Pagi ini aku ditugaskan oleh Umi untuk menjaga toko bunga. Beliau menyuruhku menjaga toko karena beliau ingin pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Tante Farah yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Sebenarnya, aku ingin ikut karena ingin melihat keponakan ku, tapi Umi malah menyuruhku untuk menjaga toko bunganya. Ya sudah, mau tidak mau aku harus mematuhi perintahnya.
Sembari menjaga toko yang kebetulan pagi ini masih sepi pelanggan, aku memutuskan untuk melanjutkan tugasku yang belum kelar. Sebetulnya aku pusing tiap hari harus berhadapan dengan tugas dan juga dengan layar monitor laptop, tapi ya itu, memang sudah menjadi kewajiban seorang mahasiswi semester tiga yang tidak pernah luput dari tugas.
Jari jemari ku sangat lincah menari diatas keyboard laptop, dan juga pikiranku yang terlalu fokus dengan tugas ini. Sampai-sampai pelanggan yang datang ke toko saja aku tidak sadar. Hingga akhirnya suara deheman dari pelanggan itu memecahkan konsentrasiku, dan kini wajahku beralih melihat ke arah pelanggan itu.
Alangkah terkejutnya aku saat mengetahui siapa pelanggan yang datang ke toko bunga Umiku. Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang selama ini ku sukai secara diam-diam, yang selama ini ku sebut namanya di setiap sepertiga malamku, dan laki-laki yang baru saja semalam ku ceritakan kepada Mba Mala. Ya, dia Rendy.
"I-iya Kak, ma-mau beli bunga apa?" Jawabku gugup sambil menundukkan kepalaku.
"Bunga kaya biasanya dong." Jawabnya.
"Bunga apa kak?" Tanyaku masih menundukkan kepala.
"Bunga mawar." Jawabnya.
"Berapa tangkai Kak?"
"Satu aja."
Sebelum menjawab ucapan Rendy, aku terlebih dahulu mengatur ritme jantungku dan juga nafasku. Setelah merasa sudah lebih baik dari sebelumnya, aku pun menjawab ucapannya, "Oke tunggu sebentar ya." Lalu aku pergi meninggalkannya untuk mengambil bunga mawar didalam.
Tak lama aku pun datang menghampirinya sambil membawa bunga mawar itu. Lalu menyerahkan bunga itu kepadanya, "Bunganya untuk orang yang disayang ya Kak." Ucap ku sembari memberikan bunga mawar itu.
Astagfirullah, Aisyah, bodoh banget sih, kenapa nanyanya kaya gitu?
Rendy tersenyum lalu mengangguk samar.
Deg! Seketika jantungku seperti ditusuk ribuan duri, sakit rasanya. Ya rabb, apakah ini pertanda bahwa Rendy bukanlah jodohku? Kuatkan hati ini ya Allah.
"Ini duitnya." Rendy menyerahkan duit kertas berwarna biru. "Bu Sitinya dimana? Kok tumben ga keliatan, biasanya kan yang jaga toko beliau."
"Umi lagi ke rumah sakit."
"Astagfirullah hal'adzim, Bu Siti sakit?"
"Enggak, tapi Mama lagi jengukkin Tante yang abis lahiran dirumah sakit."
Rendy pun mengangguk, "Oalah, yaudah bilangin ke Bu Siti ya, Rendy titip salam."
Aku tersenyum kepadanya, "Iya."
"Ya udah saya pamit ya, assalamualaikum." Ucap Rendy lalu pergi meninggalkan ku.
"Wa'alaikumussalam." Balas ku sambil memandang punggungnya yang kian menjauh.
Kini aku kembali sendiri, ditemani sepi yang menyakitkan. Kini aku sadar, ternyata cinta yang tulus belum tentu akan terbalaskan. Bisa saja akan mendapatkan goresan luka yang amat parah.
Sadar Aisyah, barusan Rendy beli bunga untuk orang yang dia sayang. Berharap membalas cintamu saja itu tidak akan mungkin. Sadar Aisyah, sadar!
Perasaan sesak pun muncul didadaku, bersamaan dengan air mata yang terus mengalir dipipi ku. "Ya Allah, jika Rendy bukanlah jodohku, maka buatlah hati ini ikhlas dalam menerima semua ketentuan mu Ya Allah. Dan semoga jodoh hamba jauh lebih baik lagi dibandingkan Rendy. Hamba ikhlas Ya Allah, hamba ikhlas..." Ucapku sambil terisak.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas Bersamamu ✓ (SUDAH TERBIT)
Espiritual(COMPLETED) Aku menyebutnya Cinta. Dia menyebutnya Benci. Bersamanya adalah impianku. Bersamaku adalah hal terburuk menurutnya. Aku merasa bahagia ketika bersamanya, namun ia merasa seperti berada di neraka ketika bersamaku. Aku harap, akhir dari ki...