Chapter 2
"Lo gila, Ge!"
"Lo parah, Ar!"
Arka berdecak, menatapku seolah aku baru saja melakukan debus. Tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan. Namun, aku juga dapat melihat sedikit raut kesal tercetak di wajahnya.
"Gue tuh semalem berantem hebat sama Selly!" ucap Arka penuh penekanan, tapi aku yakin cuma aku yang bisa mendengar suara ngebass-nya itu karena notabenenya kami duduk bersebelahan dan orang-orang di kelas ini sedang sibuk sendiri.
"Lo tuh parah! Gue cuma ngebajak DM instagram lo doang kok. Cuma ngebajak doang. Tapi liat apa yang lo lakuin ke hape gue?" jawabku tak kalah kesal.
"Cuma ngebajak!" tekan Arka sekali lagi, dengan mimik muka mendramatisir keadaan. "Ngebajak manggil sayang," tambahnya sinis.
"Ya terus? Selly pacar lo, kan? Apa salahnya manggil sayang? Tapi dengan emosinya lo ngerebut paksa hape gue sampe mental dan tempered glass-nya retak! Lihat nih!" Aku menyodorkan hapeku ke depan mukanya. Tapi itu tidak mempengaruhi Arka, dia menjauhkan tanganku dari mukanya. Lalu tangannya terlipat di depan dada, memberi gestur seakan mau mengintimidasiku.
"Gue beliin tempered glass baru," ucapnya seakan tidak mau meneruskan topik mengenai nyaris rusaknya hapeku karena kehisterisannya barusan. Jadi tadi dia merebut hapeku ketika aku selesai membajak akun instagramnya yang kebetulan 'nyangkut' di hapeku. Saking kagetnya dia, ketika aku menunjukkan padanya bahwa aku mengirimi DM ke Selly, dia merebut paksa hapeku dan tanpa sengaja menyebabkannya jatuh ke lantai. Untung layarnya tidak pecah, hanya tempered glass-nya saja yang retak.
Aku memutar bola mata.
"Gue tuh abis berantem hebat sama Selly semalem, Ge. Bisa-bisanya lo ngirim pesan ke dia manggil 'sayang', pake embel-embel bilang kangen lagi. Udah diread pula! Mau ditaruh kemana muka gue?"
"Harusnya lo bersyukur dong sama gue. Mungkin aja abis gue bajak gini, kalian bisa balikan lagi."
"Lo nggak tahu aja gimana kami berantem semalem!"
"Ya makanya kasih tau dong."
Arka menatapku tajam. Seakan dia sedang kesal tingkat tinggi. Tapi itu bukan jenis kesal yang sama ketika dia melihat motornya ditabrak di parkiran lalu ditinggalkan begitu saja. Tapi ini jenis kesal yang bercampur rasa gemas. Rasa kesal yang masih bisa reda karena dipancing dengan humor-humor receh bin garing.
Aku mencibir membalas tatapan tajam Arka yang tidak pernah mempan kepadaku. Aku tidak pernah benar-benar takut pada Arka, atau segan padanya. Entahlah, menurutku Arka tidak punya bakat membuatku merasa terintimidasi atau menciut ketakutan. Paling menciut karena terpesona. Bakatnya hebat sekali kalau bagian itu!
"Berantem hebat versi kalian tuh yang kayak gimana sih? Sampe lempar-lempar piring di dapur? Mecahin televisi? Ngunci pintu kamar? Nggak kan? Nggak gitu, kan?" kataku agak sinis tanpa kurencanakan. "Yaiyalah enggak, orang juga bukan suami istri. Paling alesan berantemnya ya sepele, tapi dibesar-besarin."
Aku suka merasa sebal sama orang-orang yang berpacaran. Hebohnya bukan main. Padahal masih SMA juga, tapi lagaknya kayak suami-istri atau orang yang sudah dipastikan akan hidup bersama sampai maut memisahkan.
Terdengar helaan napas lolos dari bibir Arka. Kemudian, mata yang dihiasi bulu mata lentik itu tertutup sesaat. Di saat-saat begini, aku bisa melihat dengan jelas fitur wajah Arka yang nyaris sempurna. Kegantengannya sudah memasukki level dimana aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak terus menatap ke arahnya. Ketika Arka membuka matanya, mata coklat yang selalu tampak berbinar itu menatapku intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Friend to You
Teen Fiction[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ciptakan sendiri. Yang pertama, Arka ganteng. Yang kedua, Arka adalah temanku. Teman dekatku. Arka yang terlahir ganteng membuatnya dikeliling...