Chapter 4"Mantan lo itu lagatnya kayak mau bunuh gue hidup-hidup, Ar. Pas gue turun dari motor lo tadi, matanya nggak berenti melotot ke gue, sekarang juga, liat tuh di arah jam sembilan," ucapku tak habis pikir. Masih tercetak jelas di benakku wajah cantik Selly yang menatapku ketika aku tanpa sengaja menoleh ke arah dia barusan. Ekspresinya itu tidak jauh berbeda dari tokoh antagonis ala sinetron-sinetron yang gemar ditonton Bunda di sabtu siang .
Arka melirik sekilas arah yang kumaksud kemudian tertawa tanpa beban. "Pelototin balik, Ge! Masa takut!"
"Ya kali, dan lo bakalan besar kepala karena ngeliat dua cewek berantem karena lo," cibirku sambil memutar bola mata.
Tawa Arka makin berderai. Sepertinya dalam hatinya dia memang menantikan momen itu. Aku mengambil satu sendok cabai dari wadahnya dan menambahkannya ke dalam piring siomayku.
Kulihat Arka juga melakukan hal yang sama. Namun bukan hanya satu sendok cabai, melainkan tiga sendok.
"Gila, Ar, nggak inget-inget lagi kalau makan pedes. Cabenya kurangin dong, nggak baik buat kesehatan."
"I love spicy food," balas Arka dengan ekspresi ala host kuliner di tv.
"Extra spicy," ralatku. "Awas ntar mules lo."
Arka menyendok tahu di piringnya dan diletakkannya ke dalam piringku. Lalu dia menyendok kuning telur yang masih berbentuk setengah bulat dalam piringku untuk ditaruhnya ke dalam piringnya.
Arka tidak suka tahu dan aku tidak suka kuning telur. Arka dan aku sama-sama hapal hal itu. Jadi Arka sudah terbiasa menyingkirkan kuning telur pada setiap makananku dan aku juga sudah terbiasa melahap tahu jika makanan itu ada di piring Arka. Semacam simbiosis mutualisme, tapi...
"Bisa nggak sih Ar lo ngasih tahunya pas sebelum dicampur sama cabe tiga sendok?" gerutuku. Aku memang suka pedas, tapi masih dalam taraf normal.
"Nah iya lupa, nggak ngingetin sih elo," Arka nyengir, menampilkan gigi putih bersihnya. "Sesekali makan yang ekstra pedes, Ge, biar otak lo seger."
"Seger pala lo kotak. Berasap lagi ada," sahutku sambil mengaduk-aduk tahu yang diberikan Arka dengan kuah siomayku yang tidak terlalu pedas ini.
"Eh iya, kayaknya temen-temen sekelas hari ini bakal jengukin Rafa deh," kataku mengalihkan pembicaraan. Insiden kecelakaan itu sudah terjadi tiga hari lalu. Dua hari yang lalu pas aku datang ke sekolah, aku dibombardir pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi Rafa dan bagaimana sebenarnya kronologis kejadiannya. Aku menjelaskan apa yang kulihat, dan semua teman-temanku menaruh simpati ke Rafa. Tadi malam, kami mendapat kabar bahwa Rafa sudah sadarkan diri kondisinya sudah membaik, dan tadi malam juga, teman-teman sekelasku berencana untuk menjenguk Rafa di rumah sakit pulang sekolah nanti.
"Lo ikut?" tanya Arka setelah mengunyah suapan perdananya.
"Ikut," sahutku sambil menyendok potongan siomay ke dalam mulutku.
"Bareng gue aja. Tapi gue mau ke sekret sepakbola dulu bentar."
"Lo ada rencana tanding?"
"Anak kelas tiga SMA mana dibolehin tanding oleh sekolah. Cuma ada yang perlu diomongin aja ke adik kelas soal turnamen bulan depan."
"Oh, oke, nanti selagi lo ke sekret gue tunggu dimana?"
"Koridor deket mading lantai bawah aja, biar gampang ke parkirannya, gue juga cuma bentar doang ke sekret."
"Oke-oke."
"Gea!!" Suara cempreng khas cewek yang menyebut namaku itu membuat fokusku teralih. Aku mendongak untuk melihat sumber suara. Lana. Dia berjalan sendirian sambil memegang jus mangga yang masih penuh. Lana tampak menyedihkan. Pergi ke kantin sendirian itu kelihatan sekali ngenesnya. Nggak punya pacar dan juga nggak punya teman. Sungguh membuat iba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Friend to You
Teen Fiction[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ciptakan sendiri. Yang pertama, Arka ganteng. Yang kedua, Arka adalah temanku. Teman dekatku. Arka yang terlahir ganteng membuatnya dikeliling...