Chapter 32 : Insiden

14.7K 2.4K 554
                                    

Chapter 32

"Gea, kamu harus kabarin Bunda kalau udah sampai di rumah mama. Kabarin juga kalau pesawatnya mau lepas landas. Dan pastinya kabarin juga kalau kamu udah sampai di Bali."

Ini sudah kesekian kalinya Bunda mengatakan hal itu pagi ini. Dan lagi-lagi, aku meyakinkan Bunda bahwa semua yang diperintahkannya itu akan kulakukan tanpa terkecuali.

Meskipun sudah merengek bahkan setengah memaksa, aku tetap melarang Bunda dan Kak Adri untuk mengantarku ke bandara. Aku tak mau berpisah disana. Terlalu banyak drama akan membuat semuanya semakin sulit. Yang kuinginkan adalah melangkah pergi dengan pasti.

"Sering-sering main kesini, Ge," ucap Kak Adri dengan raut yang super sedih. Jujur saja, aku tak pernah melihat dia semurung ini sebelumnya.

"Pasti!" sahutku.

Kak Adri membantuku mengeluarkan koper ke teras. Aku sekarang sedang menunggu taksi online menjemputku.

"Lo udah pamit sama temen-temen lo?" tanya Kak Adri.

"Udah, Kak."

"Arka mana? Kenapa dia nggak datang kesini?"

"Buat apa juga dia datang kesini?"

"Lo ngelarang dia datang?" Mata Kak Adri menyipit curiga.

Aku mengangkat bahu sekenanya.

"Astaga, Ge. Bingung gue sama lo. Masa lo nggak mau ketemu Arka sih sebelum lo ke Bali sana?"

"Gue ketemu kok di sekolah kemarin. Semalem juga gue udah pamit sama dia."

"Dia bilang apa?"

"Ucapan standar untuk orang yang mau berpergian lah. Jaga diri, hati-hati, safe flight," balasku tak acuh.

"Bilang kek lo suka dia!" balas Kak Adri kesal.

Aku langsung menatap kak Adri, kaget. "Siapa yang suka sama siapa?" tukasku cepat.

Kak Adri mendengus sebal. Tepat saat itu, Bunda muncul dari pintu rumah.

"Semuanya udah dibawa, Ge? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Bunda memastikan.

"Udah, Bun. Nggak ada yang ketinggalan."

Bunda mengangguk, lalu memelukku dengan erat. "Rumah ini selalu terbuka buat kamu," bisik Bunda. Aku balas memeluknya dan mengucapkan banyak terima kasih.

Taksi yang kupesan pun tiba. Gantian Kak Adri yang memelukku.

"Lo yakin nggak ada yang ketinggalan?" tanya Kak Adri lagi. Aku mengangguk dalam pelukannya. Kak Adri menepuk pelan punggungku.

"Ada. Lo aja yang nggak nyadar," balasnya.

"Apa?" tanyaku setelah menjauhkan diri darinya.

Bukannya menjawab Kak Adri cuma tersenyum penuh arti dan menarik koperku menuju taksi yang hendak kutumpangi.

"Hati-hati, Ge. Inget pesen Bunda. Segera kabarin kalau udah sampai," kata Bunda setelah kami tiba di dekat taksi.

Aku mengacungkan dua jempolku ke udara. "Pergi dulu ya Bunda, Kak Adri. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah duduk manis di dalam taksi, aku melambai singkat ke arah Bunda dan Kak Adri. Aku berusaha tersenyum lebar, meski hatiku terasa enggan untuk meninggalkan segala kenangan di tempat ini.

Pandanganku mengabur karena air mata bersamaan dengan taksi yang mulai melaju membelah jalanan.

***

Just a Friend to You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang