Itu final.
Keputusan Jimin, itu final. Tak bisa dibantah walau Jungkook sudah memberikan wajah memelas terbaiknya--yang jatuhnya malah menjijikan. Walau Jungkook sudah mengatakan berjuta alasan dan pura-pura menangis, Jungkook tau kalau Jimin tak akan menarik kata-katanya kembali.
"Pokoknya, kita harus rawat bayi ini," kata Jimin tadi itu sanggup membuatnya mendecih dan mengumpat di waktu bersamaan. "Kau masih punya hati 'kan Jungkook-ah? Tidak mungkin kita meletakkannya di panti asuhan. Aku tidak setega itu--kau juga, ya 'kan?"
Jungkook akhirnya hanya mengangguk. Tahu akan percuma kalau ia berdebat lagi. Pun, yang dikatakan Jimin memang benar--Jungkook tidak setega itu, seberapa banyak pun ia benci harus berurusan dengan bayi. Jungkook masih punya hati, dan memikirkan Eunkyung yang ditinggal sendiri saja sudah membuatnya khawatir setengah mampus.
Jadilah, mereka (secara tak resmi) mengadopsi Eunkyung. Jimin bilang kalau ia akan meminta bantuan Chanyeol untuk mengurus segala tetek-bengek surat persuratan yang harus ada. Jungkook tadinya sudah pusing gara-gara itu, tapi langsung lega karena sang calon ipar memang bisa melakukan apa pun--apalagi untuk adik tersayangnya.
Maka hari itu, ada Jungkook yang siap dengan hoodie hitam dan celana jeans robek-robek juga kunci mobil di genggaman. Di belakangnya Jimin mengekor, mendekap Eunkyung dan membuat bayi itu nyaman bersandar di dada yang terbalut sweater lembut. Di siang menjelang sore itu, mereka memutuskan keluar. Telah berkomitmen untuk mencoba menjadi orang tua dan langkah pertama yang harus dilakukan adalah membeli semua perlengkapannya.
Mereka berkendara ke toko perlengkapan bayi terdekat yang bisa dicapai. Jungkook tak pernah ke sana sebelumnya, Jimin juga. Hanya pernah melewatinya sekilas tapi tak tau dalamnya seperti apa. Jadi Jungkook agak terkejut ketika masuk. Ingin mual rasanya--melihat bayi di mana-mana, mainan bayi, bau bayi, boneka bayi, dan bayi, dan bayi, dan bayi lagi. Oh, sial. Bagaimana Jungkook tak cepat mati sekarang?
"Kook, kita cari gendongan dulu."
Dan barang itu memang yang paling dibutuhkan. Jungkook agak kasihan pada kekasihnya itu, harus membawa buntalan daging penuh liur ke mana-mana dengan kedua lengannya sendiri. Capek, sudah pasti. Kalau Jungkook jadi Jimin mungkin ia sudah mengeluh dari tadi.
Akhirnya mereka berkeliling lantai dua tempat itu. Menemukan rak tempat gendongan itu terletak. Jimin bahkan sampai memindahkan Eunkyung ke pinggangnya yang sebelah kiri dan menopangnya dengan satu tangan untuk bisa memilih barang yang cocok dipakai. Pilihannya jatuh pada gendongan biru muda dengan gambar beruang dan balon-balon beterbangan.
Mereka tak berhenti sampai di situ. Ada banyak barang lagi yang belum tereksplor. Dan memikirkannya saja Jungkook sudah pusing duluan. Karena ia tau, nanti, yang akan membayar dan membawa semua itu adalah Jungkook sendiri. Tentu saja, sebagai 'papa' yang baik dia harus melakukan itu. Terima kasih pada kekayaan keluarganya yang tidak akan membuat Jungkook miskin dalam sekejap hari ini.
"Oh, berarti kita harus menata ulang kamar lamamu," kata Jimin.
Jungkook menengok ke pacarnya itu. Jimin di sebelah salah satu keranjang yang terbuat dari kayu dan juga berwarna biru muda dengan tiang yang menggantung mainan di ujung. Oh, ya, tentu saja. Mereka harus menata ulang kamar lama Jungkook supaya benda ini bisa diletakkan di sana.
"Yeah, kita bisa tata saat pulang nanti."
Lalu mereka berlanjut lagi. Jungkook tak benar-benar benci dengan segala pernak-pernik bayi ini. Hanya asing, tak terbiasa, tapi itu tetap saja menyebalkan. Namun tak dapat dipungkiri kalau Jungkook diam-diam mengamati setiap benda yang ia lewati. Mengawang kalau, dulu, ia juga memakai benda-benda itu dengan mulut penuh liur dan celotehan tidak jelas. Mungkin Jungkook harus bertanya pada sang ibu untuk tau ceritanya.
