Usai prahara mengejutkan itu terjadi, aku sungguh-sungguh ingin berubah, menguatkan kembali pondasi rumah tanggaku yang nyaris ambruk. Serta memperkokoh kembali keimanan di dada. Karena hati selalu saja terkoyak oleh terpaan gelombang hebat, maka aku harus selalu sigap jika tak mau layar hati terobek-robek, lantas perlahan mampu menenggelamkan seluruhnya.
Setelah itu juga kuhapus segala memori tentang sahabat bajinganku itu. Semua tentangnya ku delet tanpa sisa, hingga aku merasa menemukan dunia baru tanpa noda-noda penghantar dosa. Tak perlu diingat kembali jika memang dapat menorehkan luka menganga, walau ia sahabat kita sendiri. Bukan sahabat sejati jika ia mudah sekali membuka pintu sakit hati.
Aku selalu berharap ia tak akan muncul lagi dikehidupanku, biarkan kenangan pahit-manis dari awal kami bertemu hingga kemarin terkubur dalam-dalam tanpa sedikit celah untuk menguaknya lagi. Namun, aku tetap mengembalikan segalanya pada Dzat Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena manusia hanya bisa berharap dan berdo'a, sementara yang mewujudkan semuanya hanyalah Dia, bukan? Meski harus merintih-rintih atau mengeluarkan air mata darah sekalipun, jika ia berkehendak lain bagaimana? Mana bisa kita cegah. Yang perlu kita lakukan ialah menerima dengan lapang dada, sebab akan selalu ada hikmah tersembunyi dari setiap rel-rel skenario hebatNya.
Seperti usai beberapa minggu kemudian. Sebuah pesan muncul malam itu, sesaat sebelum aku hendak mengatupkan kedua kelopak mata –setelah melakukan rutinitas harianku; solat malam.
Dari nomer yang tak di kenal. Aku buka pesan itu dengan menyimpan banyak pertanyaan mencuat.
From: 082134555***
Assalamu'alaikum
Hi Amran, sorry aku kembali. Sungguh, aku sama sekali tidak berniat buruk hendak menghancurkan rumah tanggamu. Tapi kumohon untuk yang terkhir kalinya, izinkan aku bertemu denganmu lagi, Amran. Setelahnya aku akan pamit dan pergi jauh. Aku janji.
Aku menghembuskan nafas berat, lalu melempar begitu saja ponsel digenggaman tangan ke samping tubuhku di atas kasur. Aku tak peduli, pokoknya aku tak ingin membalasnya. Titik, pengangguran sekali membalas pesan bodoh itu. Walau perlahan muncul sebuah pertanyaan mengusik, dari mana ia tahu nomer ponselku? Padahal sudah kuganti dan kusembunyikan rapat-rapat. Ah, abaikan!
Aku memiringkan tubuh menghadap istriku yang nampak tertidur pulas.
Derttt...
Ponselku kembali bergetar. Kusasar kembali benda persegi panjang itu, menatap layar sebentar. Lima pesan sekaligus, ah masih nomer lelaki bajingan itu. Dua detik berikutnya sebuah panggilan masuk, masih dari nomer yang sama. Tak kusia-siakan lagi waktu dini hari ini. Kumatikan saja ponselku, lantas mencoba memejamkan mata sambil memiringkan tubuh, memeluk Dhea. Pesan darinya yang tiba-tiba muncul tak disangka sama sekali, tak kugubris sedikitpun, abaikan saja. Pun tanpa buang-buang waktu untuk memikirkannya lebih jauh, terlebih akan konsekuensi kedepannya jika aku benar-benar tak peduli satu pesanpun.
***
Aku kira jika aku mengabaikan pesannya, ia akan menyerah. Tapi ternyata tidak, saat kuaktifkan ponsel sambil sesekali menyuap sarapan pagi –duduk di meja makan bersama keluarga. Dua puluh lima pesan darinya muncul, aku mengernyitkan dahi. Ada debar tak beraturan mengusik ketenangan pagi.
Aku membuka beberapa pesan, kebanyakan pesan itu hanya di ulang.
From: 082134555***
Hei, Amran. Kumohon, aku berjanji kali ini untuk yang terakhir kalinya.
Amran, kau membaca pesanku kan? Tolonglah, aku masih sahabatmu, sebesar apakah rasa bencimu padaku?
Hei, mengapa kau tak membelas pesanku? Amran, halooo...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Cinta Diujung Senja
Tiểu Thuyết Chung(Part complete) Siapa yang mampu menolak hadirnya rasa cinta dari sang maha pencipta cinta itu? bukankah cinta itu ialah anugrah? tetapi bagaimana cinta yang hadir berupa cinta yang salah? bukankah sang pemberi cinta tidak mengenal kata salah? ceri...