengan penampilanku, teriakan nada dering dari hpku membuat fokusku teralihkan. Kulirik hpku yang berada diatas ranjang, dan berjalan menghampirinya.

Kulihat nama yang tertera disana dan tersenyum. Ku angkat panggilan itu.

"Halo" Sapaku. Suaraku terdengar bersemangat.

"..."

"Oh, udah didepan. Masuk aja, ada mama kok dibawah."

"..."

"Belum, gue belum selesai. Paling dua jam lagi selesai." Terdengar dengusan dari seberang sana. Aku tertawa. "Canda Dan." Kalau kalian berpikir bahwa itu Daniel berarti kalian adalah orang yang peka.

"..."

"Iya, iya. Nggak sabaran banget. Masuk gih."

"..."

"Malu? Udah nggak usah malu-malu. Biasanya juga lo kayak orang yang nggak ada malu." Kembali terdengar dengusan kesal dari seberang. Aku tertawa, lebih keras dari yang tadi.

"..."

"Canda Dan, canda."

"..."

"Ya udah. Tungguin dibawah, dikit lagi udah selesai."

"..."

"Bye."

Sambungan terputus. Aku kembali melanjutkan terapi dandan cantikku.

Akhirnya setelah berjam-jam didepan cermin, aku sudah selesai dengan terapi ini. Ku ambil flat shoes biru muda dan mengunakannya, tak lupa tas selempang hitam kusampirkan dibahuku.

Aku berjalan keluar kamar sambil sesekali bersenandung. Kurasakan getaran dari dalam tasku. Aku berhenti untuk melihat penyebabnya. Sebuah pesan masuk. Kulihat dari Daniel.

19.28
Cepetan kebawah, gue udah dibawah sama mama lo.

Aku tersenyum melihatnya. Dasar, nggak sabaran banget. Takku gubris pesannya. Ku lanjutkan jalanku dan terus bersenandung. Ketika menuruni tangga, samar-samar terdengar suara percakapan.

Kadang terdengar suara tawa yang kuat. Aku menerka-nerka bahwa yang tertawa itu adalah mamaku. Dan benar saja, ketika aku sudah berada di anakan tangga yang kelima.

Mama beneran nggak bisa jaga image banget deh. Ketawanya keras banget. Tawa mama akhirnya berhenti ketika dia melihatku berdiri di anakan tangga terakhir.

"Anak mama udah turun. Cantik banget, iyakan?" Tanya mama kepada laki-laki disampingnya. Laki-laki disampingnya menggaruk tengkuknya. Namun tak urung menjawab juga. "I-iya tante."

Aku agak malu ketika dibilang cantik, apalagi ketika Daniel mengiyakan perkataan mamanya. Entah kenapa wajahnya mulai memanas. Tapi ngapain sih mama pake ngumbar segala tentang hal yang nggak perlu diumbar.

Lagi pula kalau ada yang nanya kayak gitu udah pasti bakalan di-iyain, nggak perduli dia jelek atau enggak pasti di-iyain aja. Kan nggak mungkin kalau misalnya ada yang nanya 'anak tante cantik ya?' terus kalian jawab 'nggak tante. Anaknya sama sekali nggak cantik make upnya terlalu menor'.

NoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang