3. Raksasa Buto Putih

663 17 0
                                    

"ARRRRRGGHHHHHHH…!ARRRRRGGHHHHHHH…!ARRRRRGGHHHHHHH…!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"ARRRRRGGHHHHHHH…!
ARRRRRGGHHHHHHH…!
ARRRRRGGHHHHHHH…!"

Semakin lama semakin keras suara yang menyeramkan itu. Merinding sekujur tubuh setiap penduduk desa.

Bunyi yang sepertinya dulu pernah diceritakan oleh para kakeknya perihal sosok raksasa yang suka memakan anak-anak kecil yang  keluar di kala petang hari.
Untuk menakut-nakuti anak-anak kecil agar jangan keluar dikala senja saat menuju peraduannya.

Bunyinya sama dengan yang diperagakan kakek dulu.

"ARRRRRGGHHHHHHH…!"

Kakek bersuara aneh tapi mimiknya terlihat lucu sekali karena ompong giginya.
Semua malah jadi tertawa.
Semua anak-anak kecil yang mendengarkan cerita kakek perihal raksasa itu menjadi tak percaya tentang kebenaran cerita itu akhirnya.

Dan sekarang, inilah kisah yang sebenarnya.

Bahwa, raksasa itu benar-benar ada.
Ia telah keluar dari sarangnya.

Tirta, pemuda yang berbadan tegak anak sulung Pak Mardjan itu memberanikan diri keluar dari persembunyiannya di gerombolan semak-semak.
Ia berjalan pelan mengendap menuju sosok aneh tersebut.

“Tirta! Kembali kau,Nak! Kembali!” Tirta mengacuhkan larangan bapaknya.

Terus saja ia melangkah mendekati sosok itu. Memastikan makhluk apakah itu.
Dengan tubuhnya yang tetap bergetar keras, sekuat tenaga ia mengerahkan segenap keberaniaannya.
Keberanian yang lama tak pernah muncul semenjak para kakeknya yang terdahulu sering bercerita perihal sosok raksasa yang kerap memangsa anak kecil yang keluar kala senja menjelang.

Tirta semakin dekat.

Matanya menyipit dan dahinya mengkerut serius.
Masih remang-remang.
Matanya menajam lagi.
Dan akhirnya, jelaslah sosok itu.

Terlihat semakin jelas karena sosok itu menuju kepadanya.
Ia langsung berteriak sekeras-kerasnya.

“Raksasa…Raksasa….! Itu raksasa! Itu yang dulu sering diceritakan kakek!” jemarinya menunjuk-nunjuk pada sosok besar yang keluar dari balik bukit.

Sosok putih besar agak kemerah-merahan kulitnya dan penuh dengan bulu putih.

Matanya melotot dan gigi-gigi taringnya tampak menonjol.
Keluar dari mulutnya tetesan air liur yang menjijikkan.
Kemudian raksasa itu semakin menampakkan erangannya yang bertambah  keras membuat ciut siapa saja yang melihatnya.

“Arrrghhhhh....! Aku laparrrr…….Argh…! Aku mau makan ….. Argh…!”

Matanya yang melotot tajam itu, menghujam dihati semua penduduk yang merasa kecil itu.

Besar sekali!

Besarnya ratusan kali manusia normal.
Dengan kaki yang masih bergetar dan suara yang terpatah-patah, Tirtapun menghampiri raksasa itu dengan keberanian yang tetap dipaksakan.

“Si..si..a..a..apa kau!? aaa da apa kau kesini…?” kepala Tirta mendongak.

Raksasa mendengus keras. Baunya sangat aneh sekali.
Seperti bau wangi kembang kamboja.

“Ups, bau apa ini? Tirta menutup hidungnya. Bau kematian!” batin Tirta.

Ia mundur tiga langkah kebelakang, tersandung batu dan terjatuh.

“Aku mau makan….., !” kata Raksasa.

“Tidak ada apa-apa disini untuk kau makan. Pergi! Pergi kau!” Tirta merasa terdesak, kemudian berdiri dan terus saja melangkah mundur.

“Apa kau bilang?” Raksasa sedikit jongkok mengimbangi manusia kecil yang terdiam didepannya.

Angin berhembus kencang menerpa kulit. Dinginnya membuat bulu kuduk Tirta tambah merinding.
Tirta kembali mengumpulkan keberaniaannya.

“Tidak ada!” jawab Tirta tegas.

“Hahahahhahahaha………desa segini subur kau bilang tidak ada makanan? Benar-benar manusia kecil yang pintar. Kau bohong!”

“Tidak ada untuk kau. Kedatanganmu sangatlah tidak sopan. Kau teriak-teriak di subuh hari dan eranganmu membuat semua warga desa takut!”

“Termasuk kau kan ketakutan? Hahahhahahah…Lihat! lihat wajahmu...pucat bagaikan mayat. Kau jelas ketakutan menghadapiku kan? Sudahlah pergi saja kau hai cecunguk kecil! Argh…!”

Dengan sekejap tangan raksasa melemparkan tubuh Tirta.
Tanpa ancang-ancang kuda, terpentallah tubuh pemuda itu jauh ke tanah lapang.

Raksasa itu tertawa terbahak-bahak penuh kesenangan.
Akhirnya diketahuilah bahwa Raksasa itu bernama Buto Putih.

Raksasa bertaring yang berbulu putih bengis dan gendut perutnya.
Itu dimantapkan dengan perkataan Pak Mardjan.

“Ya, itu…itu benar Tirta..., itulah raksasa yang dulu pernah diceritakan kakekmu. Raksasa Buto Putih! yang kemunculannya ditandai oleh kicauan burung Prenjak dari arah utara. Sebuah pertanda akan datangnya suatu musibah menimpa desa ini. Hati-hatilah kau, Nak! hati-hati!” teriak Pak Mardjan dengan penuh kecemasan.

Tirta berlari menghindar dari amukan Buto Putih. Bukan karena takut, tapi menyelamatkan diri untuk mengatur strategi, itulah yang sedang ada dalam pikirannya.
Biar dia tidak dimakannya.
Ia tak mau dimangsa sia-sia.

Semua warga desa ikutan semburat berlarian kesegala arah setelah melihat Tirta lari menyelamatkan diri.

Tampak Buto Putih dengan rakusnya mengambil segala macam tanaman yang nampak subur dan siap panen dibawahnya. Mengunyah tanpa henti mulutnya, dan tanpa henti pula tangannya menggenggam apa yang ada di hadapannya.

Tercerabutlah sumber pangan itu, mulai persediaan beras, gula, sayur mayur, palawija dan semua simpanan hasil panen.

Warga desa berlarian semakin menjauh, takut kalau-kalau tangan raksasa itu dapat menggapainya.
Sorot matanya bertambah tajam merah dan semakin bengis.
Berteriak-teriak bak orang kalap tak terkendali.
Menggeram dan meluluh lantakkan setiap apa saja yang tampak disekitarnya.

Hancur lebur!

Setelah dirasa puas, matanya kembali tenang memandang keseluruh tempat.
Berbalik arah tubuhnya, pergilah ia kembali ke balik bukit masuk kehutan.

Menghilang tak jelas dimana sarangnya.

Bersambung 4

Cerita Orang MalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang