Chapter 25 : Rencana Pindah

10.9K 2K 242
                                    

Chapter 25

Kami berjalan memasukki toko buku di sebuah mall. Nauri langsung menuju rak buku pelajaran sedangkan aku memilih untuk mengambil arah berbeda, yakni ke tempat dimana buku fiksi di display.

Aku tipe orang yang lumayan suka membaca novel dan cukup update mengenai perkembangannya. Namun dibanding membaca novel fisik, aku lebih suka membaca lewat e-book. Selain murah, e-book juga lebih praktis.

Aku mengambil salah satu buku fiksi remaja dari salah satu novelis lokal yang plastiknya sudah terbuka. Membaca satu demi satu kalimatnya sekadar untuk menghapus kejenuhan karena harus berdua bersama Nauri disini.

Selang beberapa menit, Nauri mendekatiku sambil membawa buku persiapan Ujian Nasional dan SBMPTN. "Lo nggak cari buku UN sama SBMPTN juga?" tanyanya.

"Udah punya," jawabku singkat.

"Oh," responnya tak kalah singkat. "Ada rekomendasi novel yang bagus?"

"Nggak ada."

Terserah aku mau dianggap jahat atau gimana, tapi aku benar-benar malas terlibat percakapan dengannya bahkan jika itu hanya sekedar membahas tentang buku.

Nauri pun mengambil salah satu novel di rak dan sok sibuk membaca sinopsisnya. Sementara itu, aku pun kembali membaca buku di tanganku.

Mungkin sekitar lima menit kami habiskan dalam keterdiaman karena sibuk pada kegiatan masing-masing.

Suara Nauri yang pertama kali memecah keheningan. "Kami mau pindah," katanya datar, tanpa menoleh ke arahku.

Kak Adri pernah memberi tahu tentang ini sebelumnya.

"Kami yang gue maksud tentu aja gue, mama, papa dan adik gue," tambahnya.

Oh bagus, tak ada aku di dalamnya.

"Pindah kemana?" aku bertanya tanpa terkesan begitu penasaran.

"Bali."

Aku mengerjap. Bali? Kenapa jauh sekali?

"Papa pindah tugas kesana," jawabnya seakan bisa membaca pikiranku.

"Kapan mau pindah?"

"Kemungkinan besar abis gue kelulusan."

Itu kan kurang lebih dua bulan lagi.

Lalu, Nauri menoleh ke arahku dengan senyum sok elegan. "Mama ngajakin lo. Lo mau ikut?"

Aku ikut pindah ke Bali setelah kelulusan nanti? Tidak mungkin. Aku tidak punya persiapan sama sekali untuk meninggalkan kota kelahiranku ini.

Tapi berpisah dengan mama dalam jarak sejauh itu, rasanya sedikit tidak rela.

Jujur saja, meskipun selama beberapa tahun kebelakang aku dan mama tidak serumah, setidaknya kami masih bisa bertemu setiap akhir pekan. Atau mungkin ada sedikit keajaiban yang membuat kami bertemu secara kebetulan di suatu tempat. Itu sedikit banyak bisa menuntaskan rasa kangenku karena biar bagaimanapun dia ibu kandungku. Aku tidak bisa membencinya.

Nah, dengan menetap di Bali, apakah frekuensi pertemuan kami yang jarang ini akan semakin jarang? Setahun hanya satu atau dua kali bertemu? Apa itu wajar dilalui oleh ibu dan anak?

Kurasa tidak.

Tapi, aku tidak mau tinggal bersama Nauri. Dia itu mimpi burukku.

"Menurut lo gue bakal ikut?" Aku balik bertanya.

Nauri mengangkat bahu cuek. "Terserah, sih. Kalau lo ikut ya silakan, kalau nggak ya silakan. Konsekuensi lo tanggung sendiri."

"Lo lebih suka gue ikut atau nggak?"

"Sejujurnya, enggak. Keluarga gue udah terasa lengkap tanpa ada lo di dalamnya."

Dengar kan betapa tajamnya mulutnya itu? Dia selalu punya banyak stok kata-kata yang memancing emosiku.

Kemudian aku berdecih dalam hati. Selain bermulut tajam, dia juga tak tahu diri. Yang dia anggap mama itu adalah ibu kandungku, jelas aku yang lebih berhak atas dia.

"Kalau lo mau ikut boleh aja. Paling lo akan ngerasa tersisih. Sama kasusnya kayak dulu, karena kita tinggal serumah, akan banyak pertengkaran yang terjadi, dan di setiap pertengkaran itu, mama akan selalu belain gue."

Dia mungkin benar. Aku sadar posisiku sekarang. Bakat cari mukanya telah berhasil mengelabui mamaku sejauh ini. Rasanya menyebalkan mendengar itu dari mulut Nauri.

"Itu karena lo punya bakat cari muka yang hebat. Drama queen."

Nauri cuma tersenyum miring.

"Jangan senyum begitu. Itu tadi hinaan, bukan pujian," kataku sambil menaruh kembali novel yang kupegang ke dalam rak.

"Lo emang nggak sopan sama saudara sendiri," dia mencibir.

"Tunggu matahari terbit di sebelah barat baru gue mau ngakuin lo sebagai saudara gue."

***

Aku menatap langit-langit kamarku dalam keheningan. Masih terngiang jelas di kepalaku percakapanku dengan Nauri di toko buku sore hari tadi.

Mama akan pindah. Dua bulan lagi.

Aku heran kenapa mama belum membicarakan ini padaku. Padahal seharusnya aku orang pertama yang tahu.

Kalau mama memang mau mengajakku, kurasa aku takkan ikut. Aku tidak suka jauh dari sini, dari Kak Adri, Bunda, Arka, Lana, dan sahabat-sahabatku lainnya. Aku juga tak suka bila harus satu atap lagi sama Nauri.

Di sisi lain, aku juga tak rela bila harus berjauhan dengan mama. Hanya mampu menyaksikan mama dari kejauhan. Melihat dia bahagia tanpa menjadikan aku bagian di dalamnya. Hati kecilku akan merasa sangat sedih. Awalnya aku tak keberatan dengan jarak puluhan kilometer yang memisahkan kami karena masih ada celah untuk kami bertemu. Tapi, berpisah kota, berbeda pulau, dibentangkan jarak ratusan bahkan ribuan kilometer, itu lain cerita. Biar bagaimanapun aku masih membutuhkan sosok mama yang secara nyata berdiri di sampingku.

Rasanya cukup sulit untuk menentukan pilihan.

Aku menguap. Mungkin ini sudah waktunya untuk tidur dan melupakan semua yang terjadi hari ini.

Aku mengecek handphone-ku untuk yang terakhir kali. Tapi, sebuah pesan yang muncul di grup sahabatku membuat rasa kantukku sontak menghilang.

Jess mengirim pesan di grup yang beranggotakan aku, dirinya, Lana dan Mela. Pesan berisi empat kata yang membuat perasaanku langsung berantakan.

Jess : Gue putus sama Arka.

***

Hai hai hai!
Alhamdulillah banget bisa update cepet. Semoga suka, ya!❤️

Ohya, Marhaban ya Ramadan yaaa. Maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan selama ini. Semoga puasa kita selalu diberi kelancaran. Aamiin.

Sampai bertemu dalam waktu dekat (inshaallah). 😄😀

Just a Friend to You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang