•Bab 4

411 85 2
                                    

Bentuk wajah yang tidak pernah berubah sejak kali pertama aku bertemu dengannya terus terbayang didalam benakku.

Rahang yang kokoh, hidung mancung, bibir tipis, alis tebal, semua itu tidak berubah. Masih sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya sehabis sholat asar kala itu.

Sempat merasa sedih, karena hari itu adalah hari terakhir anak kelas dua belas sekolah seperti biasa, setelahnya, mereka akan disibukkan dengan ujian-ujian sekolah.

Namun, aku tidak boleh egois terhadap kuasa illahi yang sudah menakdirkan Rendy harus disibukkan dengan ujian-ujian sekolah.

Dan, untuk kali pertama, sejak aku dan dia tidak pernah lagi bertemu disaat ia telah lulus, ternyata, Allah menakdirkan kami untuk bertemu kembali diwaktu yang tidak terduga.

Tapi, apakah dia sudah berumah tangga?

Pertanyaan itu terus saja berkembang didalam pikiranku. Rasanya ingin mengusir, namun tidak bisa.

"Mi?" Panggilku.

"Apa sayang?"

"Tadi pagi ada pelanggan yang titip salam buat Umi."

"Siapa?" Tanya Umi bingung.

"Namanya Rendy." Jawabku dengan suara yang agak pelan.

"Oh iya, wa'alaikumussalam."

"Umi kenal sama dia?" Tanyaku penasaran.

Umi mengangguk. "Ya kenal dong. Dia kan pelanggan setia di toko bunga Mama." Jeda tiga detik Umi kembali berucap. "Hampir setiap pagi Rendy selalu datang ke toko untuk beli bunga mawar untuk-"

"Untuk istrinya?" Ucapku memotong ucapan Umi.

Umi nampak seperti sedang menahan tawa. "Istri? Dia belum punya Istri."

"Hah? Tapi tadi dia bilang, dia beli bunga mawar untuk orang yang disayang."

Umi malah mencubit hidungku. "Makanya, kalo orang tua ngomong jangan dipotong. Umi tadi kan belum selesai ngomongnya."

Aku menggaruk kepalaku. "Hehehe... iya maaf Mi. Terus Mi lanjut."

"Rendy punya adik perempuan namanya Reina. Adiknya itu punya penyakit gagal ginjal, ginjal satunya udah ga berfungsi. Nah si Reina ini suka sama bunga mawar, jadi hampir setiap hari Rendy datang ke toko bunga untuk beli bunga mawar."

"Ya ampun kasian banget."

"Terus kenapa kamu berperasangka kalo Rendy udah beristri?" Tanya Umi.

"Ya soalnya Rendy kan kelihatannya udah dewasa, jadi aku pikir dia udah punya istri."

"Kamu suka ya sama Rendy?" Tanya Umi tiba-tiba yang membuat aku terkejut.

"Hah, enggak. Sok tau nih Umi." Elak ku, padahal dalam hati aku mengatakan 'iya'.

"Suka juga gak apa-apa. Umi dukung kok."

What? Is this serious?

Aku tersenyum, membalas ucapan Umi barusan. Mengisyaratkan bahwa jika hal itu benar-benar terjadi, aku sangat bahagia.

"Emm, Rendy itu salah satu list calon menantu yang selalu Umi doakan agar berjodoh dengan kamu tau Syah."

Mataku membelalak, lagi-lagi jantungku dibuat berdebar karena ucapan Umi. Tak disangka, ternyata Umi pun menaruh harapan kepada Allah jika kelak Rendy adalah jodohku.

Namun aku tidak boleh berekspetasi terlalu tinggi tentang Rendy, karena jika realita tak sesuai ekspektasi maka jatuhnya akan sakit. Aku pun berusaha untuk bersikap biasa saja saat Umi berbicara seperti itu. Aku tidak mau terlihat geer dihadapan Umi.

"Haduh Umi berlebihan banget deh."

Umi memegang tangan ku seraya berucap, "Umi tau kamu anak yang baik dan Rendy pun anak yang baik juga. Umi ngelakuin ini karena Umi mau kamu dapat yang terbaik diantara yang baik. Umi percaya dengan kekuatan doa, apalagi doa dari seorang Ibu. Makanya Umi berusaha untuk menjodohkan kamu dengan Rendy dengan cara mendoakan kalian."

Aku tertegun, tidak bisa berkata apapun selain diam dan menampakkan segurat senyuman dihadapan Umi. Terlihat jelas di pancaran mata Umi, jika Umi sangat berharap jika aku dan Rendy kelak bisa berjodoh.

"Jodoh ditangan Allah Mi. Apapun Doa yang Umi panjatkan untuk Aisyah, akan Aisyah aamiin kan Mi." Jawabku diakhiri dengan senyuman.

Umi pun tersenyum lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. "Semoga ya Syah, kamu bisa berjodoh dengan Rendy."

Aku memeluk tubuh Umi, lalu berkata, "Aamiin."

•••

Ikhlas Bersamamu ✓ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang