Chapter 9
Selain nggak pandai olahraga, aku juga nggak ada bakat main alat musik. Mulai dari suling sampai drum, gitar atau biola, dan segala macam alat musik yang ada di dunia ini. Kalau aku nekat memainkannya meskipun aku tahu kemampuanku pas-pasan, dijamin orang-orang bakal milih nutup telinga mereka.
Sialnya, Bu Eka, guru Seni Budaya-ku yang eksentrik abis ini, mengatakan bahwa kami harus bersiap menampilkan kemampuan kami bermain alat musik sebagai nilai UTS kami bulan depan. Dan kabar itu, sukses membuatku kalang kabut.
"Lo mah enak Lan, punya kakak yang bisa main piano, tinggal minta ajarin aja," kataku pada Lana yang dari tadi bilang kalau aku tak perlu khawatir karena masih ada tiga puluh hari untuk mempersiapkan semuanya.
Tiga puluh hari menurutku adalah waktu yang sangat singkat. Bayangkan, aku sama sekali nggak ada basic bisa main musik, mana di rumahku nggak ada alat musik sama sekali. Bagaimana aku bisa mempersiapkan penampilanku kalau begitu?
Tiba-tiba, satu ide muncul di benakku, namun beberapa detik kemudian aku sadar ide itu tidak akan berhasil.
Awalnya aku sempat kepikiran untuk belajar musik dari Arka karena dia bisa bermain gitar. Kemudian aku sadar, sejak dua hari terakhir, ada yang berubah dari cowok itu. Entah itu hanya perasaanku saja, atau memang kenyataannya begitu.
"Udah ah yuk, Ge, pulang!" ajak Lana kemudian.
Kulirik meja Arka, cowok itu sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Asal tahu saja, sejak dua hari lalu, Arka tidak lagi duduk di sampingku. Dia memutuskan untuk pindah ke belakang, dimana teman-teman cowoknya sering berkumpul. Oleh karena itulah, Lana mengungsikan diri duduk di sampingku.
Arka kini sudah menyampirkan ranselnya di bahu dan berjalan dengan cuek ke arah pintu. Di sisi lain, Jess berusaha mengimbangi langkah Arka agar mereka bisa berjalan bersamaan.
"Yuk!" aku mengajak Lana keluar. Kami berjalan satu meter di belakang Arka dan Jess yang kini mengambil jalan menuju parkiran sekolah.
Setelah sampai di parkiran, seperti biasa Lana langsung menaikki motornya yang diparkir dekat jalan keluar dan dia melambai cantik ke arahku.
Aku melanjutkan langkahku menuju motorku berada. Ringisan kecil keluar dari bibirku ketika kulihat ternyata Arka memarkirkan motornya tak jauh dari motorku.
"Hei, Gea!" sapa Jess ketika melihatku muncul dari arah kanannya. Jess kini hendak memakai helm yang baru diserahkan Arka.
"Wih, pulang bareng, ya," balasku sok santai. Arka cuma tersenyum tipis sambil menampilkan ekspresi yang seolah mengatakan "ya-kayak-yang-lo-liat".
"Nggak mau langsung pulang sih. Mau nonton dulu. Lo mau ikut nggak?" tawar Jess dengan raut bersemangat.
Penawaran yang kelewat baik. Aku sampai menanyakan kemana perginya harga diriku kalau aku sampai menerimanya.
"Kok ngajak gue sih? Gue nggak mau jadi obat nyamuk."
"Ih, santai aja kali, Ge." Jess tersenyum malu-malu. "Ya nggak, Ar?"
"Kita berdua aja. Kasian Gea, pulang ini dia mau cari guru les musik buat nyelamatin nilai UTS Seni Budayanya," sahut Arka sambil tersenyum singkat. Wah, dia mengerti sekali problem hidupku. Aku jadi terharu.
"Ah iya! Setahu gue, lo nggak ada sejarah bisa main musik kan, Ge? Kita sama dong!" Jess tampak antusias. "Gimana kalo kita main pianika aja?" lanjut Jess dengan cengiran geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Friend to You
Подростковая литература[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ciptakan sendiri. Yang pertama, Arka ganteng. Yang kedua, Arka adalah temanku. Teman dekatku. Arka yang terlahir ganteng membuatnya dikeliling...