BAB 9 Kenyataan Terakhir

388 20 6
                                    

Bungkus nasi di genggaman tanganku seketika itu juga terlepas, terjatuh begitu saja. Ketika tatapanku menumbruk sebuah pemandangan di dalam ruangan, lewat celah kecil yang sebelumnya hendak kugerai lebar daun pintu. Langkah kakiku mendadak terhenti, sulit kugerakkan barang selangkahpun. Sebuah pemandangan nyaris membuat bulir air mata kembali pecah, menyesakkan rongga dada, juga meletupkan api cemburu –tidak terima lebih tepatnya.

Mas Amran terlihat mengecup lembut kening lelaki di pembaringan itu –cukup lama sampai mataku tak kuat menatapnya. Seperti kecupannya padaku dan Nayla. Entah hakikat kecupan apa yang ia daratkan. Kecupan sayangkah? Atau lebih dari itu. Aku tak paham desir hati kecilnya memang, walau kucoba berfikir jernih, kuterjemahkan bahwa itu hanya kecupan biasa kepada sesama sahabat dekat. Ah, tapi tetap saja mampu membuat desir panas di dinding hatiku. Apalagi tatapan lembutnya, ah.

Aku memejamkan mata. Tidak pantas jika seketika aku masuk, merusak suasana. Apa boleh buat, langkahku mundur. Meraih bungkus nasi goreng di lantai. Lalu duduk di bangku panjang dekat pintu. Menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang nyaris terbakar api cemburu.

Lima menit berlalu aku kembali melihat keadaan di dalam ruangan melalui celah kecil. Mas Amran sedang membaca Al-Qur'an di sampingnya. Lelaki berkacamata di atas pembaringan itu tetap diam, tertidur. Seperti tak yakin kapan ia akan bangun.

"Allah... Demi saudaraku sesama pengikut Rosulmu, kumohon bangunkan Mas Fajar. Hingga ending dari skenarioMu ini benar-benar menerbitkan cahaya suci diantara kedua bulanku," batinku berbisik lirih.

Aku beranjak pergi, sekedar untuk menenangkan fikiran sejenak dan memeriksa keadaaan Nayla di ruangan yang kini kuminta pamannya untuk menemani, kebetulan rumahnya satu kota denganku. Nayla tertidur pulas, di sampingnya paman Radit sibuk bermain smartphonenya. Kulirik jam di pergelangan tangan, pukul dua belas malam.

Untuk selanjutnya aku memilih menyendiri di mushola rumah sakit, membaca Al-Qur'an, bermunajat, bersiur doa-doa dan harapan serta tak lupa sholat malam.

Sekitar pukul setengah dua dini hari aku kembali mengunjungi ruangan sahabat Mas Amran. Bungkus nasi goreng masih kubawa dan sudah dingin. Kini secangkir kopi kusiapkan untuk Mas Amran jika ia terbangun.

Seperti biasa, kulihat keadaan di dalam. Tak ada kemajuan. Namun baru satu langkah kakiku hendak melangkah, mendadak harus terhenti lagi. Kulihat tangan kiri lelaki itu bergerak-gerak lemah lalu dengan bergetar mengelus rambut Mas Amran –kaku. Matanya tetap terpejam. Mas Amran nampak tertidur pulas di atas genggaman tangan kanannya, di samping tangan kirinya menggenggam Al-Qur'an. Ada haru yang mendadak menyusup halus. Seiring rasa syukur adanya sedikit kemajuan padanya.

Dengan penuh keberanian,perlahan aku masuk tanpa berani melangkah berisikmerusak keadaan sunyi. Meletakkan bungkus nasi goreng di atas meja dansecangkir kopi panas. Kemudian hendak berbalik melangkah. Kulirik sekilas ke arahlelaki berkacamata itu. Ia masih mengelus rambut Mas Amran samar dan Ya Allah... Kedua sudut matanyamengeluarkan bening, air matanya meleleh. Namun raut wajahnya tetap sepertibiasa, tak ada isak tangis menghampirinya. Yang ada ialah isak-tangis padaku yang tiba-tiba menyeruak keluar.

Entah kenapa aku ikut menangis, aku sungguh tak paham. Juga perasaan yang kini kualami. Tak mampu kuterjemahkan begitu saja. Ada banyak musyabihat di dalamnya.

***

Cukup dua hari Nayla menginap di rumah sakir pasca kecelakaan. Hari ketiga ia merengek minta pulang, lagipula keadaannya semakin lebih baik. Walau masih harus di pegangi kalau ingin berjalan. Dokter memperbolehkan. Di pagi hari ketiga kami segera berkemas, paman izin pulang kerumahnya tadi malam.

"Ayah, sekarang kan lagi libur semester. Jalan-jalannya kemana ayah?" tanya Nayla di sela-sela aku membereskan pakaian dan Mas Amran menyuapinya bubur.

Kabut Cinta Diujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang