Ultah yang sama

2.3K 38 4
                                    

Pernahkah kau menyadari bahwa ujung barat selalu menanti senja?
Dan pernahkah kau menyadari bahwa batu karang selalu menjadi tameng ombak?

Gadis itu berjalan lirih menyusuri jalanan sepi. Ia tidak pernah menghiraukan angin yang terus saja menyapu rambut panjangnya. Bahkan ketika berkedip saja bulu matanya nan lentik membuat seseorang jatuh cinta.

Well, ini adalah pertama dan tak pernah ia lalui sebelumnya dengan senja. Semburat cahaya itu menggiringnya menuju pelabuhan. Di pesisir pantai begitu banyak kapal nelayan terdampar.
Osa mulai memanjat batu karang yang selalu dihantam ombak. Dia duduk di sana, dan memeluk kedua lututnya. Sesekali di saat rasa kesalnya membuncah ia akan berteriak melepas bebannya sambil merentangkan kedua tangannya. Dia buang, lepas, hempas semua kesalnya seiring deburan ombak.

Bayang-bayang masa kecilnya kembali menghantui. Dimana dua sosok anak kecil menari-nari di bawah derasnya hujan sambil bergandeng tangan. Mereka terlihat sangat bahagia. Tak lupa kincir angin pelangi mengapit di genggaman keduanya.

Osa tersenyum tipis. Bibirnya menggumam jika masa-masa itu terasa indah bersama sosok Liam. Ya. Sahabat masa kecilnya. Mereka lahir di hari, tanggal, bulan, serta tahun yang sama, namun dalam orang tua yang berbeda. Pada masa itu pun tempat tinggal mereka tidak begitu berjauhan. Sehingga di saat Liam merayakan ulang tahunnya, dia selalu membawa kabur potongan pertama kue ulang tahun tersebut ke suatu tempat. Batu karang. Dia memanjat batu karang menemui Osa yang sudah menunggunya sejak lama.

"Selamat ulang tahun, Osa." Liam menyodorkan potongan kue itu pada Osa yang dibalas senyuman kecil.

Andaikan dia tahu bagaimana bahagianya pada masa itu. Sayangnya Osa lupa. Lupa akan kebahagiaan yang memuncak ketika Liam datang meski tak membawa sepotong kue. Lupa bagaimana bahagianya ia ketika saling kejar di pesisir pantai. Dan lupa bagaimana sosok Liam jika ia ada di hadapannya sekarang.

"Selamat ulang tahun juga, Liam." Osa menyodorkan sebuah gelang yang terbuat dari kerang berwarna kecoklatan.

Osa kembali tersenyum. Rasanya geli kalau itu masih terjadi di masa sekarang. Bayangkan saja, itu terjadi sekitar 9 tahun yang lalu. Sangat lama, dan sangat-sangat dirindukan.
Osa mengeluarkan sebatang pulpen dan buku dari tas kecilnya. Ia mulai menggoreskan sesuatu di atasnya.

Dear, someone. Apa kabar kamu di sana? sekarang kamu seperti apa? Ingat hari ulang tahunku? Aku begitu merindukan potongan pertama kue itu. Kapan itu terjadi lagi?
Tuhan, sampaikan salamku untuknya. Aku, sahabat kecilnya. Menunggu dia, di tempat yang sama.

Tertanda,

Osa Magnaswari

Kemudian Osa menggulung kertas itu dan dimasukkannya dalam botol.

"Pak!!!" Ia memanggil seorang lelaki yang hendak melaut.

Lelaki itu menoleh, dan Osa bergegas menghampirinya.

"Ada apa?"

"Pak, bapak mau ke laut, kan? Saya titip ini ya, pak" Osa memperlihatkan botol yang kini ada di kedua telapak tangannya.

"Untuk siapa?"

Gadis itu gelagapan. Senyuman yang semula merekah seketika itu menjadi redup. Ah iya, yah. Untuk siapa surat ini aku titipkan? bukannya... Liam jauh di ... di mana Liam? Aku tidak tahu. Lagi pula mana mungkin surat ini bisa jalan ke sana? Pikirnya.

Selang beberapa detik kemudian, ia kembali tersenyum. Namun kali ini senyumnya tampak beda dan tidak seantusias awalnya.

"Bawa saja, pak. Buang saja di tengah laut. Siapa tahu ada pangeran duyung yang menemukan ini." Ucap Osa menghibur diri.

"Hahaha baiklah, nak. Botol ini bapak bawa, ya."

Nelayan itu menerima botol berisikan selembar kertas yang kemudian Osa harap ia benar-benar akan membuangnya ke tengah laut. Pasti botol itu akan terombang-ambing bersama ombak yang tak tau arah. Sama, seperti cinta seorang anak manusia.

Entah mau disebut apa perasaan itu. Cinta, atau bukan. Sejatinya, dua anak manusia itu sudah sangat terpisah. Sama. Seperti keong merindukan rumahnya.

____

Malam, di pesisir pantai yang berbeda.
Sebuah kapal nelayan menepi ke pantai.
Ya. Dialah sang nelayan yang sempat bertemu Osa. Namun dia lupa!

Kelupaan membuang botol itu di tengah laut sehingga membuatnya ikut terbawa ke sebuah rumah berlantai dua dengan segala barang-barang mewah di sekitarnya.

"Kamu sudah besar toh, Le. Kapan kamu main ke sana?" tanyanya.

"Kurang tau, paklik. Liam belum mulai libur sekolah."

"Liburan kemarin kamu juga tidak ke sana. Bulikmu kangen. Selalu ... begitu yang dia katakan."

Dari ruang dalam seorang wanita paruh baya yang tak jauh dari usia lelaki itu pun membawa wejangan untuk sang tamu, "Laah, kenapa nggak diajak kemari saja, Jo?"

"Kan aku kemari niatnya mau bisnis ikan di kota, Mbakyu. Kalau buliknya Liam ikut, bisa kacau urusannya. Ya belanja, jalan-jalan, jadinya bulikmu itu tidak mau pulang."

Liam dan ibunya terkekeh begitu mendengar penuturan lelaki itu. Istrinya memang tidak pernah tahan melihat pernak-pernik kota. Bahkan ketika diajak kemari, suaminyalah yang kerepotan. Uang hasil jual ikan bukannya ditabung malah ludes duluan.

"HAHAHA!!" Liam kembali tertawa usai Pakliknya menceritakan satu kejadian lucu di tengah laut. Selalu begitu. Ada saja bahan lelucon yang dijadikan cerita hingga akhirnya ketika lelaki itu berpamitan Liam selalu diberi bingkisan dari desa.

Suara klakson mengiringi keluarnya mobil itu dan pada akhirnya kesunyian kembali menguasai kediaman Liam dan ibu.

***

SMK & SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang