Rombongan manusia berkuda yang sudah masuk ke desa Kawi langsung menemui tetua desa di pendopo. Dipersilahkannya duduk bersila di dalam pendopo.Berkatalah seorang sesepuh desa yang bernama Mbah Saimin.
“Hai para penduduk Kawi. Kita tidak bisa terus berdiam seperti ini. Daripada generasi desa hancur dimakan raksasa Buto itu, lebih baik mengungsi, cari aman dulu. Tapi ternyata bantuan telah datang.” Mbah Saimin mengalihkan pandangan pada tamu itu, “kisanak telah datang. Tuhan mendengar doa kita”
Wajah penduduk sedikit senang.
“Iya, harus kita lakukan sesuatu Mbah Saimin. Doa semua warga akhirnya terkabul. Kami siap bergabung bersama!” jawab Tirta menyahut.
Raut wajah Mbah Saimin pun ikut bahagia.
Tak disangka akan datang bala bantuan yang telah lama ditunggu.“Kisanak..? kamu punya rencana?” mata mbah Saimin penuh harap.
“Betul, Mbah. Kami akan bantu sekuat tenaga. Kalau bisa sampai titik darah yang penghabisan. Sakit para warga desa, sakit kami juga. Berhari-hari kami pikirkan rencana ini dalam perjalanan menuju kesini. Kami mempunyai rencana menyerang si Buto Putih itu secepatnya... saat dia lengah. Tuhan pasti akan membantu perjuangan ini.” jawab pemimpin dari para penunggang kuda tersebut.
“Maksud..Nak..maaf, siapa nama, Kisanak?”
“Bara” jawabnya singkat.
“ Iya, maksud...Nak Bara?”
“Begini, strategi kami, Buto Putih harus kita serang dari segala arah dengan tiada henti. Bukan kita menunggu si Buto Putih itu menyerang desa ini. Tapi gantian kita yang mendatanginya. Kebetulan kami ada seratus orang.”
“Sudahlah nak Bara..tidak usah kau lanjutkan rencanamu itu. Kami semua sudah pernah mengadakan perlawanan, tapi hasilnya malah para pemuda yang ikut melakukan penyerangan habis dimakan oleh Buto putih tanpa sisa. Kamu bisa lihat kondisi desa ini yang tanpa pemuda. Aku tak mau kalian bernasib sama dengan para pemuda desa ini. Coba pikirkan masak-masak, aku tak ingin orang-orangmu mati sia-sia. Buto itu mempunyai kesaktian yang cukup tinggi. Kalau engkau hanya mengandalkan jumlah pasukanmu yang tidak seberapa besar itu, aku takut mereka semua akan mati konyol”
Mendengar perkataan Mbah Saimin tersebut, sempat ada keraguan dalam hati Bara.
Tapi... keraguan itu ditepisnya.
Ia harus membantu penduduk, apapun yang terjadi.
Ia berfikir sejenak, mencari akal.
Kalau hanya mengandalkan pertarungan, pastilah akan dibabat habis pula anak buahnya.
Harus pakai siasat perang.Sedikit tipuan apa salahnya demi kebaikan semua.
Dipandanglah wajah para anak buahnya satu persatu...
Dan, sampailah pandangannya terhenti pada Tirta.
“Tirta”
“Iya Kang”
“Coba kau mata-matai si Buto Ijo itu bersama lima orang temanmu”
“Baik Kang, aku akan pergi ke persembunyiannya di dalam hutan”
“Pergilah. Dan hati-hati. Jangan sampai si Buto itu tahu perihal keberadaanmu”
Berangkatlah Tirta menuju kedalam hutan diikuti oleh lima orang penunggang kuda lainnya masuk rimbunnya hutan belantara.
Setelah memasuki beberapa kilometer hutan, terciumlah bau anyir darah dan bangkai-bangkai yang teramat busuk.
Nampak dari kejauhan, si Buto Putih itu sedang duduk santai pada batu besar.Kekenyangan tampaknya.
Terdengar sayup-sayup ia berbicara sendiri seperti raksasa gila.
“Arrgh, aku sudah bosan dengan daging penduduk sini hahahaha...” sembari tangan kanannya menepuk-nepuk jidatnya dan berulangkali tertawa sendirian.
“Sudah pahit semua rasanya. Telah habis sudah para bayi-bayi dan perawan desa. Makan yang tua...pahit rasanya!
Byuh!
Lebih baik aku besok pindah saja kedesa yang lainnya. Desa yang lebih banyak lagi bayi dan para perawannya. Hewan ternak, tanaman-tanamannya juga sudah habis semua kumakan, tidak ada yang tersisa. Arrghhhh….”
Raksasa itu berdiri dan pandangannya tiba-tiba tertuju ke Tirta dan lima temannya.
Terkejut seketika itu!
Tirta langsung tiarap merapatkan tubuhnya disemak-semak.
Datang mendekat si Buto.
Mengendus-endus semakin dekat akan keberadaan suatu makhluk.
Tirta dan temannya menahan napas dan memejamkan mata ketakutan, dan akhirnya,Sreeet…!
Tangan raksasa itu menangkap sesuatu. Panjang melilit tangannya.
Ular piton!
“Hahahahahah......lumayan, santapan yang gurih. Sudah lama gak makan ular....hahahahah!” berbalik arah Buto itu menuju kembali ke batu besar.
Menyantap buruannya yang menggeliat-geliat diremus dengan kilauan taring-taringnya.
Darah ular piton menetes dari mulutnya.
Dikunyah dengan lahapnya.Sedikit tenanglah degup jantung Tirta dan beberapa temannya.
Untung gak ketahuan.
Pandangan tirta kembali mengintip tajam Buto itu dari semak-semak.
“Bangsat! Setelah kau rusak desaku, akan kau tinggalkan seenak udelmu!” gerutu Tirta.
“Sabar, sabar kang Mas Tirta! Tenang...tenangkan dirimu…”
“Aku gak bisa tenang…Raksasa itu mau pergi ketempat lain”
“Ya, secepatnya harus kita laporkan kepada Kang Bara” jawab Parto.
“Baiklah, ayo, kita kembali ke balai desa secepatnya, sebelum Buto itu kabur” seru Tirta disertai deru langkah kaki cepat bersama napas yang dalam menahan bercampur aduk perasaan.
Antara ketakutan dan kebencian yang telah diubun-ubun.
Kembalilah rombongan Tirta ke desa setelah cukup tugas sebagai mata-mata.
Melesat diantara semak-semak dan rindangnya hutan belantara.
Bersambung 6