Namaku Aisyah Nur Fattah, terlahir dari keluarga yang sederhana dan juga terhormat. Abi ku seorang ustadz dan juga Umi memiliki sebuah toko bunga. Sejak kecil aku sudah biasa hidup mandiri. Ya, paling aku sesekali diurus oleh Bi Eti. Selebihnya aku mampu mengurus hidupku sendiri.
Umi dan Abi orang yang sibuk. Hampir setiap hari mereka selalu mengurus pekerjaan mereka masing-masing. Abi dengan jadwal tausiahnya, sedangkan Umi dengan toko bunganya. Abi itu orang yang keras, keras dalam artian tegas terhadap anak-anaknya, terutama dalam hal agama dan juga Papa memiliki hobi memancing. Sedangkan Umi adalah orang yang lemah lembut, perhatian, dan juga tutur katanya selalu membuat hati adem. Katanya, sifat kepribadianku menurun dari Umi, KATANYA.
Saat ini aku sedang mengenyam pendidikan di salah satu universitas jurusan pendidikan agama islam. Memang, sejak kecil aku bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Dan alhamdulillah cita-cita ku didukung 100% oleh keluargaku, terutama Abi. Saat aku mengutarakan niatan ku untuk kuliah mengambil jurusan pendidikan agama islam, Abi langsung antusias untuk segera mencarikan universitas terbaik yang aku mau.
Sudah sekitar satu bulan aku tidak pernah mengobrol dengan Abi karena saking sibuknya Abi, tapi, alhamdulillah, minggu pagi ini jadwal Abi untuk ceramah sedang kosong. Karena kata beliau, beliau ingin quality time dengan keluarga.
"Mba Aisyah, gimana kuliahnya?" Tanya beliau menghampiri ku yang tengah berkutat dengan laptop.
Aku mendongak, "Ya gitu Bi, ga pernah absen dari tugas." Aku menjawab diakhiri dengan senyuman.
Abi tersenyum, "Kamu itu, persis sekali dengan Umimu, orangnya ga pernah mengeluh, sabar, dan juga ikhlas."
Aku hanya tersenyum.
"Mba, Abi mau nanya sama mba."
"Mau nanya apa Bi? Kok kayanya serius?"
Sejenak Abi menyesap teh yang tadi beliau bawa, lalu beliau pun berucap, "Umur mba sekarang berapa?"
"21, kenapa memangnya Bi?"
"Berarti sudah siap dong."
Aku menghentikan kegiatanku sebelumnya, lalu menatap sepenuhnya ke arah Abi sambil mengerutkan keningku, "Siap? Siap apa Bi?"
"Menikah."
"Hah, Menikah? Kuliah aku belum selesai Bi, masih semester tiga, dan aku belum siap untuk menjadi seorang istri. Apalagi, ilmu agama ku belum seberapa."
"Menikah itu bukan persoalan tentang ilmu agama, tetapi Abi mau kamu terhindar dari perbuatan zina."
"Tapi kan aku ga pernah berbuat zina, Mba kan ga pacaran."
"Tapi memikirkan laki-laki yang bukan mahram itu namanya apa kalo bukan zina?"
Aku pun terdiam, memikirkan sejenak tentang perkataan Abi. Memang betul, aku tidak pernah melakukan pacaran, tapi terkadang aku memikirkan laki-laki yang bukan mahramku. Astagfirullah, apa tadi aku sudah salah mengucapkan kata-kata itu?
Melihat dari raut wajah Abi, seperti mengisyaratkan bahwa Abi ingin segera aku menikah. Karena dari anak-anak beliau, yang belum menikah hanyalah aku. Karena aku memang anak bontot. Kebanyakan Mba dan Mas ku memilih untuk menikah muda dengan alasan untuk menghindari perbuatan yang tidak-tidak.
Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Mba Mala. Waktu itu ia pernah bercerita denganku tentang nikmatnya nikah muda. "Semenjak Mba menikah, Mba jadi merasa bahwa Mba telah menjadi seorang wanita yang sempurna. Karena sudah melengkapi separuh agama Mas Fadlan dan menjadi surga untuk Fatimah juga Ibrahim."
Aku tertegun memikirkan apakah aku sudah siap untuk menikah? Apakah aku siap untuk menjadi seorang istri muda? Dan apakah aku siap jika laki-laki yang ditakdirkan untukku bukanlah laki-laki yang selama ini aku kagumi secara diam-diam?
Ya Rabb, aku bingung.
"Jadi gimana mba, mba siap kan untuk menikah?"
Aku terlonjak kaget saat Abi kembali berucap dan seakan akan ucapannya seperti mendesakku, "Aku pikir-pikir dulu ya Bi, karena menikah itu sekali seumur hidup dan aku ga mau sampai menyesal suatu hari nanti karena memilih keputusan yang salah."
Abi pun tersenyum lalu mengelus pundakku, "Baiklah, Abi tunggu jawaban kamu secepatnya ya."
Aku mengangguk lalu tersenyum.
Kemudian Abi pun pergi meninggalkan ku.
Sejenak otak ku kembali memikirkan tentang menikah. Apakah aku siap jika menjadi seorang istri? Ya Allah mudahkan lah, jangan persulit pemikiran ini.
Aku pun memejamkan mataku lalu menyenderkan punggungku di senderan kursi. Pikiran tentang menikah muda betul-betul sudah menguasai pikiranku hingga tiba-tiba kepalaku menjadi pening. Dan aku memutuskan untuk sejenak mengistirahatkan tubuhku.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas Bersamamu ✓ (SUDAH TERBIT)
Spiritual(COMPLETED) Aku menyebutnya Cinta. Dia menyebutnya Benci. Bersamanya adalah impianku. Bersamaku adalah hal terburuk menurutnya. Aku merasa bahagia ketika bersamanya, namun ia merasa seperti berada di neraka ketika bersamaku. Aku harap, akhir dari ki...