Di sisi lain Jimin benar-benar fokus memilih setiap barang. Sampai Jungkook pikir ia terlihat seperti seorang ibu benaran dengan Eunkyung sebagai anak benarannya pula. Jungkook jadi iri. Predikatnya sebagai bayi-nya Jimin kini harus dicopot karena Jimin sekarang punya bayi yang benar-benar bayi, bukan gadungan seperti Jungkook.
"Nanti kita ke sana, ya."
Jungkook mengekor lagi di belakangnya bak anak bebek. Mengamati berkali-kali Jimin harus membenarkan posisi Eunkyung di pinggangnya. Ingin membantu, sih. Tapi Jungkook bahkan tak tau cara menggendong yang baik dan benar. Yang ada Eunkyung malah celaka nanti.
Maka mereka berlanjut lagi. Naik-turun lift dan berjalan ke sana ke mari. Kalau pertama kali ke bagian gendongan maka sekarang di bagian botol dan dot. Jimin berkali-kali mengangkat dua botol beda warna dan bertanya pada Jungkook yang mana lebih bagus. Dan tentu saja, Jungkook menjawab, "Yang biru lebih bagus. Anak cowok gak cocok pakai merah muda."
Dan itu juga berlaku untuk pakaian. Dan bahkan barang-barang lain juga. Alhasil buruan mereka hari itu didominasi oleh warna biru yang lembut. Walau ada beberapa dotnya berwarna hijau dan bebek mandinya berwarna kuning juga mainan-mainannya sewarna pelangi.
Jam menunjukkan angka lima ketika mereka sampai di bagian makanan. Ada berkotak-kotak susu di troli mereka, banyak sekali. Kata Jimin itu hanya untuk beberapa minggu, tak sampai sebulan, karena bayi di umur Eunkyung akan banyak minum susu.
Jimin, seperti biasa, selalu minta pendapat Jungkook untuk memastikan sesuatu. Kali ini dia mengangkat dua kotak bubur bayi di udara. Satu rasa beras merah dan satu lagi kacang hijau. Matanya menatap Jungkook lamat-lamat sambil bertanya, "Mana yang lebih enak?"
Jungkook menggedikan bahu. Dia yakin pernah makan itu saat bayi. Dan orang-orang pun bakalan tau kalau ia tak akan mengingat rasanya. "Beli saja dua-duanya. Tapi Taehyung pernah bilang kalau beras merah lebih enak. Aku tak tau dia tau itu dari mana."
Jadi Jimin memasukkan dua-duanya. Bahkan menambah rasa ayam dan coklat lagi sebelum mereka selesai. Kini, Jungkook mendorong troli mereka yang penuh ke kasir. Sambil meraba kantungnya, kalau-kalau ia lupa bawa dompet (untungnya, tidak).
Dan napas Jungkook nyaris berhenti ketika melihat nominal angka yang terpampang. Oh ayah, maafkan jika anakmu nanti menjadi gembel dan tak bisa menyelesaikan kuliah. Katakan selamat tinggal dengan uangmu dan sambutan hangat pada tagihan-tagihan yang menyusul nanti.
(Kalau saja keluarganya tidak sekaya itu, sudah dipastikan Jungkook akan ada di emperan toko dengan baju lusuh dan topi yang diulurkan ke depan, mengharap recehan.)
Jungkook cemberut ketika melihat uangnya lenyap sekejap saat itu. Semakin cemberut ketika mendengar kekehan Jimin di depannya, dan Eunkyung yang nimbrung tertawa seakan ikut mengejek Jungkook atas kesialannya hari ini.
"Aku bisa miskin kalau harus begini setiap hari," katanya saat mereka keluar dan menuju parkiran. Jungkook masih cemberut, tapi tetap mendorong trolinya dengan tenang.
Lagi, kekehan Jimin terdengar. Kemudian pria itu mendekat ke arah Jungkook, membuat sang Jeon berhenti karena Jimin berjinjit di atas jempolnya. Memberi kecupan manis di bibir Jungkook sampai membuat pemilik obsidian itu terpaku. Ditambah membatu karena Jimin mengangkat Eunkyung, dan bayi itu dengan pintarnya ikut mencium Jungkook di pipi dengan bunyi 'muah' yang keras.
"Terima kasih untuk hari ini, Jungkook. Kami menyayangimu."
Jungkook pikir kalau seperti ini sering-sering sampai membuatnya miskin tak masalah. Kalau ia bisa dapat cinta dan ciuman manis, kenapa tidak.
yak maaf baru bisa update ini sekarang. 1k lebih. Semoga ga buat jenuh. Ini ceritanya udah ganti hari.
Boleh berikan pendapatmu di komentar~
KAMU SEDANG MEMBACA
aegya | kookmin
FanfictionJungkook dan bayi jelas bukan sebuah kombinasi yang bagus. 28102017 © kookmicin